Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Syariat

  • Bagikan

Barang siapa yang melakukan kejelekan atau berbuat aniaya pada diri sendiri kemudian ia meminta ampun kepada Allah maka ia akan mendapati Allah sebagai Tuhan yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (QS. An-Nisaa’ : 110)

Sungguh, syariat yang diturunkan kepada umat pilihan dari Nabi akhir zaman dipenuhi keistimewaan dan kemudahan. Tidak terdapat lagi kesulitan dalam ajaran sebagaimana umat terdahulu. Pertanyaannya, apa saja keistimewaan syariat umat Muhammad SAW yang tidak diberikan kepada umat Nabi sebelumnya?

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, seorang Ulama besar dari Arab Saudi dan masih keturunan Rasulullah SAW, merangkum kemuliaan umat Muhammad dalam kitabnya Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah.

Pertama, jika umat Muhammad SAW berdosa, tidak langsung diazab dan tobat nashuha sudah cukup menebusnya. Umat terdahulu, seperti Bani Israil ketika mereka berdosa karena menyembah anak sapi maka mesti dibunuh untuk menghilangkan dosanya. Firman-NYA dalam QS. Al Baqarah 54:

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sesembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.”

Bahkan ketika mereka melakukan dosa maka mereka akan memotong bagian tubuh yang melakukannya. Kemaluan mesti dipotong jika berzina, lidah dipotong jika berbohong dan seterusnya.

Begitu pula dengan orang Yahudi yang melakukan pelanggaran di hari Sabat, langsung Allah kutuk menjadi kera (QS. Al Baqarah: 65-66). Tak kalah mengerikannya dengan umat Nabi Hud yang ketika berdosa dan menantang azab yang diperingatkan kepada mereka, Allah Azza wa Jalla hancurkan mereka dengan angin sampai tidak tampak lagi kecuali hanya bekas-bekas tempat tinggal mereka (QS. Al Ahqaf: 22-25).

Kedua, jika umat Muhammad SAW berdosa selalu ditutup Allah aibnya. Sementara umat terdahulu, jika melakukan satu perbuatan dosa maka di pagi hari akan tertulis di pintu rumahnya satu tulisan yang bisa dibaca oleh siapa pun, “Si Fulan telah melakukan perbuatan dosa ini dan itu. Sebagai tebusannya adalah ini dan itu”.

Ketiga, jika umat Muhammad SAW berniat akan berbuat kebaikan maka langsung dihitung pahala, sebaliknya jika berniat berbuat maksiat belum dicatat sebagai dosa. Ibnu Abbas meriwayatkan dalilnya:

“Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat mengerjakan kebaikan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak. Jika dia berniat melakukan keburukan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu sebagai satu keburukan” (HR. Bukhari Muslim).

Sementara syariat umat terdahulu, tetap akan disiksa meski baru berniat jahat. Walaupun syariat ini mereka abaikan dengan mengatakan, sami’na wa ‘ashaina (kami dengar namun kami membangkangnya).

Keempat, jika umat Muhammad SAW terkena najis maka cukup dihilangkan najis tersebut tanpa harus memotong bagian yang terkena najis. Sementara umat terdahulu, jika terkena najis maka satu-satunya cara menyucikan kembali pakaian tersebut dengan memotong bagian yang terkena najis.

Bahkan menurut sebagian ulama bila anggota badan seorang Bani Israil terkena najis maka ia mesti memotong bagian anggota badan yang terkena najis tersebut. Imam Abu Dawud dalam kitabnya Sunan Abi Dawud meriwayatkan, “Adalah Bani Israil bila mereka terkena air kencing maka mereka memotong apa yang terkena air kencing itu.”

Kelima, jika seorang istri umat Muhammad SAW haid maka tetap boleh melakukan apapun kecuali jima’. Sementara syariat umat terdahulu jika istri mereka haid maka ditinggal sendiri di rumah dan tidak diberi makan.

Anas meriwayatkan bahwa orang Yahudi bila para wanita mereka sedang haid, mereka tidak memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan” (HR Muslim).

Keenam, jika umat Muhammad SAW melakukan kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksa maka Allah SWT tidak akan menghukumnya. Sebagaimana hadis riwayat Ibnu Abbas:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan kesalahan karena lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan” (HR. Ibnu Majah).

Syariat umat terdahulu tidak mendapatkan keistimewaan ini. Mereka tetap dihukum karena kesalahan atau karena lupa sebagaimana Allah telah mengharamkan suatu makanan dan minuman akibat kesalahan mereka.

Cukuplah beberapa keistimewaan dan kemudahan syariat ini menjadi penstimulus untuk tetap ikhlas dan tulus dalam taat sampai nyawa berhembus. Allahu musta’an. WASPADA

(Guru PAI SMAN 2 Medan Ketua Deputi Humas Ikadi Sumut Wakil Ketua Majelis Dakwah PW Al Washliyah Sumut)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *