Pesan Khutbah Haji Wada` Nabi Muhammad SAW

  • Bagikan

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS.Al-Maidah : 3)

Ibadah haji adalah ibadah yang sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan yang tidak saja berguna bagi para jamaah haji juga berguna bagi orang yang belum memiliki kesempatan untuk menunaikannya. Di antara pesan kemanusiaan tersebut dapat ditemukan pada haji wada` Nabi Muhammad SAW.

Pesan tersebut sangat berguna terutama bagi kita umat Islam Indonesia yang tengah mengalami berbagai persoalan kemanusiaan yang cukup berat, pemulihan ekonomi pasca dua tahun pandemi (2020-2022), masih terjadinya berbagai krisis moralitas, bahkan tindakan kriminalitas yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang berakhir pertumpahan darah hingga kematian yang tragis.

Sampai di sini dipandang perlu untuk kembali mengungkap pesan kemanusiaan Nabi Muhammad SAW tersebut. Hajjatul-wada` yang sering diterjemahkan dengan haji perpisahan, terjadi pada tahun kesepuluh kenabiaan. Tepat pada tanggal 25 Zulqaedah Nabi Muhammad SAW beserta para istrinya berangkat menuju Baitul Allah diikuti oleh  114.000 jamaah.

Sebagian ahli sejarah menyebutnya 90.000 jama`ah. Pada hari kedelapan Zulhijjah atau disebut juga hari Tarwiyah, Nabi Muhammad SAW pergi ke Mina. Pada keesokan harinya dengan menunggang untanya al-Qashwa Nabi Muhammad SAW pergi menuju `Urana sebuah tempat di desa Namira dekat gunung `Arafat.

Dari sinilah nabi memanggil seluruh manusia untuk berkumpul mendengarkan khutbahnya. Setelah mengucapkan syukur dan pujian kepada Allah SWT, nabi SAW memulai khutbahnya dengan untaian kalimat yang sangat berkesan. Rasul SAW berkata:

Wahai sekalian manusia, perhatikanlah kata-kataku ini, aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, aku masih dapat bertemu kalian atau tidak lagi”. Mendengar muqaddimah ini, seluruh sahabat terdekat meneteskan air mata, karena mereka menyadari bahwa sebentar lagi akan berpisah dengan Rasul SAW.

Selanjutnya Nabi SAW berucap, “saudara-saudara, ayyu yaumin haza? (hari apakah ini) Sahabat menjawab, yaumun haram (hari yang suci). Ayyu baladin haza, negeri apakah ini? nabi kembali bertanya, sahabat menjawab, baladun haram (negeri yang suci). Ayyu syahrun haza, (bulan apakah ini) tanya nabi yang terakhir. Syahrun haram (bulan yang suci) ujar sahabat.

Setelah itu nabi melanjutkan khutbah: “Saudara-saudara bahwasanya darah kamu, harta benda kamu dan kehormatanmu adalah suci seperti sucinya hari ini, tempat ini dan bulan ini. Untuk itu tidak boleh sampai menumpahkan darah. Tuhan kalian satu, bapak kalian semuanya Adam dan Adam dari tanah. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang taqwa. Sesungguhnya tidak ada kelebihan orang Arab terhadap non Arab, kecuali karena takwanya. Apakah aku telah menyampaikannya kepada kalian. Para sahabat menjawab, benar ya Rasulullah.” “Kemudian hai saudaraku, hari ini nafsu Setan yang meminta disembah di negeri ini sudah putus buat selama-lamanya. Tetapi kalau kamu turutkan dia walaupun dalam hal yang kamu anggap kecil, itu berarti kamu merendahkan amalmu dan syetan akan menjadi senang terhadapmu. Oleh karena itu peliharalah agamu ini baik-baik.” “saudara-saudaraku, Istrimu adalah amanah dari Allah, dan kamu halal menggaulinya atas nama Allah, kamu mempunyai hak terhadap istrimu, sebagaimana juga istrimu mempunyai hak terhadapmu, maka berlaku baiklah kamu dengan istrimu. Apa bila mereka ingkar maka Allah mengizinkanmu untu pisah ranjang, dan memukulnya selama tidak memudaratkannya. Perhatikanlah kata-kataku ini wahai saudaraku, dan aku telah meninggalkan dua pusaka kepadamu, Al-Qur’an dan Hadis, jika kamu berpegang kepada keduanya selama-lamanya, maka kamu tidak akan sesat di dunia.

Berangkat dari deskripsi singkat khutbah Rasul SAW tersebut, nyata sekali pesan-pesan kemanusiaan Rasul SAW yang sangat universal. Kita dapat sederhanakan menjadi empat hal penting.

Pertama, Rasul SAW meminta kita umatnya untuk menjaga persaudaraan sesama umat Islam khususnya dan sesama manusia pada umumnya. Darah, harta dan kehormatan kaum muslimin tidak boleh diganggu. Dilarang saling bermusuhan, saling melukai dan saling mencemarkan kehormatannya.

Paham ini dalam Islam disebut dengan egalitarianisme-persamaan (al-musawah) dan keadilan (al-`adalah). Setidaknya dari pesan ini, Rasul SAW menegaskan bentuk-bentuk persaudaraan Islam yang tidak hanya mencakup persaudaraan seakidah saja melainkan mencakup persaudaraan sesama manusia (ukhuwah al-basyariah) tanpa membedakan agama, ras dan bangsa.

Lebih penting dari itu dalam konteks kehidupan berbangsa saat ini persaudaraan yang sangat perlu untuk dikembangkan adalah persaudaraan kebangsaan (ukhuwah al-wataniyah). Seluruh anak bangsa harus menyadari bahwa kita adalah bersaudara.

Jika satu entitas dari bangsa ini disakiti, diperlakukan tidak adil, diskrimintaif, maka semua harus merasakannya sebagai masalah bersama, dan harus mencari penyelesaiannya secara bersama pula. Dengan demikian, keinginan untuk keluar dari NKRI tidak akan pernah terjadi, justru terbangun rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

Kedua, Rasul SAW memerintahkan kita untuk menjaga akidah yang maksudnya tidak hanya Tauhid, tetapi lebih dari itu bagaimana kita dapat melaksanakan Islam kaffah dan menghindarkan diri dari segala macam perbuatan yang bertentangan dengan agama.

Namun harus disadari bahwa tauhid yang dimaksud oleh Rasul SAW dalam khutbah ini bukan sekedar rukun iman yang sering dipahami secara sempit tetapi yang dimaksud adalah inti dari tauhid itu sendiri yang membawa kita untuk bersikap inklusiv (terbuka).

Sikap inklusivitas yang terbangun dalam diri kita membuat diri kita tidak memutlakkan kebenaran yang ada pada kita (ekslusiv), tetapi kita juga berani untuk melihat dan memanfaatkan kebenaran yang juga ada pada orang lain.

Ketiga, Rasul SAW memerintahkan kepada kita kaum lelaki untuk menjaga, melindungi, mengayomi dan mengasihi istri-istri kita. Karena mereka adalah amanah Allah SAW dan mereka menjadi halal bagi kita dengan nama Allah.

Siapa yang menyakiti dan menghinakan wanita dipandang berperilaku sama dengan jahiliyah. Kendati Rasul SAW menyebut dalam pesannya hanyalah istri, tetapi yang dimaksud Rasul secara umum adalah para wanita.

Disadari sepenuhnya, wanita adalah makhluk yang paling sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil, melalui khutbahnya Rasul SAW sebenarnya sedang mensosialisasikan pesan-pesan keadilan jender, bagaimana kita memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai instrinsik tersendiri sama dan sejajar dengan laki-laki.

Keempat, Rasul SAW mewasiatkan kepada kita untuk menjaga pedoman hidup beragama, bernegara dan bermasyarakat; Al-Qur’an dan Hadis dengan cara mengkajinya secara serius dan tentu saja mengamalkannya. Seiring saat itu 9 Zulhijjah 10 H turun ayat Al-Qur’an:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah : 3).

Dalam hal ini sebenarnya diperlukan kajian-kajian Islam yang rasional, kontekstual sehingga substansi agama dapat digali dan diterjemahkan sesuai dengan kondisi zaman yang sedang berlangsung. Mempelajari Al-Qur’an tidak boleh menjadikan kita semakin eksklusif, tekstualis yang cenderung membawa kita kepada sikap keberagamaan yang ekstrim, konservatif.

Sebaliknya pemahaman kita kepada dua sumber ajaran itu membuat kita memiliki wawasan yang luas dan egaliter dan mampu mengkomunikasikan pesan universal Islam kepada orang lain. Di akhir khutbahnya Rasul SAW menyatakan, fal yuballigh al-syahid (sampaikanlah kepada orang-orang yang tidak hadir).

Melalui ucapan yang singkat ini, Rasul ingin menegaskan komitemen kita kepada ummat Islam sebagai satu kesatuan (ummatan wahidah), saudara (ukhuwah islamiyyah) yang diikat oleh akidah yang satu, kitab suci yang satu serta panutan yang satu. Jika demikian kewajiban masing-masing individu untuk menjaga keluarga agar selalu berada dalam jalan keselamatan.

Mudah-mudahan musim haji yang sedang berlangsung saat ini, membawa era baru dalam kehidupan kemanusiaan kita yang penuh dengan kedamaian, ketentraman dan kesejehteraan hidup. (Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN Sumatera Utara)

  • Bagikan