Pembiaran Oleh Ulama

  • Bagikan

Oleh Islahuddin Panggabean

Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat (QS Al Maidah: 63)

Secara internal, manusia berbuat dosa karena dirinya punya niat dan mampu melakukannya. Akan tetapi, secara eksternal, terjadinya suatu dosa bisa dikarenakan tidak adanya peringatan dari pemuka agama.

Kendati mengetahui aturan-aturan agama, mereka tidak memiliki kepedulian besar untuk menyelamatkan orang lain yang sedang berada dalam kesesatan. Bahkan, bisa jadi, mereka sendiri pun adalah sama-sama pembuat dosa.

Begitujuga orang mudah melecehkan nilai-nilai agama, karena adanya ego superior dan tidak punya perspektif tentang hakikat kehidupan dan makna hidup setelah kematian. Orang Yahudi pernah mengejek Nabi Muhammad Saw ketika mereka mendengar Nabi menyeru menunaikan sholat dengan panggilan azan.

Dalam ayat QS Al-Maidah : 63 di atas dikisahkan perilaku orang-orang Yahudi yang tak sekadar melecehkan agama yang dibawa Muhammad Saw tetapi mereka juga mudah melakukan dosa, permusuhan, agresi, dan memakan harta haram, seperti praktek riba dan sogok.

Anehnya, para rahib- orang yang menjauhkan diri dari kenikmatan duniawi- di antara mereka tidak mengingatkan mereka dari berbagai sikap buruk itu.

Kisah ini dituturkan kembali dalam Alquran sebagai pengingat bagi pengikut Nabi bahwa salah satu tugas keulamaan adalah mengingatkan dan menegur orang, kelompok atau umat yang melakukan pembangkangan perintah Tuhan, berbuat kezaliman dan ketidakadilan.

Kisah para rahib yang tak merefleksikan nilai profetik tersebut tak pantas ditiru. Itulah pesan utama dalam ayat. Kendati lahiriah berbicara perilaku pendeta Yahudi namun maksudnya bisa juga ditujukan kepada orang Islam khususnya para ulama. Sebab mereka mengemban tugas sebagai penerus para nabi.

Ibnu Abbas bahkan mengatakan, di dalam Alquran tidak ada celaan yang lebih hebat daripada ayat ini. Maksudnya, ayat ini merupakan teguran terhadap para ulama apabila mereka tidak memberikan bimbingan kepada umat untuk menempuh jalan kebenaran.

Dalam Islam, ulama ialah pewaris nilai dan semangat profetik para nabi. Ia bak bintang yang siap dan setia memberikan jalan penerang kepada umat saat gelap. Ia juga penjaga moral dalam kehidupan. Cepat tanggap pada saat terjadi penyimpangan moral, dan kemjdian meluruskan.

Di dalam Alquran, dituturkan karakter keulamaan dengan identitas Ulul Albab. Ciri-cirinya antara lain adalah punya kemampuan membaca pelajaran dari setiap sejarah yang terjadi (QS 12: 111), memperoleh hikmah dan kebajikan dari Allah (QS 2: 269), beramal secara konkret dan nyata (QS 13: 29), mampu membaca tanda-tanda alam (QS 39:21, 3: 190) dan selalu berzikir kepada Allah (QS 3: 191).

Karena itu, ketika terjadi pelecehan agama, ulama berada di garis depan menjaga kehormatan Islam. Ketika terjadi kezaliman, ulama harus berteriak lantang. Jika terjadi bencana alam, ulama memberkkan bantuan. Ulama menjadi wakil Tuhan untuk menebar cinta kasih-Nya kepada umat manusia.

Demikianlah, bahwa ulama disebut sebagai ahli waris nabi. Ulama disebut juga sebagai pemegang amanah Allah atas makhluk-Nya dan panutan bagi umat. Hal ini menunjukkan betapa mulia kedudukan ulama. Mereka punya tanggung jawan menyampaikan risalah Allah.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali membagi ulama ke dalam dua kategori: ulama Su’ (tercela, ulama dunia) dan ulama akhirat. Yang pertama adalah ulama yang sangat dicela oleh Allah Swt. Sebab, mereka hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Mereka sibuk mencari kekayaan, kehormatan dan kekuasaan bahkan tidak segan memperjualbelikan ayat-ayat Allah.

Yang kedua adalah ulama akhirat. Mereka punya rasa takut kepada Allah Swt dibandingkan dengan apapun. Mereka selalu membimbing umat agar senantiasa hidup di jalan kebenaran. Mereka mengobati jiwa jiwa manusia yang berdosa. Sesungguhnya, ulama-ulama inilah pemegang amanah Allah sejati.

Buya Hamka menegaskan bahwa Ayat di atas ialah peringatan bahwasanya keruntuhan akhlak umat, sebagian besar terpikul tanggung jawabnya ke atas pundak ulama. Umat salah berbuat dosa karena bodohnya, namanya saja pun orang awam. Tetapi ulama berdiam diri adalah lebih salah, karena mereka tahu.

Buya juga menegaskan bahwa kita memahamkan bahwa ulama itu di dalam Islam bukanlah semata-mata berarti orang pandai, orang alim atau sarjana melainkan merangkap juga menjadi pemimpin ruhani orang banyak.

Ulama-ulama Yahudi menghafal ayat Taurat, karena membangkang memegang hukum, tetapi kalau hukum akan mengenai orang besar-besar, mereka segan. Padahal, apakah tidak mungkin perangai ini pun menimpa kepada ulama Islam sendiri? Berapa banyak ulama yang tekun menghafal Al-Qur’an, Al-Hadis, fiqih, dan sebagainya, tetapi mereka tidak mau turun ke bawah, kepada orang awam buat memimpin ruhani mereka dan akhlak mereka.

Ulama merupakan ahli waris kenabian. Bukanlah ulama sejati jika tidak peduli adanya masalah di tengah masyarakat, terkhusus terkait dengan pelanggaran nilai agama. Sangat berbahaya jika para ulama membiarkan kemaksiatan terjadi dan tidak pernah memberikan perlawanan atas kezaliman. Wallahu’alam.

(Pengurus Mathla’ul Anwar Sumatera Utara)

  • Bagikan