Oleh Destanul Aulia, PhD
Perubahan besar tidak datang dari proyek-proyek masif, tetapi dari keberanian menyentuh hal paling mendasar: pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kepercayaan diri masyarakat terhadap masa depan mereka sendiri
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Selama beberapa tahun, kawasan Medan Utara yang meliputi Medan Belawan, Medan Labuhan, Medan Deli, Medan Marelan dan sebagian wilayah administratif Deliserdang kerap disebut sebagai “prioritas pembangunan” dalam berbagai dokumen perencanaan dan pidato pejabat publik. Setiap tahun, label itu muncul dalam kegiatan pemerintahan kota baik dalam rencana kerja pemerintah daerah, hingga janji kampanye kepala daerah. Namun, di balik istilah yang terdengar menjanjikan itu, warga yang tinggal di sana masih terus bertanya: prioritas bagi siapa dan kapan itu direalisasikan?
Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir Belawan atau pinggiran Labuhan, kata “prioritas” belum pernah benar-benar menjelma dalam bentuk jalan yang layak, sekolah yang dekat, air bersih yang mengalir, ataupun rumah sakit yang lengkap fasilitas dengan sarana prasarana penunjang dan dokter spesialis sehingga tidak perlu dirujuk ke rumah sakit lain yang akan meningkatkan biaya transportasi. Sebaliknya, yang mereka rasakan adalah wajah pembangunan yang timpang dimana kemajuan kota tampak gemerlap di pusat, tapi meredup saat mendekati Utara.
Stigma sosial terhadap Medan Utara pun masih kuat melekat. Kawasan ini sering diasosiasikan dengan kriminalitas, kemiskinan, dan konflik sosial, tanpa memahami akar persoalan yang sebenarnya: ketimpangan struktural dan pembiaran yang telah berlangsung terus menerus. Kualitas pendidikan masih tertinggal, pelayanan kesehatan terbatas, dan sanitasi lingkungan seringkali berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Setiap musim pasang, banjir rob pun datang seperti siklus takdir, menggenangi pemukiman warga, merusak aktivitas ekonomi, dan memperparah kondisi kesehatan masyarakat.
Ironisnya, semua itu terjadi di wilayah yang seharusnya menjadi jantung pertumbuhan ekonomi Kota Medan dengan pelabuhan internasional, kawasan industri besar, dan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 600 ribu jiwa. Tapi di tengah potensi itu, mereka masih menunggu hadirnya pembangunan yang benar-benar adil, setara, dan menyentuh kehidupan sehari-hari mereka.
Forum Pra-Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kota Medan ke-2 yang digelar di Medan Utara pada 15 April 2025, membuka sebuah lembaran sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk pertama kalinya, perencanaan pembangunan kota difokuskan secara tematik dan spasial terhadap wilayah yang selama ini terpinggirkan: Medan Utara. Forum ini bukan sekadar seremoni atau agenda rutin birokrasi. Ia adalah titik balik sebuah milestone yang mempertemukan suara dari berbagai sudut Kota Medan dalam satu meja diskusi, dengan satu tekad: membangun dari wilayah yang paling lama menunggu.
Dalam suasana yang inklusif dan penuh harapan, hadir tokoh-tokoh strategis dari unsur Pemerintah Kota Medan, DPRD, akademisi, pelaku usaha, organisasi masyarakat sipil, hingga tokoh adat dan pemuka agama. Tidak hanya menyampaikan data atau menyusun daftar usulan kegiatan, forum ini menjadi ruang mendengarkan. Dengungan suara warga Medan Utara yang selama ini nyaris tak terdengar dalam perencanaan kota akhirnya mendapat panggung yang sah dan setara.
Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas dalam pidatonya yang tegas dan penuh refleksi, menyampaikan satu pesan kunci: sudah saatnya Medan Utara tidak lagi diposisikan sebagai halaman belakang, melainkan diangkat sebagai halaman depan Kota Medan. Tak boleh ada lagi wilayah yang tertinggal, tak boleh ada lagi anak-anak yang berjalan puluhan kilometer demi sekolah, tak boleh ada lagi kampung pesisir yang setiap tahun ditenggelamkan rob tanpa solusi jangka Panjang.
