Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Tiga Model Istri & Suami?

  • Bagikan

Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS. At-Tahrim: 11)

Berbicara mengenai model wanita, bahkan bagi pria seperti saya sangat menarik (padahal sebaiknya wanitalah yang paling layak membicarakan wanita, bukan pria). Meski begitu, semacam pengamat dari luar, kata orang, kadang lebih objektif sehingga saya sedikit ikut dalam perbincangan keluarga ini.

Banyak pandangan dan perspektif yang melingkupi wanita, dari pandangan biologis, psikologis, antropologis, sosiologis, ekonomis, politis, aktivis feminis, budaya, agama, dan sebagainya. Setidaknya, kalau diringkas, terdapat tiga pandangan terhadap wanita.

Pertama, pandangan yang negatif. Banyak pandangan menempatkan perempuan dengan prasangka negatif. Derajatnya di bawah pria? Misalnya, menyimpulkan wanita sebagai pembuat dosa asal. Atau setidaknya, perempuanlah yang pertama melakukan dosa lalu menyusul laki-laki.

Serupa dengan itu, ada pandangan yang menyebutkan perempuan itu “lemah” secara mutlak atau umum, tanpa memberi perincian atau pengkhususan dimaksud. Generalisasi “keterbatasan” perempuan yang beredar di masyarakat agaknya berlebihan, sehingga kerap memosisikan perempuan secara diskriminasi? Malah, perspektif dan persepsi negatif terhadap wanita masih banyak berseliweran di masyarakat atau media sosial modern kini?

Kedua, pandangan yang berlebihan positif. Pola ini, umumnya dikampanyekan gerakan aktivis wanita (feminin) yang secara umum hendak menolak pandangan pertama. Maka, bahasa yang digunakan membuktikan sebaliknya. Semacam antitesa dari pandangan negatif di atas.

Jika dikatakan wanitalah penyebab dosa pertama, maka bagi feminis yang terlalu bersemangat akan menegaskan prialah sumber dosa asal? Bila dikatakan wanita itu “lemah” maka kelompok gerakan wanita membuktikan sebaliknya wanitalah paling kuat di alam semesta ini. Intinya, pandangan ini ingin menolak semua pandangan negatif terhadap perempuan dan kadang sampai menempatkan perempuan tanpa noda?

Ketiga, pandangan yang menempatkan wanita secara seimbang; kombinasi potensi positif dan negatif yang melingkupi wanita dapat terjadi. Artinya, perempuan dan wanita memiliki potensi untuk mengembangkan sisi positif atau kadang juga sedikit tergelincir ke arah negatif.

Karena itu, pandangan yang ketiga inilah tampaknya yang lebih netral, seimbang, dan adil. Alhasil, menimbulkan rasa rendah hati (tawadu’) dalam membicarakan wanita dibanding pandangan pertama dan kedua di atas.

Untuk memperjelas maksud saya di atas, saya ingin mengemukakan tiga model istri yang saya rangkum secara agamis dari kisah kitab suci yang masyhur. Mungkin ada jamak kisah terkait istri, tetapi saya berupaya menyederhanakannya bagi pembaca. Urutan ini, bersifat tentatif dan sementara sesuai dengan konteksnya, tidak bermaksud sebagai peringkat.

Pertama

Model istri Nabi Nuh as dan istri Nabi Luth as yang kufur. Perhatikan, terjemahan arti ayat Alquran, Surah At-Tahrim ayat 10: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (Neraka)’” (QS. At-Tahrim: 10).

Pada ayat itu, sangat jelas, Nabi Nuh as dan Nabi Luth as merupakan orang saleh (sangat baik), tetapi istri mereka berkhianat. Alhasil, tidak ada hak istimewa yang berlebihan, bahkan bagi istri para nabi yang melakukan kesalahan.

Kita dapat membayangkan bagaimana kesulitan yang dihadapi oleh Nabi Nuh as dan Nabi Luth as, pada satu sisi mereka berdakwah ke masyarakat agar beriman dan sering mendapati penentangan dari kaumnya. Sekaligus pada bagian lainnya secara internal pasangan juga tampaknya kurang mendukung alias melakukan penentangan dari dalam?

Ini, realitas sejarah dan sosial, ada saja kasus ketika istri beroposisi menentang visi dan misi suaminya. Namun, ini bukanlah bukti umum bahwa wanita harus dipersalahkan. Malah, kalau kita telisik secara lebih dalam dan teliti, ternyata wanita bebas memilih sikap dan perilakunya dihadapan orang yang paling baik sekalipun sekaliber nabi?

Maksud saya, jika Nabi Nuh as dan Nabi Luth as saja tidak mempunyai hak istimewa untuk memaksa istri menjadi salehah, konon lagi yang rasanya belum saleh-saleh amat? Saya tidak bermaksud mendorong wanita menjadi salah, tetapi wanita mempunyai pilihan dan kehendaknya, di mana pun dia berada?

