Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral, perlu mempersiapkan diri baik dari segi hukum maupun operasional, untuk melaksanakan transfer langsung ke rumah tangga jika kebijakan moneter konvensional gagal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pembayaran stimulus semacam ini dapat meningkatkan konsumsi, bahkan ketika suku bunga mendekati nol.
Setelah pandemi COVID-19, banyak bank sentral di dunia merespons inflasi dengan menaikkan suku bunga. Kini, ketika inflasi tampaknya mulai terkendali, pembuat kebijakan moneter perlu mempersiapkan diri menghadapi krisis berikutnya dengan memperluas perangkat kebijakannya.
Hal ini menjadi sangat penting karena kita mungkin akan kembali ke situasi seperti dekade 2010-an, di mana suku bunga nominal mendekati nol, sehingga bank sentral tidak dapat mendorong permintaan hanya dengan memotong suku bunga.
Pada masa lalu, BI menggunakan alat “konvensional” seperti penurunan suku bunga untuk menstimulasi perekonomian. Namun, kebijakan ini terbukti memiliki dampak terbatas terhadap permintaan agregat dan malah meningkatkan harga aset, yang pada akhirnya berkontribusi pada volatilitas keuangan dan ketimpangan ekonomi.
Untuk menghindari jebakan serupa, BI perlu mempersiapkan kebijakan transfer langsung ke rumah tangga. Pendekatan ini telah terbukti cukup efektif dalam mendorong permintaan dan mengatasi resesi, bahkan dalam situasi jebakan likuiditas di mana suku bunga tidak bisa diturunkan lebih jauh.
Namun, kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Ide transfer langsung bukanlah hal baru, tetapi sebelumnya ditolak oleh ekonom karena dianggap tidak efektif. Argumen dalam buku teks mengatakan bahwa ketika suku bunga nol, penciptaan uang tidak akan menstimulasi konsumsi karena rumah tangga cenderung menyimpan likuiditas berlebih.
Penelitian terbaru membantah pandangan ini. Dengan menggunakan data mikroekonomi dan teknik evaluasi baru, ditemukan bahwa pembayaran stimulus dapat meningkatkan konsumsi, bahkan ketika suku bunga mendekati nol. Data dari Amerika Serikat pada tahun 2008 dan penelitian tentang hadiah lotere besar menunjukkan bahwa rumah tangga membelanjakan sebagian besar pendapatan tak terduga yang mereka terima.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan transfer langsung ke rumah tangga dapat memberikan manfaat yang signifikan. Sebagai contoh, selama pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia telah meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kartu Prakerja yang membantu meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Data menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga tahun 2020, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,4 persen dari PDB Indonesia, dan bantuan sosial menjadi salah satu faktor utama yang menjaga konsumsi tetap bertahan di tengah tekanan ekonomi.
Namun, program-program ini biasanya dikelola oleh otoritas fiskal. Penelitian menunjukkan bahwa bank sentral dapat melaksanakan transfer semacam ini dengan lebih cepat dan presisi, mengingat mandat mereka yang berfokus pada inflasi.
BI, sebagai bank sentral yang independen, dapat memastikan kebijakan ini diterapkan dengan tepat sasaran dan tidak berlebihan, berbeda dengan politisi yang cenderung menggunakan kebijakan fiskal untuk tujuan populis.
Keunggulan transfer langsung sebagai kebijakan moneter dibanding Bantuan Langsung Tunai yang dikelola melalui Kementerian Sosial di antaranya adalah, pertama, didesain khusus untuk merangsang konsumsi dalam waktu singkat, terutama dengan fitur seperti batas waktu penggunaan dana (expiry dates).
Hal ini meningkatkan pengeluaran langsung daripada menyimpan dana. Sementara BLT tidak memiliki batas waktu penggunaan, sehingga rumah tangga mungkin lebih cenderung menabung daripada membelanjakan, mengurangi efek stimulasi ekonomi.
Kedua, independen dari beban fiskal. Transfer langsung tidak meningkatkan utang pemerintah karena didanai oleh bank sentral melalui penciptaan uang baru. Ini menghindari tekanan fiskal yang sering menjadi kendala dalam program bantuan pemerintah. BLT didanai oleh anggaran pemerintah, sehingga meningkatkan defisit fiskal dan utang negara.
Ketiga, bank sentral dapat merespons secara cepat karena memiliki alat dan mekanisme langsung untuk mendistribusikan dana kepada masyarakat. Kecepatan ini penting dalam menangani krisis ekonomi yang membutuhkan tindakan segera. BLT prosesnya sering lebih lambat karena melibatkan persetujuan politik, birokrasi, dan penganggaran oleh pemerintah.
Keempat, mengurangi efek distribusi yang tidak merata. Transfer langsung dirancang untuk didistribusikan secara merata ke seluruh rumah tangga, tanpa memihak kelompok tertentu, sehingga mengurangi risiko ketimpangan distribusi. BLT sering kali memerlukan proses seleksi penerima yang dapat menimbulkan ketidakadilan, seperti exclusion error (kelompok yang layak tidak mendapatkan bantuan) atau inclusion error (kelompok yang tidak layak justru menerima bantuan).