Forum ini tentu saja menjadi momen penting ketika ego sektoral mulai diturunkan, dan sinergi lintas lembaga mulai dibangun dengan kesadaran bersama. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga sektor swasta seperti PT Pelindo, aparat keamanan, dan kalangan legislatif mulai menyatukan visi. Untuk pertama kalinya, Musrenbang tidak hanya menjadi agenda “atas ke bawah”, tetapi benar-benar terasa sebagai ruang bottom-up dimana suara rakyat menjadi kompas perencanaan.
Lebih dari itu, Forum Pra-Musrenbang ke-2 ini menjadi panggilan kolektif untuk bangkit bersama. Sebuah pengingat bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal beton dan aspal, tapi juga tentang bagaimana kebijakan bisa menjangkau yang terjauh, mengangkat yang terpinggirkan, dan menyatukan yang selama ini tercerai dalam narasi besar kota.
Mengapa Harus Prioritas Nasional?
Selama ini, pendekatan pembangunan kawasan Medan Utara lebih banyak berfokus pada perencanaan spasial menata ruang, membangun infrastruktur, dan menyiapkan lahan industri. Namun tanpa menyentuh persoalan sumber daya manusia, pendekatan ini akan terus timpang dan gagal menyentuh akar permasalahan. Dari tata ruang, kita harus melangkah ke tata daya yakni pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Apalagi di masa lampau, kawasan Medan Utara dikenal sebagai pusat perdagangan yang ramai pada abad ke-17 sampai awal abad ke-20, karena letaknya yang strategis di jalur perdagangan Selat Malaka dan sebagai penghasil produk perkebunan unggulan seperti kelapa sawit, karet dan tembakau. Perdagangan rempah-rempah dan karet juga menjadi basis ekonomi utama kota ini, sehingga menarik pedagang dari berbagai bangsa seperti China, India dan Eropa.
Beberapa bukti peninggalan bersejarah juga masih dapat ditemukan dan menunjukkan bahwa Sungai Deli pernah menjadi jalur perdangagan kuno yang menghubungkan pedalaman kota Medan dengan dunia internasional lewat pelabuhannya di utara Medan. Wilayah utara Medan pernah menjadi jalur perdagangan penting di Asia Tenggara dan menjadikan Medan sebagai pintu gerbang utama untuk kegiatan perdagangan, baik domestik maupun internasional.
Tentu saja wilayah ini bukan sekadar kawasan dalam kota. Ia adalah simpul penting dalam jaringan logistik nasional. Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan ekspor-impor strategis untuk wilayah barat Indonesia, tempat ribuan kapal niaga bersandar dan berangkat setiap tahunnya. Di sampingnya berdiri Kawasan Industri Medan (KIM), rumah bagi lebih dari 427 perusahaan yang mempekerjakan 35.000 buruh dan menyumbang nilai produksi tahunan mencapai Rp360 miliar. Ini menjadikan Medan Utara bukan sekadar kawasan industri, tapi denyut ekonomi utama Medan sekitarnya.
Komitmen menjadikan Medan Utara sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi sebetulnya sudah tercermin dalam dokumen resmi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Medan 2022–2042. Dalam arah kebijakan dan strategi ruang, Medan Utara ditetapkan sebagai kawasan industri terpadu yang berwawasan lingkungan, sekaligus pusat kegiatan jasa, perdagangan, pertahanan keamanan, serta transportasi regional. Kawasan ini akan menjadi Kawasan Strategis Kota (KSK) dengan orientasi industri teknologi tinggi dan konsep waterfront city dengan menggabungkan kekuatan ekonomi maritim dan daya tarik kawasan hunian modern.
Namun, semua itu belum cukup jika tidak ada keberpihakan nyata dalam praktik pembangunan. Ironisnya, meski sudah ditetapkan sebagai KSK, kawasan Medan Utara masih tertinggal dalam infrastruktur dasar dan layanan publik. Masyarakatnya menghadapi tantangan berat seperti banjir rob, kualitas air bersih yang buruk, serta kurangnya akses pendidikan dan layanan kesehatan. Pemerintah bahkan mengakui bahwa wilayah ini banyak yang tidak terjangkau PDAM dan memerlukan kran umum dan hidran publik sebagai solusi jangka pendek.
Di sisi lain, perusahaan yang beroperasi di wilayah ini juga masih enggan menyerap tenaga kerja lokal. Ini bukan hanya akibat dari rendahnya keterampilan, tapi juga hasil dari kegagalan negara menyiapkan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Medan Utara, yang dihuni lebih dari 600 ribu warga berdasarkan proyeksi tahun 2025. Kawasan ini justru sering dipinggirkan dari perencanaan sosial yang inklusif. Ini adalah bentuk ketimpangan spasial yang terus mewarisi jurang sosial antara pusat dan pesisir kota.
Kondisi yang lebih mendesak, wilayah ini juga mengalami kerentanan iklim dan ancaman lingkungan. RTRW Kota Medan bahkan menggarisbawahi pentingnya pembangunan green belt, sistem polder, kanal pengendali banjir, dan sistem drainase baru untuk mencegah kerusakan ekologis yang makin parah di wilayah utara. Jika pembangunan ini terus ditunda, maka bukan hanya ekonomi kota yang terganggu—tapi juga hak hidup masyarakat pesisir yang terancam setiap kali rob dan hujan deras datang.
Semua ini menunjukkan prioritas terhadap Medan Utara bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Karena hanya dengan membangun dari pinggiran, kota ini bisa benar-benar tumbuh secara adil dan berkelanjutan. Jika Medan ingin menjadi kota metropolitan sejati, maka kesetaraan pembangunan bukan sekadar jargon, melainkan arah kebijakan yang diwujudkan dengan distribusi anggaran, keberanian politik, dan partisipasi warga yang setara.
Butuh Terobosan
Menurut Prof R. Hamdani Harahap, masyarakat Medan Utara memiliki ketahanan sosial tinggi dan nilai gotong royong yang masih hidup. Namun mereka juga menghadapi ketimpangan akses terhadap pendidikan, sanitasi, kesehatan, dan pelatihan kerja.. Hal ini diperparah dengan data dari Kapolres Belawan yang menunjukkan bahwa rasio aparat keamanan hanya 1:1.737, kawasan rawan kriminal, dan masih ada wilayah yang tidak memiliki pekerjaan tetap, hunian layak, maupun sekolah negeri.
Karena itu, pembangunan Medan Utara tidak bisa lagi hanya membicarakan pembangunan jalan lingkar atau zonasi industri. Yang dibutuhkan adalah: Evaluasi sistem zonasi pendidikan yang justru menjauhkan anak-anak dari sekolah terdekat karena keterbatasan lokasi atau status kepemilikan lahan; Kebijakan afirmatif berbasis data untuk perempuan pesisir, penyandang disabilitas, dan anak-anak dengan kondisi stunting yang tinggi karena buruknya sanitasi seperti “WC cemplung” yang masih digunakan di banyak rumah warga; Pemanfaatan dana kelurahan yang proporsional dan berbasis kebutuhan nyata, bukan pembagian merata yang tidak mempertimbangkan tingkat kerentanan tiap wilayah.
Forum menyarankan alokasi khusus karena 60–70% kelurahan Kota Medan berada di wilayah utara dan menghadapi kondisi sosial paling kompleks. Konsolidasi CSR perusahaan yang beroperasi di KIM dan pelabuhan, agar tidak lagi jalan sendiri-sendiri. Perlu regulasi kuat (misalnya Perda CSR) dan platform terpadu agar dana sosial benar-benar menyentuh warga sekitar kawasan industri. Pembentukan Forum Multi-Stakeholder Medan Utara, agar sinergi lintas sektor tidak hanya wacana. Penthahelix harus menjadi praktik: pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dunia usaha, dan media harus duduk bersama secara periodik untuk meninjau rencana kerja, anggaran, dan evaluasi dampak sosial secara kolektif.
Perubahan besar tidak datang dari proyek-proyek masif, tetapi dari keberanian untuk menyentuh hal-hal yang paling mendasar: pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kepercayaan diri masyarakat terhadap masa depan mereka sendiri.
Penutup
Forum Pra-Musrenbang Kota Medan ke-2 bukan hanya forum diskusi dan serap aspirasi. Ia adalah momen kebangkitan, langkah kolektif untuk menghapus ketimpangan yang terlalu lama dibiarkan, dan titik awal pembuktian bahwa Medan adalah kota untuk semua—bukan hanya untuk yang tinggal di pusat kota, tapi juga bagi mereka yang tinggal di pesisir, di tepi rob, di jalan-jalan sempit Medan Utara yang selama ini terlewat dari peta prioritas.
Penulis adalah Tim Pertimbangan Kepala Daerah dan Dosen FKM USU