Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM.
Bulan Syawal kerap diasosiasikan dengan keriangan Idulfitri, tradisi silaturahmi, dan semangat kembali ke fitrah. Namun lebih dari itu, Syawal mengandung pesan transformatif menuju keberagamaan yang lebih matang. Apalagi ketika bertepatan dengan hari Jumat “sayyidul ayyam” (penghulu segala hari) momentum ini menjadi peluang emas untuk meresapi makna takwa dalam dimensi sosial.
Islam tidak sekadar menuntut ketakwaan individual, tetapi juga mendorong terbentuknya “takwa sosial”, yakni keimanan yang tercermin dalam keadilan, kepedulian, dan pemberdayaan. Banyak orang lulus dari madrasah Ramadan secara spiritual, namun gagal menunjukkan perubahan sosial di lingkungannya. Padahal, esensi ibadah adalah pembentukan masyarakat yang adil dan peduli.
Dalam QS. Al-Baqarah: 183, Allah menegaskan bahwa tujuan puasa adalah “la‘allakum tattaqun” (agar kamu bertakwa). Namun, Al-Qur’an tidak memisahkan antara ibadah dan muamalah. Takwa bukan hanya soal ritual, tetapi juga menyangkut kejujuran dalam berdagang, keadilan dalam memimpin, serta menolak segala bentuk kezhaliman dan penyimpangan kekuasaan. Inilah yang disebut para cendekiawan sebagai “takwa berwawasan sosial” (socially-engaged piety).
Tantangan nyata di negeri ini menunjukkan bahwa kesalehan belum sepenuhnya menjelma menjadi etika publik. Ketimpangan sosial, lemahnya empati dalam pelayanan publik, dan korupsi yang mengakar membuktikan bahwa nilai-nilai spiritual belum menyentuh sistem sosial secara utuh.
Momen “Jumat di bulan Syawal” seharusnya menjadi checkpoint spiritual. Kita perlu bertanya: sudahkah ibadah Ramadan berdampak pada lingkungan sekitar? Sudahkah zakat dan sedekah menyentuh kaum marginal? Sudahkah kita membela nilai keadilan di ruang-ruang publik?
Takwa sosial menjadi penting untuk dibumikan secara nyata. Bukan sekadar simbol syariat, tetapi dalam bentuk kepedulian, advokasi terhadap yang lemah, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan. Tanpa ini, Syawal hanya menjadi seremonial pasca-Ramadan, bukan pijakan menuju masyarakat madani.
Syawal dan Jumat mestinya tidak berhenti sebagai rutinitas, melainkan momentum untuk memperkuat nilai-nilai etis dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Penulis adalah Advokat, Konsultan Hukum, dan Akademisi IAIN Lhokseumawe
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.