Kedua

Model istri Firaun yang beriman. Mari kita cermati arti ayat Alquran selanjutnya, Surah At-Tahrim ayat 11: “Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim’” (QS. At-Tahrim: 11).

Jika dalam model pertama, istri yang khianat sedangkan suami sangat baik. Lalu, model kedua ini sebaliknya, suami yang zalim sedangkan istri sangat baik (shalehah). Kita juga dapat membayangkan kesulitan yang dihadapi istri Firaun, menghadapi tirani suaminya terhadap masyarakat dan dirinya sendiri.

Hal ini juga realitas historis dan kenyataan sosiologis di masyarakat, ada istri yang sangat baik. Namun, suaminya terlalu zalim. Begitupun tentunya, tidak semua wanita dapat memerankan model ini di tengah para suami yang jahat. Artinya, jika Anda seorang istri yang sangat baik, tetapi setiap hari harus berhadapan dengan pria/suami kasar-kejam.

Tentu saja menjadi beban psikologis. Tapi, tetap saja ada wanita shalehah yang dapat memainkan peran model baik ini dalam situasi paling buruk, sekalipun. Kalau demikian, contoh yang dapat disebut adalah istri Firaun yang beriman.

Ketiga

Model istri Nabi Muhammad SAW, seperti Khadijah r.a. Model ini paling ideal sekaligus realistis. Kedua pasangan sangat baik dengan hubungan yang kuat serta dinamis. Kadang, juga diterpa pasang surutnya siklus kehidupan.

Namun, tetap kokoh, sedikit mungkin kadang goyah. Semacam keyakinan kuat, kadang berbaur dengan sedikit keraguan. Kecintaan tulus bercampur dengan kecemberuan terukur dan rasional disertai emosional positif.

Komprehensivitas serta kompleksitas beriring dengan irama dan dinamika kehidupan. Kita sedikit kesulitan istilah untuk mengambarkan keadaan ini, karena banyaknya aspek, sisi, dan segi kehidupan dan alamiah yang melibatkan harapan dan kenyataan hidup. Namun, intinya, keseimbangan pandangan dan menyangkut hubungan manusia; pria-wanita; wanita-pria; pasangan.

Model ketiga inilah yang umumnya hendak digapai setiap pasangan menikah. Tentu dengan kadar kualitas pasangan masing-masing. Model ketiga ini, model idealis sekaligus realis, harapan sekaligus upaya pencapaian. Namun, realitas sejarah dan sosial keluarga juga dapat terjadi pada arah model pertama atau kedua di atas.

Dan yang paling penting diingat di sini, wanita atau pria secara umum berhak dan mempunyai pilihan bebas untuk menjadi baik maupun buruk. Setiap orang dewasa bertanggung jawab atas pilihannya, tidak perlu menyalahkan gender atau bahkan lingkungan sebagai justifikasi atas akibat perbuatan baik maupun buruknya.

Tiga pola di atas merupakan tiga model istri dan suami dalam realitas sosial keluarga masa lalu, kini, dan mendatang–tergantung kitalah yang memilih sikap, model peran yang dilakukan. Mungkin banyak kombinasi model dalam hubungan keluarga.

Namun, setidaknya, tiga model ini menjadi contoh untuk kita ambil ibrahnya. Barangkali, pembaca yang merasa keadaan keluarganya kini model ketiga yang ideal sekaligus realis, tidak harus menggibah model pertama dan kedua jiran, tetangganya.

Pasalnya, banyak keluarga yang mengaku di media sosial paling sakinah, mawadah, dan warahmah sekalipun, dalam kenyataannya mungkin hanya tipe model pertama dan kedua, belum pada tingkatan seimbang dan adil.

Pada bagian lain, mungkin pembaca merasa model hubungan suami dan istrinya dalam tahap pertama dan kedua, tetaplah dalam kondisi baik, berupaya melakukan amal shaleh, tidak menjadikan alasan hubungan buruk sebagai pembenaran melakukan kejahatan.

Tidak pula karena merasa sudah baik dan shaleh, kita tak boleh lagi disentuh derita dan kecewa atau harus terhindar dari musibah? Tidak ada hak istimewa berlebihan dalam kehidupan, bahkan bagi orang yang shaleh, karena banyaknya aspek yang melingkupi kehidupan dan alamiah.

Tugas kitalah mencari dan mengelola pola dan model kehidupan yang kita pilih, dan kita perlu belajar bertanggung jawab atas pilihan itu, bukan karena orang lain. Inilah hubungan yang dibina atas dasar keseteraan dan kesederajatan, bukan pandangan yang berlebihan positif apalagi negatif, tetapi sekaligus keduanya berkelindan dibina, diupayakan seimbang dan adil selama hayat. (Guru MAN IC Tapsel)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *