Reses Dan Musyawarah

  • Bagikan
Reses Dan Musyawarah

Oleh Islahuddin Panggabean

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal” (QS Ali Imran: 159)

Buya Hamka menjelaskan bahwa secara umum bahwa QS Ali Imran ayat 159 merupakan tuntunan Allah tentang cara memimpin ummat. Kemudian, saat menjelaskan tentang penggalan ayat “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu.” Hamka menekankan bahwa inilah dia inti kepemimpinan. Yakni musyawarah.

Masa Reses sebenarnya merupakan saat-saat penting dalam aspek kepemimpinan dan pembangunan daerah berdasarkan aspirasi masyarakat. Sederhananya, Reses merupakan kegiatan anggota dewan perwakilan rakyat daerah untuk berinteraksi langsung dengan konstituennya di luar waktu sidang. Reses merupakan kewajiban anggota dewan untuk bertemu dengan konstituen secara rutin.

Penjaringan aspirasi dari hasil reses maupun pertemuan dengan masyarakat lain inilah yang kemudian nantinya akan dimasukkan ke dalam pokok-pokok pikiran (pokir). Pokir merupakan usulan pengadaan barang maupun jasa dari anggota DPRD berdasarkan aspirasi masyarakat.

Pokir adalah bahan ”perjuangan” para wakil rakyat. Pokir juga menjadi salah satu bahan dalam menyusun rancangan awal Rencana kerja pemerintah. Pokir akan divalidasi oleh Bappeda, Perangkat Daerah, dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Setelah semua sudah oke, maka akan ditambahkan ke rencana kerja Organisasi Perangkat Daerah yang terkait.

Salah satu sarana lain dalam perencanan pembangunan yakni Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Yakni forum untuk menyusun rencana pembangunan nasional dan daerah. Bedanya, Musrenbang diadakan oleh pemerintah daerah sedangkan reses oleh anggota DPRD kabupaten/kota. Tentu aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat akan tetap sama sampai apa yang mereka sampaikan terealisasi.

Rangkaian dari semua inilah merupakan salah satu bentuk dari sila keempat dari Pancasila, ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Pemimpin atau Wakil rakyat menyerap aspirasi dan bermusyawarah untuk mengeluarkan kebijakan terbaik buat rakyat.

M. Quraish Shihab menjelaskan kata ”musyawarah” terambil dari akar kata syawara yang pada mulanya bermakna, ”mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata ”musyawarah” pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

Madu yang dihasilkan oleh lebah tidak hanya manis, tetapi juga menjadi obat bagi penyakit, sekaligus menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itu yang harus dicari untuk didapatkan dimanapun oleh siapapun.

Jika demikian, yang bermusyawarah bagaikan lebah adalah makhluk yang sangat disiplin, kerjasama mengagumkan, karena lebah makanannya dari sari kembang, hasilnya madu, di manapun ia hinggap tidak pernah merusak, tidak mengganggu kecuali diganggu, sengatannya pun obat. Itulah permusyawaratan dan demikian itu sifat yang melakukannya. Tidak heran jika Nabi saw menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

Ayat lain mengenai musyawarah terdapat di QS Asy-Syura ayat 38. ”sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” Surah Asy-Syura turun di Makkah sementara QS Ali Imran turun di Madinah. Mengenai hal ini Hamka pun menilai bahwa musyawarah menjadi pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam. Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman atau ketika terancam bahaya.

Ketika Rasulullah SAW menjadi pemimpin masyarakat di Madinah. Yang menjadi Undang-Undang Dasar adalah Wahyu Ilahi yang tidak boleh diganggu gugat, tetapi pelaksanaannya terserah kepada kebijaksanaan Rasul sebagai kepala dan pemimpin masyarakat.

Beliau telah menegaskan ada pembagiannya, yaitu urusan agama dan urusan dunia. Mana yang mengenai urusan agama, yaitu ibadah, syari’at, dan hukum dasar adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semua wajib tunduk. Akan tetapi, urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan lain hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan).

Nabi SAW telah berkali-kali mencontohkan bagaimana beliau menyerap aspirasi dan masukan sebelum mengeluarkan kebijakan. Seperti di Perang Badar saat sahabat al-Habbab bin al-Mundzir memberikan masukan tentang posisi pasukan yang harus dekat dengan air.

Habbab sebelumnya bertanya, “Ya Rasulullah! Ketika tempat ini engkau pilih, apakah dia sebagai perintah dari Allah, sehingga kami tidak boleh mendahuluinya atau membelakanginya, atau ini hanya semata-mata pendapat sendiri dalam rangka peperangan dan siasat?” Rasul menjawab, “Cuma pendapat sendiri dalam rangka berperang dan siasat.”Masukan Habbab tentang posisi pasukan itu pun diikuti Rasulullah Saw.

Setelah habis Perang Badar dan terdapat 70 orang tawanan, beliau juga musyawarah tentang sikap yang akan diambil terhadap orang-orang tawanan itu. Begitupula pada Perang Uhud, pendapat beliau pribadi (untuk menunggu di dalam kota) beliau nafikan dan mengikuti suara terbanyak kala itu supaya keluar dan bertempur di luar kota.

Setelah ”kalah” dalam Perang Uhud, sekali-kali tidak beliau menyatakan penyesalannya, padahal jika pendapatnya yang dituruti, tidak akan kalah. Yang beliau sesali ialah yang ditegur Allah yakni oknum yang tidak patuh kepada disiplin.

Hamka menjelaskan pertumbuhan syura islami itu hampir sama jugalah dengan pertumbuhan demokrasi pada kota-kota Yunani purbakala. Buya Hamka tekankan Rasulullah Saw tidaklah meninggalkan wasiat politik yang teperinci tentang teknik cara bagaimana menyusun syura itu. Terserahlah bagaimana hendaknya teknik melancarkan syura itu menurut keadaan tempat dan keadaan zaman. Tidaklah Rasulullah mengikat kita dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai lagi dengan zaman yang selalu berkembang.

Yang penting ialah adanya pokok pegangan. Yaitu dalam masyarakat mesti selalu ada syura. Islam menanamkan prinsip bahwa bermasyarakat dan bernegara wajib bermusyawarah. Jauh dari inti kehendak Islam suatu masyarakat yang hanya dipengaruhi oleh satu orang. Satu lurah yang laksana dewa dalam desanya, atau gubernur yang laksana raksasa dalam daerahnya, atau satu kepala yang memerintah dengan kehendak sendiri, dikelilingi oleh penjilat-penjilat yang hanya mengiya-iyakan apa yang beliau kehendaki.

Penutup

Masa Reses anggota dewan maupun Musrenbang adalah salah satu pokok pembangunan yang harusnya dilaksanakan dan diikuti secara maksimal oleh masyarakat. Proses musyawarah yang baik akan menghasilkan kebaikan bagi semua. Wallahualam.

Pengurus Rumah Dakwah As-Sakinah


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *