Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)
Abu Yazid Al Busthami seorang sufistik kenamaan abad ke-3 Hijriah yang bernama lengkap Abu Yazid Tayfur Ibn Isa Ibn Surusyan Al Busthami. Di dalam literatur tasawuf namanya sering ditulis Bayazid Basthami (بايزيد بسطامى), karena ia memiliki seorang putra yang bernama Yazid, maka orang masyhur menyebutnya dengan panggilan Abu Yazid Al Busthami. Sebutan Busthami pada namanya, dinisbahkan kepada tempat kelahiran dan tempat wafatnya, yaitu Bisthami – Qumis di daerah Tenggara Laut Kaspia – Persia.
Selain itu, Abu Yazid lahir pada tahun 188 Hijriah (804.M) dan wafat pada tahun 261 Hijriah (874 Miladiah ) dalam usia 70 tahun dan dimakamkan di tengah-tengah kota Bistham yang letaknya di jalan Shahid Behesthi di Iran. Guru yang paling banyak memberikan ilmu kepada Abu Yazid Al Busthami adalah Syeikh Abu Ali Al Sindi. Kemudian, kepada Syeikh Abu Ali Al Sindi Abu Yazid menimba banyak ilmu tentang tauhid, fikih Hanafi, dan tashawuf.
Selanjutnya, Abu Yazid Al Busthami meninggalkan banyak kata hikmah yang menarik untuk dicermati di antaranya adalah, Pertama, “Taubat karena berbuat maksiat itu cukup hanya sekali, sedangkan taubat setelah taat harus seribu kali. Sebab taat yang diliputi ujub dan sombong itu, berubah menjadi maksiat yang besar, dan orang tidak akan menyadarinya, sebagaimana jatuhnya iblis dari singgasananya”.
Kedua, “Tidak ada yang lebih mudah bagi kalian daripada membesarkan saudara sesama muslim dan menjaga kehormatannya. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi kamu sekalian daripada saling merendahkan sesama saudara dan menghina kehormatan mereka”. Ketiga, “Aku baru sadar, kukira aku bisa mencintai-Nya. Ternyata cintaku kepada-Nya selama ini akibat cinta-Nya kepadaku”.
Keempat, “Tidak mudah untuk tetap tersenyum dikala kehilangan, apalagi kekasih tercinta. Entah itu keluarga, sahabat karib, lebih lebih para guru terkasih pemberi ilmu. Kehilangan akibat perpisahan masih bisa terobati dengan perjumpaan. Tetapi berpisah karena kematian apa yang tersisa selain kenangan”. Kelima, “Manusia sejati tidak akan menautkan dirinya selain kepada Allah”. Keenam, Cahaya diriku hanya setetes kegelapan dibandingkan dengan cahaya-Nya, Ketujuh, “Kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia sia jika dibandingkan dengan KeMaha Muliaan-Nya.”
Selanjutnya, seorang ulama dan penulis terkenal yang bernama Fariduddin Al Thar di dalam kitab Tadzikirat Al Auliya, Damaskus, Al Maktabi, 2009, halaman 184-187 menceritakan tentang Abu Yazid Al Busthami yang tersentuh dengan surat Lukman ayat 14 : ان اشكرلي ولوالديك الي المصير. Artinya, bersyukurlah kepadaku dan berterimakasihlah kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.
Setelah membaca ayat ini, Abu Yazid Al Busthami mohon izin kepada gurunya untuk pulang menemui ibunya. Sesampainya di rumah Abu Yazid Al Busthami berkata kepada ibunya, saya tidak bisa menjalankan dua ibadah syukur (menuntut ilmu sekaligus merawat ibu) dalam waktu bersamaan. Lalu untuk menghilangkan kebimbangan putra kesayangannya, maka ibu Abu Yazid Al Busthami mengatakan kepada Abu Yazid Al Busthami, Aku bebaskan semua kewajibanmu untuk merawatku dan aku pasrahkan kamu kepada Allah, pergilah dan jadilah seorang hamba Allah, ujar ibu Abu Yazid Al Busthami.
Sejak saat itu Abu Yazid Al Busthami meninggalkan kota Bistham untuk menjadi pengelana ilmu, yang merantau berpindah pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnnya dan hal itu berlangsung selama 30 tahun tanpa henti, serta berguru kepada kurang lebih 113 guru. Sebagian besar hari-harinya dihabiskan oleh Abu Yazid Al Busthami dengan berpuasa dan beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt sampai ia mencapai kedudukan sebagai zahid atau orang yang zuhud ( LIhat kitab Tadzkirat Al Auliya’, Damaskus, Al Maktab, 2009, halaman, 187-189).
Adapun menyangkut subtantif ajaran tashawuf, Abu Yazid Al Busthami mengacu pada 3 aspek, yaitu fana, baqa, dan ittihad. Abu Yazid Al Busthami memandang tiga aspek tersebut merupakan pengalaman spiritual yang terjadi setelah tingkat tertinggi tercapai oleh seorang sufi, yaitu ma’rifat (mengenal Allah).
Menurut Abu Yazid Al Busthami yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya kesadaran tentang alam dan diri sendiri. Kemanapun ia menghadap yang ada di dalam mata hatinya hanyalah Allah Swt yang telah menciptakan dirinya. Semua selain Allah menjadi lenyap (fana) dalam pandangan mata batinnya. Karena fana inilah lahir baqa, yaitu kesadaran tentang selain Allah menjadi hilang sirna (fana) dan yang tinggal hanya kesadaran tentang Allah (baqa) atau abadi.
Adapun ittihad menurut Abu Yazid Al Busthami adalah keadaan ketika seorang sufi tenggelam dalam lautan sifat-sifat ketuhanan. Fana dan baqa dua keadaan yang saling mengikat tidak terpisahkan, karena jika seorang sufi telah fana, maka terjadilah baqa pada dirinya.
Abu Yazid Al Busthami mengatakan bahwa ilmu yang Allah anugrahkan kepadanya bila dibandingkan dengan ilmu yang Allah anugrahkan kepada Nabi Muhammad Saw layaknya tetesan-tetesan madu dibandingkan dengan sekarung besar madu (Lihat Walbridge, John, Suhrawardi and Illumination in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, edited by Peter Adamson, Richard C Taylor, Cambridge University Press, 2005, halaman, 206).
Menjelang akhir hayatnya, Abu Yazid Al Busthami memasuki tempat shalatnya dengan menggunakan ikat pinggang, mantel, dan peci terbuat dari bulu domba yang biasa dikenakannya. Di tempat shalatnya itu Abu Yazid Al Busthami bermunajat kepada Allah Swt, Ya Allah aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah aku tunaikan seumur hidupku, aku juga tidak membanggakan shalat yang telah aku tegakkan sepanjang malam. Tidak pula menyombongkan puasa yang telah aku lakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan upayaku mengkhatamkan Al Qur’an berulang ulang kali.
Akupun tak akan mengatakan betapa tingginya pengalaman spiritual yang telah aku alami, betapa bersungguh sungguhnya untuk do’a yang telah aku panjatkan dan betapa aku berupaya mendekat kepada-Mu. Engkaupun Maha Mengetahui bahwa aku tidak membanggakan segala sesuatu yang telah aku lakukan sebagai penghambaan diriku kepada-Mu, karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu, sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri.
Semuanya tidaklah berarti, dan anggaplah tidak pernah terjadi. Aku hanyalah seorang laki laki tua yang telah berumur 70 tahun dengan rambut yang telah memutih dalam keburukan. Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang (belenggu dunia) ini, baru sekarang aku dapat melangkah kepada pintu keselamatan yang utuh dan sempurna. Baru sekaranglah lisanku bergerak untuk terakhir kali mengucapkan syahadat tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Segala penghambaan diriku kepada-Mu nilainya hanyalah baru setitik debu. Ya Allah Ya Tuhanku, Basuhlah debu keingkaran yang meliputi diriku, karena akupun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu. Tepat pada tahun 261 Hijriah (874 Miladiah) dalam usia 70 tahun, Abu Yazid Al Busthami menghembuskan nafas terakhirnya di dalam mihrab tempat ia biasa menegakkan shalat sunatnya di kota Bistham dan pada tahun 713 Hijriah (1313 Miladiah) didirikan sebuah kubah di atas makamnya atas perintah sulthan Mongol yang bernama Muhammad Khudabanda, seorang sulthan yang berguru kepada Syekh Syarafuddin yang masih keturunan dari Abu Yazid Al Busthami.
Demikianlah kisah perjalanan kehidupan spiritul Abu Yazid Al Busthami, semoga bermanfaat untuk dapat diambil sebagai wawasan keilmuan. Wallahua’lam.
Penulis adalah Dosen Hadist Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.