Oleh Ahmad Muda Harahap
“Banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja” (HR. Bukhari)
Tanpa terasa, ibadah puasa Ramadhan untuk tahun ini, kita sudah berada di penghujung. Ada banyak hikmah yang bisa kita raih dalam perjalanan puasa. Mulai dari meningkatnya volume ibadah kita, sampai pada pahala yang berilpat ganda dalam setiap ibadah yang kita lakukan. Namun demikian, meningkatnya ibadah individual tersebut kelihatannya tidak beriringan dengan meningkatnya ibadah sosial umat Islam.
Pasalnya, di sana-sini masih banyak perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas yang kerap dilakukan. Mulai dari korupsi, teror, mesum, pencurian, pedagang nakal dan lain-lain. Fenomena sosial di atas menunjukkan bahwa nuansa puasa bulan Ramadhan ini tidak cukup ampuh menjadi terapi pencegahan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Esensi Puasa
Dapat dipastikan bahwa hal ini terjadi lantaran lemahnya pemahaman terhadap esensi dari puasa. Secara esensial, puasa memiliki dua aspek nilai. Pertama, nilai formal yaitu yang berlaku dalam perspektif ini puasa hanya tinjau dari segi menahan lapar, haus dan nafsu birahi. Maka menurut nilai ini, seseorang telah dikatakan berpuasa apabila dia tidak makan, minum dan melakukan hubungan seksual mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Kedua, secara subtansial, puasa bukanlah soal fisik semata, melainkan penempaan batin dari hawa nafsu. Semua ibadah yang disyariatkan Allah tentu penuh dengan rahasia tersembunyi. Jarang sekali yang merenungkannya dan memahami, hingga dijiwai sebagai syariat. Banyak perbuatan orang puasa yang secara syariat tidak membatalkan puasa, namun menggugurkan pahala besarnya.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah SAW telah memberikan warning terhadap umat Muslim melalui sebuah hadis yang berbunyi, “Banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja” (HR. Bukhari). Dari hadis ini, kita dapat mengetahui bahwa hakikat atau esensi puasa tidak hanya menahan rasa lapar, haus dan gairah birahi saja, melainkan dalam puasa terkandung berbagai aturan, makna dan faedah yang mesti diikuti.
Ketiga, nilai fungsional yaitu yang menjadi parameter sah atau rusaknya puasa seseorang ditinjau dari segi fungsinya. Adapun fungsinya yaitu untuk menjadikan manusia bertakwa (laa’lakum tattaqun), QS. Al-Baqarah 183. Kemudian menurut nilai ini, puasa seseorang sah dan tidak rusak apabila orang tersebut dapat mencapai kualitas ketakwaan terhadap Allah SWT.
Sikap Sosial
Jika kita berpijak pada nilai puasa, maka setidak-tidaknya ibadah puasa memiliki dampak yang positif secara individual dan kolektif. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa muara dari ibadah puasa adalah takwa. Seperti kita maklum bahwa konotasi takwa memiliki dua dimensi yakni takwa sebagai hamba Allah dan taqwa sebagai makhluk sosial. Karena itu, sejatinya, puasa akan menampilkan pribadi yang saleh secara individu dan sosial.
Mengapa demikian? Sepanjang bulan puasa ini, kita, berlatih mengendalikan hawa nafsu. Betapa pun rasa lapar dan dahaga mencengkeram, kita tetap menjalani puasa dengan sabar dan penuh hikmad menunggu waktu berbuka tiba. Betapa pun kantuk dan lelah menerpa, kita paksakan untuk melangkahkan kaki ke masjid, melaksanakan shalat fardhu berjamaah dan shalat tarawih serta ibadah-ibadah yang lain.
Selain itu, puasa bukan hanya tentang perut. Menurut Imam Ghazali, puasa adalah menahan seluruh tubuh, mata, kaki, tangan, telinga, bahkan hati pun ikut berpuasa. Puasanya semua anggota badan untuk tidak menyakiti orang lain, melanggar hak, melakukan yang batil atau bahkan memberikan pengaruh negative pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan begitu, maka puasa akan menjadi ruang untuk ujian dan latihan yang sangat hebat bagi jiwa dalam soal keimanan, kejujuran dan kepekaan sosial.
Dalam konteks itulah maka sejatinya pelaksanaan ibadah puasa merupakan pondasi atau titik tolak dalam menuju keshalehan sosial. Karena melalui ibadah puasa kita berusaha keluar dari hegemoni hawa nafsu; korupsi, cinta dunia, teror, mesum, pencurian, nakal dalam berdagang dan lainnya; yang egoistik. Melalui puasa, kepekaan sosial akan semakin tajam.
Kita merasakan betapa lapar dan dahaganya mereka yang tak berada. Dari sinilah kemudian setiap manusia bisa menjelma menjadi pribadi yang baik, jujur, taqwa, dan peka terhadap sosial. Hal-hal yang demikian inilah seharusnya yang muncul dari hamba yang sedang dan telah melaksanakan ibadah puasa.
Penyakit hati seperti cinta dunia; koruptif, tamak, lalai, dan perilaku yang dapat merugikan orang lain;, seharusnya sudah bersih dalam diri seorang umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Mengapa, dengan puasa adalah media kita untuk keluar dari perbudakan hawa nafsu yang berwujud gila wanita, gila harta, gila kekuasaan, atau gila kehormatan duniawi.
Akhirnya, melalui ibadah puasa ini, mari kita tingkatkan volume ibadah kita secara pribadi dan sosial. Semakin meningkatkan daya tahan iman kita untuk menangkal berbagai godaan hawa nafsu duniawi dan semakin menajamkan mata, telinga, dan hati kita untuk peduli terhadap sesama. Wallahu ‘Alam.
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Tapanuli (STAITA) Padangsidimpuan
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.