Kelima, menghindari volatilitas pasar keuangan. Transfer langsung mengurangi ketergantungan pada kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) yang sering kali memicu inflasi aset dan ketidakstabilan di pasar keuangan. BLT dampaknya lebih terbatas pada ekonomi riil tetapi tetap memerlukan kebijakan moneter pendukung, seperti pembelian obligasi oleh bank sentral, yang dapat menciptakan ketidakstabilan pasar.
Keenam, pengaruh positif pada ekspektasi inflasi. Transfer langsung dengan kredibilitas bank sentral, transfer ini menciptakan komitmen inflasi yang moderat, mendorong konsumsi, dan menjaga stabilitas ekonomi. BLT kurang efektif dalam memengaruhi ekspektasi inflasi karena masyarakat sering kali mengasosiasikannya dengan kebijakan pemerintah yang temporer.
Ketujuh, menghindari pengaruh politis. Transfer langsung dilakukan oleh bank sentral yang independen, sehingga meminimalkan risiko politisasi kebijakan. BLT berisiko dipengaruhi oleh kepentingan politik, misalnya distribusi bantuan yang berfokus pada wilayah atau kelompok tertentu untuk tujuan elektoral.
Transfer langsung oleh bank sentral lebih efektif, cepat, dan independen dibandingkan BLT dalam situasi di mana kebijakan moneter konvensional tidak lagi efektif, seperti saat suku bunga mendekati nol. Namun, implementasinya membutuhkan perencanaan yang matang agar tidak menimbulkan ketergantungan atau efek inflasi yang tidak terkendali.
Namun, ada risiko politisasi dan penyalahgunaan kebijakan ini. Tekanan politik dapat membuat bank sentral kehilangan independensinya jika kebijakan ini digunakan terlalu sering. Oleh karena itu, kebijakan transfer langsung harus dirancang sebagai langkah terakhir ketika kebijakan moneter konvensional tidak lagi efektif. Untuk memastikan hal ini, mandat BI dapat diperluas untuk mencakup penggunaan transfer langsung hanya dalam kondisi tertentu.
Untuk melaksanakan kebijakan ini, BI dapat memanfaatkan teknologi keuangan yang sudah berkembang di Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah telah berhasil mendistribusikan bantuan sosial melalui aplikasi dan platform pembayaran digital seperti Gojek, OVO, dan Dana. BI dapat mengembangkan akun cadangan untuk setiap warga negara, yang dapat digunakan untuk mentransfer stimulus langsung. Akun ini dapat dilengkapi dengan kartu pembayaran yang memiliki batas waktu, mendorong penerima untuk segera membelanjakan dana tersebut. Studi menunjukkan bahwa mekanisme batas waktu dapat meningkatkan konsumsi dua kali lipat dibandingkan transfer tanpa batas waktu.
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan ini dengan sukses. Korea Selatan, misalnya, menggunakan kartu pembayaran dengan batas waktu untuk mendorong konsumsi selama pandemi COVID-19. Hong Kong dan Irlandia Utara juga telah menggunakan kebijakan serupa dengan hasil yang positif. BI dapat mempelajari pengalaman ini untuk mengintegrasikan kebijakan transfer langsung ke dalam toolkit moneter sebelum krisis besar berikutnya terjadi.
Implikasi kebijakan
Pertama, mandat BI. Undang-Undang Bank Indonesia dapat direvisi untuk memberikan kewenangan melaksanakan transfer langsung ke rumah tangga dalam situasi darurat ekonomi.
Kedua, pengembangan infrastruktur digital. BI perlu berinvestasi dalam infrastruktur digital untuk memastikan distribusi stimulus berjalan lancar dan tepat sasaran.
Ketiga, koordinasi dengan Otoritas Fiskal. BI harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk memastikan kebijakan ini tidak tumpang tindih dengan kebijakan fiskal.
Keempat, mendorong inklusi keuangan. Transfer langsung dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong inklusi keuangan, dengan mewajibkan penerima memiliki rekening bank atau akun digital.
Kelima, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Sistem pelaporan yang transparan dan mekanisme pengawasan yang kuat harus diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan.
Kebijakan transfer langsung ke rumah tangga merupakan alat potensial untuk mendorong permintaan agregat dan mengatasi krisis ekonomi, terutama ketika kebijakan moneter konvensional tidak lagi efektif.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini tidak hanya relevan, tetapi juga dapat memperkuat stabilitas ekonomi, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan inklusi keuangan. Namun, implementasinya memerlukan persiapan matang, baik dari segi hukum, operasional, maupun teknologi.
Dengan belajar dari pengalaman negara lain dan memanfaatkan infrastruktur digital yang ada, BI dapat memasukkan kebijakan ini ke dalam toolkit moneter untuk menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah pemerhati Ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.