Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Tata Cara Haji Tamattu’

  • Bagikan

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah, jika kamu tertahan (tak dapat menyempurnakan pekerjaan haji), maka sembelihlah hadyah (dam) yang mudah diperoleh, dan jangan kamu mencukur rambutmu, sebelum hadyah sampai ke tempat penyembelihan. Jika di antaramu yang sakit ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah diperoleh. Tetapi jika tidak mendapatkannya, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu pulang ke tanah air…” (QS. al-Baqarah: 196)

Ayat di atas menginformasikan tentang pelaksanaan ibadah haji, secara shareh (eksplisit) hanya haji tamattu’ yang disebutkan dalam ayat ini. Inilah alasan sebagian orang bahwa haji tamattu’ lebih afdhal dari haji yang lain, yaitu haji qiran dan haji ifradh.

Tamattu’ secara bahasa adalah bersenang-senang, dalam arti kata bahwa haji tamattu’ lebih mudah mengerjaknnya dari haji yang lain. Pelaksanaan haji tamattu’ dengan cara mendahulukan ibadah umrah terlebih dahulu dimana seseorang yang ingin berhaji tamattu’ sesampainya di Jeddah atau Bir ’Ali (Madinah). Bagi mereka yang datang dari arah Madinah wajib berniat di Zulhulaifah atau Bir ’Ali (lebih kurang 450 km) dari Makkah.

Bagi mereka yang datang dari Suriah, Mesir dan wilayah Maghriby, mereka wajib berniat di Zuhfah atau Rabig (lebih kurang 204 km) dari Makkah. Sedang mereka yang datang dari arah Yaman, China, India, dan Asia Tenggara, mereka wajib berniat di Yalamlam (94 km dari Selatan Makkah).

Khusus bagi jamaah Indonesia karena masuk dari dua arah yaitu Madinah dan Jeddah maka mereka berniat di Bir ’Ali dan yang datang dari arah Jeddah berniat di Jeddah tepatnya di Airport King Abdul Aziz (Miqat Jeddah berdasarkan ijtihad ulama diantaranya: Ibnu Hajar, Ibnu Hazim, dan Fatwa MUI 1980). Dan bagi mereka yang datang dari Iran, Iraq, dan kawasan teluk mereka berniat di Qarnulmanazil (75 km sebelah Timur Makkah).

Ketika mereka berada di miqat, disesuaikan dari negara mana asal mereka datang, seperti yang dijelaskan di atas. Mereka wajib berniat umrah (Labbaikallahumma Umratanmiqat tersebut. Berniat di miqat hukumnya wajib, sedangkan niat ihram umrah itu sendiri adalah rukun haji.

Perbedaan rukun dan wajib adalah jika rukun tidak dikerjakan wajib diulang karena umrahnya tidak sah, sedangkan jika wajib ihram seperti berniat di miqat tidak dikerjakan, maka haji atau umrahnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Namun karena telah melakukan pelanggaran yaitu tidak berniat di miqat, wajib membayar denda/dam seekor kambing.

Bila sudah berniat di miqat, lanjutkan perjalanan menuju Makkah untuk melaksanakan tawwaf di Masjidil Haram, mengelilingi Ka’bah tujuh putaran dengan syarat suci dari hadas kecil dan hadas besar, diawali dari sudut Hajarul Aswad. Setelah tawwaf langsung menuju Sofa untuk melaksanakan sa’i dengan hitungan tujuh kali.

Dari Safa ke Marwa di hitung satu kali dari Marwa ke Sofa dihitung satu dan seterusnya berakhir di Marwa sebagai putran ketujuh. Terakhir tahallul yaitu bergunting menimal tiga helai rambut dan tutup dengan tertib sebagai rukun umrah yang kelima. Dengan demikian selesailah pekerjaan umrah dan boleh memakai pakaian biasa dan tidak berlaku larangan ihram apapun.

