Oleh Prof Muzakkir
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal” (QS.Al-Baqarah : 197)
Salah satu tradisi umat Islam Indonesia dalam menyambut dan merayakan hari raya `Idul Fitri (lebaran) adalah pulang kampung (istilah orang Medan) atau bagi orang Jawa dikenal dengan istilah mudik. Idul Fitri atau terkadang disebut dengan Lebaran dianggap momentum yang paling tepat untuk kembali berkumpul dengan keluarga, bershilaturrahim dengan jiran tetangga, karib kerabat, kawan lama setelah sekian lama berpisah, hal ini sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Begitu pentingnya tradisi Pulang Kampung ini, sampai-sampai orang tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah yang cukup besar.
Dengan kata lain, demi pulang kampung mereka sanggup menghabiskan uang yang telah mereka tabung selama satu tahun penuh. Kenaikan tiket pesawat, kapal laut, kereta api dan bus dari 50 % sampai 100 % tidak membuat mereka surut untuk pulang kampung. Tidak itu saja, mereka juga tidak perduli dengan bahaya yang mungkin menimpa mereka diperjalanan baik oleh “perilaku alam” seperti tanah longsor, banjir, resiko bahaya dikendaraan ataupun pencopet. Belum lagi keletihan yang mungkin tak terbayar dan kerugian-kerugian ekonomi lainnya. Malah mereka yang pulang kampung tidak pernah memikirkan tentang kehidupan mereka pasca lebaran.
Realitas kehidupan bagi sebahagian masyarakat modern saat ini disadari atau tidak disadari menuntut manusia untuk memiliki bahkan menguasai materi dan prestise. Kebahagiaan diukur seberapa banyak ia memiliki harta benda, rumah yang mewah, dan mobil yang tersusun rapi di garasi. Keberhasilan dan kesuksesan hidup akan diukur dengan cara seberapa banyak dan tinggi jabatan yang ia pegang dan seberapa banyak ia memiliki massa. Akhirnya manusia menjadi semakin materialistik, individualistik dan hedonistik.
Selain itu relasi yang selama ini terbangun berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud diri manusia sebagai makhluk sosial, juga mengalami pergeseran menjadi relasi individual yang dihubungkan oleh kepentingan bisnis. Hubungan akan terjalin dengan penuh kehangatan bahkan seolah-olah sangat akrab hanya dapat tercipta karena ada kepentingan bisnis yang sama. Wajarlah jika manusia modern sadar atau tidak sadar menjadi tidak autentik lagi. Manusia seperti ini telah menjadi bukan dirinya lagi, melainkan diri yang palsu penuh rekayasa dan kesemuan lainnya. Manusia digerakkan bukan lagi oleh keinginannya yang terdalam (batin) tetapi telah digerakkan secara massal oleh pemegang jabatan ataupun para konglomerat.
Hidup akan dibangun berdasarkan kepura-puraan, keakraban yang dipaksakan, kehangatan yang di rekayasa dan sebagainya. Suasana batin yang seperti ini bukannya menjadikan manusia itu bahagia, melainkan kesengsaraanlah yang dideritanya. Sebagai akibatnya, kehidupan manusia kering dari nilai-nilai moral spiritual. Jika ditelusuri sebabnya, ternyata ada ruang batin dalam diri manusia yang kebutuhannya tidak pernah terpenuhi, yaitu kebutuhan ruhani yang non material, spiritual dan sangat abstrak. Dalam suasana seperti ini, manusia modern mengalami kekeringan jiwa, kehampaan spritual, keterasingan, depresi, stress. Inilah yang sering disebut dengan nestafa manusia modern.
Ketika derita nestafa manusia modern ini telah mencapai titik kulminasi, maka manusia kembali merasakan kerinduan terhadap nilai-nilai moral-spiritual. Manusia modern menjawabnya dengan keinginan kembali merasakan nuansa tradisional yang pernah melekat dalam kehidupannya. Manusia modern ingin kembali merasakan hubungan yang hangat penuh rasa keakraban dan bersifat kekeluargaan. Manusia modern membutuhkan suatu hubungan yang tidak lagi didasari oleh kepentingan bisnis melainkan didasarkan pada kebutuhan eksistensisnya sebagai manusia yang perlu berinteraksi dengan orang lain. Suasana ini tentu saja akan mereka temukan pada saat pulang kampung.
Ketika manusia modern yang tinggal di kota-kota merasakan dirinya bukan lagi menjadi manusia yang utuh, maka ia ingin menemukan kembali kemanusiaannya dengan cara pulang kampung. Pulang kampung bukan sekedar untuk berjumpa dengan orang tua, karib kerabat, tetapi lebih jauh dari itu mereka ingin menemukan suasana kemanusiaan yang sejati, tulus dan abadi. Ketika mereka pulang kampung mereka akan bershilaturrahim dengan seluruh keluarga tanpa didasari oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat material.
Tidak itu saja mereka juga dapat melakukan shilaturrahim dengan orang-orang yang telah meninggal, baik orang tua, guru dan saudara sehingga tanpa disadari muncullah kesadaran eskatologis, kesadaran akan adanya kematian dan perhitungan diakhirat. Kesadaran ini akan membentuk suatu sikap yang tidak lagi memburu dunia dengan perhiasannya akan tetapi akan menggiring manusia menjadi sadar untuk mempersiapkan bekal akhiratnya. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal” (QS.Al-Baqarah : 197).
Di kampung mereka akan menemukan suasana kekeluargaan yang dibangun atas dasar cinta yang tulus ikhlas dan bukan dibangun atas kepentingan-kepentingan material. Di kampung mereka akan menemukan hubungan yang hangat penuh rasa simpati dan empati dan bukan hubungan yang dibangun atas kepentingan bisnis. Di kampung mereka akan berkomunikasi secara beradab sesuai dengan hirarki tradisional yang menyejukkan bukan komunikasi yang dibangun atas hirarki kepemilikan modal dan alat-alat produksi yang menggerahkan. Pendeknya di kampung mereka diperlakukan sebagai manusia yang berjiwa dan berharga, bukan sebagai angka-angka yang sering dieksploitasi oleh penguasa dan pengusaha, dan juga bukan seperti skerup-skerup yang menggerakkan kenderaan kota.
Dapatlah dikatakan pulang kampung adalah upaya manusia untuk menemukan kembali hakikat dirinya sebagai manusia yang memiliki jiwa dan rasa. Atas dasar inilah mengapa orang yang pulang kampung tidak segan-segan mengeluarkan biaya ekonomi yang tinggi semata-mata untuk mendapatkan nilai sosial yang tak bisa dihargakan dengan rupiah. Manusia yang pulang kampung akan mengalami transformasi jiwa yang cukup berarti dalam membangun citra dirinya sebagai manusia. Lebih jauh dari itu tentu diharapkan ia juga akan mengalami perubahan-perubahan sikap yang lebih humanis. Mungkin selama ini ia juga termasuk orang yang memperlakukan orang lain bukan sebagai manusia, maka ia menjadi sadar dan menyadari bahwa manusia itu membutuhkan perlakuan yang manusiawi.
Mungkin selama ini ia membangun relasi berdasarkan angka-angka, menjadi sadar bahwa hubungan yang abadi itu hanya dapat dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, moralitas dan penghargaan. Tradisi mudik atau pulang kampung adalah satu bentuk terapi modernitas. Setelah mereka pulang kampung dan kembali ke kota tempat mereka bekerja, diharapkan mereka menjadi manusia-manusia yang baru [‘Idul fitri] dan asli (autentik). Pada gilirannya mereka akan dapat merubah wajah kota yang seram, keras menjadi wajah kota yang lembut dan damai. Sayangnya manusia yang pulang kampung itu kebanyakan hanyalah orang-orang kecil yang selama ini mereka orang-orang yang dikorbankan. Adalah lebih baik jika penguasa dan pengusaha yang selama ini mengendalikan kebijakan kota juga pulang kampung sehingga mereka juga kembali menemukan nilai-nilai kemanusiaan dan menjadi manusia sejati.
Sejatinya manusia yang pulang kampung dapat membumikan nilai-nilai Alquran sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran suroh Yunus ayat 57, bahwa mereka harus menanamkan nilai-nilai pendidikan dan pengajaran, menasehati diri sendiri menjadi manusia sejati [mau’izhotul hasanah], selain menjadi terapi hati untuk menghidupkan kembali rasa yang selama ini barangkali telah mati rasa, tidak peka terhadap kebenaran [syifa’ul lima fis shudur], dan tetap tegar menjalani hidup yang benar [hudan], tidak memilih jalan hidup yang salah dan gelap gulita serta senantiasa menebarkan kasih sayang dan perdamaian [rahmat] bagi manusia di jagat raya bumi.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN SU.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.