Titip Salam

  • Bagikan

Hadiah apakah yang lebih utama dari salam, yang merupakan penghormatan dan keberkahan yang baik dari sisi Allah?” (Salman Alfarisi)

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf bahwa ketika itu Nabi ditemuinya sedang sujud yang panjang. Setelah selesai sujud, Rasulullah pun berbagi cerita padanya dan berkata,

Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata: ‘Barangsiapa yang bershalawat padamu, maka aku (Jibril) pun akan bershalawat untuknya. Dan barangsiapa menyampaikan salam kepadamu, maka aku (Jibril) pun akan menyampaikan salam kepadanya’. Karena karunia itu, maka aku tadi bersujud sebagai ungkapan rasa syukurku pada Allah”.

Dalam Firman-Nya, Allah menegaskan “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam pernghormatan kepadanya”.

Lantaran Allah dan para malaikat bershalawat pada Baginda, maka kita pun diperintahkan bershalawat yang khusus Allah sematkan pada Nabi juga mengirimkan salam kepadanya. “Ya Allah sampaikanlah shalawat dan salam kepada junjungan kami, Muhammad dan keluarga dan sahabatnya semua”.

Salam dalam Islam bukan sekadar ucapan biasa. Ia doa untuk saling menyapa, yang datang dari Allah dan diajarkan kepada kita. Sebelum Islam datang, bangsa Arab tatkala bertemu sering mengucapkan “Huyyitum Shabahan” atau “Huyyitum masaan” yang artinya kira-kira selamat pagi atau selamat sore.

Islam datang mengganti ucapan tersebut dengan lebih baik. Rasulullah SAW mengajarkan saling bertegur sapa dengan salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” atau minimal “Assalamu’alaikum”. Salam juga bermakna pernghormatan, karena itu kerap disebut “tahiyyatul Islam”.

Lebih istimewa, salam yang diajarkan Allah itu tak hanya bisa diucapkan langsung, tetapi bisa juga dititip. Ini menjadi tradisi (sunnah) umat Islam yang belum ada sebelumnya. Tidak masuk akal jika menitip ucapan “selamat pagi” sedang yang membawa salam bertemu dengan yang dituju di waktu yang tidak sesuai.

Tradisi menitip salam ini terlihat pada kehidupan Nabi dan umat Islam. Ghalib al-Qathan menceritakan seorang lelaki dari Bani Numair, bahwa kakeknya mendatangi Nabi SAW dan berkata: “Sesungguhnya ayahku menitip salam untukmu.” Beliau menjawab, “Wa’alaika wa “ala abikassalam” (HR Ahmad).

Begitupula tatkkala Nabi menyampaikan salam dari Allah dan Jibril kepada Khadijah ra. Maka Khadijah menjawab, “Innallaha huwassalam wa minhussalam, wa “alaika wa “ala jibrilassalam”.

Bagi yang dititipi salam, maka itu adalah amanah yang harus ditunaikan seperti jika dititipi barang. Ibnu Hajar menjelaskan, “Jika Rasulullah SAW mengharuskan dirinya (menyampaikan salam dari Allah dan Jibril), maka itu adalah amanah”.

Tapi jika tidak, maka itu hanya sekadar titipan (biasa). Dan titipan itu, jika orang yang dititipi tidak mau menerimanya maka ia tidak dibebani siapapun. Selain itu, orang yang menyampaikan salam juga berhak menerima salam. Ibnu Hajar menambahkan “Dan disukai untuk membalas (titipan salam) pada orang yang menyampaikannya.”

Ada beberapa makna titip salam. Pertama, hadiah terbaik.Tatkala Asy’ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah diperintahkan Abu Darda’ yang berada di Syam untuk menemui Salman al-Farisi di Madinah. Salman al-Farisi pun bertanya kepada kedua orang itu, “Mana hadiah yang ia kirim lewat kalian berdua?”

Mereka menjawab, “Ia tidak mengirim hadiah melalui kami”. “Takutlah kalian pada Allah dan tunaikanlah amanah! Tidak seorang pun yang datang kepadaku dari sisi Abu Darda’ kecuali ia menitipkan hadiah.”

Kemudian mereka menjelaskan bahwa Abu Darda’ hanya menitip salam. Salman menjawab, “Hadiah apakah yang aku harapkan dari kalian selain ini? Dan hadiah apakah yang lebih utama dari salam, yang merupakan penghormatan dan keberkahan yang baik dari sisi Allah?” (HR Thabrani)

Kedua,menegaskan keistimewaan yang dikirimi salam.Sebagaimana pesan Malaikat Jibril kepada Nabi: “…Bila nanti dia sudah menjumpaimu, sampaikan salam dari Rabb-nya dan dariku dan berilah kabar gembira kepadanya dengan rumah di Surga yang terbuat dari mutiara yang isinya tidak ada suara hiruk pikuk dan kelelahan” (HR. Bukhari).

Ketiga,menyambung semangat yang hampir pupus.Seorang lelaki yang berjihad harapannya hampir pupus karena tak punya perbekalan. Dengan berat hati ia melapor pada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin sekali ikut perang, namun aku tidak memiliki perlengkapan”. Nabi SAW pun bersabda: “Datangilah si fulan, sebab ia sudah mempersiapkan perlengkapan namun ia jatuh sakit”.

Datanglah pemuda itu kepada fulan: “Sesungguhnya Rasulullah menitip salam untukmu dan menyuruhmu memberikan perlengkapanmu padaku”. Fulan yang sakit memberikan bekalnya kepada pemuda itu. Semangat yang hampir pupus kembali bangkit setelah menerima salam dan pesan dari Nabi SAW. Baik semangat pemuda yang diberi bekal maupun si sakit karena membekali jihad juga dihitung jihad.

Keempat,menguatkan asa.Seorang Sahabiyah yang berhalangan Haji bersama Nabi SAW padahal Beliau sangat berkeinginan. Akhirnya hanya bisa menitip salam untuk Rasulullah SAW lewat suaminya. Sang Suami pun menyampaikan kepada Nabi SAW dan menjelaskan kondisi yang membuat istrinya berhalangan.

Nabi SAW menjawab salam sahabiyah tersebut dan memberikan solusi untuk Umrah di bulan Ramadhan yang pahalanya sama dengan berhaji dengan Nabi (HR Abu Daud) Salam Beliau SAW membawa suntikkan semangat, sehingga sahabiyah tidak perlu merasa kecewa karena niatnya yang tidak sampai.

Meskipun sudah ada telepon seluler dan media sosial, tidak berarti titip salam kehilangan makna. Mengirim salam ialah sunnah salafusshalih, tidak sekadar menitip sepenggal kata atau kalimat.

Ia mengobati rindu dengan doa keselamatan, menyambung kebersamaan dengan doa keselamatan, memberi penghargaan dengan doa keselamatan, saling menautkan hubungan dengan doa keselamatan. Pada salam yang dititip, hadir dengan nyata seluruh perasaan itu. Wallahu’alam. (Pengurus Mathlaul Anwar Sumatera Utara)

  • Bagikan