Selanjutnya, pada tanggal 8 Zulhijjah kembali berihram dan berniat haji (Labbaikallahumma Hajjan) dan menuju ke Mina untuk bermalam di Mina, dan malam itu disebut tarwiyah (merenung). Menurut sejarah Nabi Ibrahim as, merenungkan mimpinya menyembelih anaknya Ismail, apakah mimpinya itu benar arahnya atau bukan /bertarwiyah hukumnya sunah.

Dari Mina menuju ke Arafah untuk berwukuf di sana, tanggal 9 Zulhijjah. Sebaiknya sebelum berwukuf di Arafah bermalam lebih dahulu di Mina, tanggal 8 Zulhijjah dan hari itu disebut Hari Tarwiyah. Tapi oleh sebab banyaknya jumlah jamaah haji dan dikhawatirkan akan terhambat masuk ke Arafah, maka tanggal 8 Zulhijjah tersebut diarahkan langsung ke Padang Arafah, sehingga tidak dilakukan tarwiyah.

Setelah wukuf di Arafah terus menuju ke Muzdalifah memungut 70 butir batu. Bermalam di Muzdalifah. Setelah melaksanakan Maghrib dan Isya jamak taqdim di Padang Arafah, pelaksanaan shalat Maghrib dan Isya (jamak taqdim) di Arafah atas pertimbangan kemudahan.

Sejatinya shalat Maghrib dan Isya dilaksanakan di Muzdalifah, sebagaimana dilaksanakan oleh Nabi SAW. Ketika mengerjakan haji diriwayatkan dari Jabir ra., bahwa nabi SAW. sesampainya di Muzdalifah melaksanakan sholat Maghrib dan Isya (jamak takhir) dengan satu azan dua iqamat.

Lewat tengah malam berangkat dari Muzdalifah menuju ke Mina untuk melontar jumrah aqabah. Kemudian melontar jumrah aqabah pada 10 Zulhijjah. Hari itu disebut Hari Nahar (hari penyembelihan qurban) atau disebut juga Hari Aqabah (hari mendaki).

Karena hari itu semua manusia yang mengerjakan haji tumpah di satu tempat yang tidak begitu luas tersebut dapat dipastikan akan menjalani kesulitan bagaikan mendaki gunung. Bahkan sebelum tempat tersebut diperluas banyak menelan korban manusia sehingga orang-orang Arab menyebut hari tersebut Yaumul Maut (hari kematian).

Alhamdulillah, sekarang tempat pelontaran sudah diperluas dan memberi kenyamanan bagi jamaah haji dan hilang rasa takut untuk melontar pada hari naas tersebut. Kemudian bertahallul, menggunting rambut bagi laki-laki dan perempuan atau bercukur khusus bagi laki-laki.

Setelah bertahallul, maka segala larangan ihram seperti memakai pakaian berjahit, memotong kuku dan lain-lain tidak berlaku lagi terkecuali bersetubuh bagi suami istri, maka tahallul ini disebut dengan Tahallul Awwal.

Pada 11, 12, 13 Zulhijjah mabit di Mina bermalam di Mina dan di siang harinya melontar jumrah ula, wustha, aqabah. Setelah tiga malam di Mina nafar awal atau dua malam nafar sani, maka kembali ke Makkah untuk melaksanakan tawwaf haji dan sa’i haji.

Setelah tawwaf dan sa’i maka ditutup dengan tahlulul tsani tak perlu dengan bergunting,maka selesailah pelaksanan haji dan sudah terbebas dari seluruh larangan haji. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Haji Tamattu’. Sebelum kembali ke tanah air jangan lupa melaksanakan tawwaf Wada’ atau tawwaf meninggalkan Ka’bah berpisah dengan Baitullah. Wallahua’lamu bishshawab. (Wakil Ketua Dewan Fatwa Alwashliyah)

Penulis: Oleh H. Muhammad Nasir, Lc, MA
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *