Ramadhan Suluh Perdamaian

  • Bagikan

Oleh Aswadi Lubis

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 183)

Ibadah puasa, sepanjang sejarah manusia, selalu menyuarakan pesan moral yang amat kuat. Sedemikian kuatnya sehingga rukun Islam yang ketiga itu bukan saja menyeru kepada panggilan kewajiban ibadah semata, tapi, lebih jauh lagi, menyeruak masuk ke wilayah pribadi bersifat individual dan psikologis, bahkan ke wilayah sosial, politik, ekonomi dan kultural.

Bulan Ramadhan sejatinya menjadi simbol dan ruang untuk memperkuat dan mempererat kehidupan berbangsa. Karena di bulan Ramadhan dilaksanakan satu ritual yang disebut dengan puasa. Ritual ini bukan hanya ada pada umat Nabi Muhammad SAW namun juga umat sebelumnya.

Penegasan al-Qur’an di atas menunjukkan betapa puasa juga telah menjadi amalan ibadah umat terdahulu. Di sinilah, puasa diletakkan sebagai ibadah universal, yang secara nyata pernah dipraktikkan oleh agama lain. Bahkan, ibadah puasa tidak hanya menjadi klaim agama samawi, Hindu dan Budha pun memiliki ibadah puasa yang biasanya dijadikan sebagai sarana atau persiapan untuk melakukan ibadah ritual; mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ibadah puasa merupakan salah satu mata rantai yang menunjukkan aspek kesinambungan atau kontinuitas agama di dunia. Dalam Islam, puasa berarti menjadi bukti kelanjutan dan penyempurnaan dari agama Allah (samawi) yang telah diturunkan kepada umat sebelumnya.

Secara teologis, puasa di bulan Ramadhan diyakini sebagai hubungan tersembunyi antara manusia dengan Khaliq-nya. Artinya, orang lain tidak bisa memberi kontrol, hanya diri sedirilah yang berperan penuh dalam menjaga hubungan tersebut. Posisi ibadah yang seperti ini, memberikan kemandirian dan latihan menguasai diri secara utuh dari nafsu angkara.

Nafsu angkara murka seringkali mengelabui pikiran manusia untuk melihat sebuah kejelekan sebagai kebaikan. Itu artinya, kebencian, fitnah, adu domba, merasa angkuh dan mencintai perpecahan dan rakus adalah narasi yang dibisikkan nafsu sehingga mengotori akal suci manusia. Sebagaimana Allah jelaskan dalam Al-Qur’an, sesungguhnya nafsu itu selalu memotivasi manusia untuk berbuat dosa (QS. Yusuf: 53).

Tidak makan dan tidak minum adalah simbol dari perjuangan manusia untuk menundukkan fisik dan nafsu agar ia melihat dirinya sebagai makhluk yang lemah. Bukan makhluk yang jumawa yang merasa diri paling benar dan egois. Sifat yang dilahirkan nafsu umumnya berbahaya dan kerap mencetuskan permusuhan di antara umat manusia.

Manusia yang selalu dikendalikan nafsu akan buta melihat kebenaran meski batinnya menerima kebenaran itu. Manusia yang dikendalikan hawa nafsunya akan menghilangkan jati dirinya bahkan menghilangkan rasa kemanusiaannya yang kadang menyulut konflik.

Ibn ‘Arabi seorang pelopor dalam aliran tasawuf pernah menegaskan, substansi segala yang ada adalah Tuhan Yang Mahakuasa. Puasa dengan serius adalah upaya mengenal substansi itu. Setidaknya membawa kita mengenal kelemahan sebagai manusia dan menyadari masih ada yang Mahasegalanya.

Dengan menyadari hal itu, dipastikan, manusia mengalami dua gerakan sekaligus. Pertama, gerakan dari dalam, yaitu, batin yang sudah terdidik ritual puasa akan mengambil jalan islah dan membuka pintu maaf bagi setiap kesalahan orang lain. Kedua, gerakan dari luar, yaitu tradisi kebersamaan di bulan Ramadhan akan mengakrabkan keluarga, masyarakat, sesama manusia karena di dalamnya terdapat berbagai macam tradisi yang bersifat komunitas.

Sedemikian pentingnya mempererat persaudaraan antar sesama manusia dalam Ramadhan ini, Rasulullah menjelaskan batasan orang yang berpuasa dengan mengaitkannya terhadap penjagaan haraga diri dan hak-hak kemanusiaan.

“Puasa itu adalah perisai, jadi ketika salah satu dari kalian sedang berpuasa, ia tidak boleh memanjakan mulutnya dengan perkataan kasar atau meninggikan suaranya ketika marah (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, puasa bagi orang yang melaksanakannya, dapat dijadikan pelembut hati dan penghancur dinding egoiseme, yang selama ini membuat jarak dan permusuhan. Dari sini, tampak jelas, puasa ikut mendorong terciptanya perdamaian di saat dunia penuh dengan gejolak. (Dosen IAIN Padangsidimpuan)

  • Bagikan