Merdeka Beribadah

  • Bagikan

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin menuturkan, “Sesungguhnya kecintaan kepada Allah adalah puncak dari maqam-maqam dari tingkatan-tingkatannya”

Jika ditanya, siapa sesungguhnya beribadah yang terjajah? Tentu saja, mereka yang beribadah masih mengharapkan pujian insan. Belum murni lillahi Ta’ala. Masih disibukkan casing mempesona namun kehilangan makna karena hanya seremonial belaka. Masih kesulitan menjadi tetap shalih dalam kesendirian sebagaimana mudah sekali shalih di tengah keramaian.

Ibadah yang masih mencari saat, tempat dan limpahan pahala berlipat juga kategori belum merdeka. Amat sangat semangat taat saat dilihat waktu dan tempat yang memiliki pahala dan keutamaan berlipat. Namun futur, malas, enggan dan lamban beribadah ketika waktu berlimpah pahala itu berlalu. Hilang semangat beribadah ketika tidak lagi berada di tempat yang berlipat ganjaran pahala.

Ulama menyampaikan, ibadah itu tiga motivasinya. Khauf, yakni rasa takut kepada Allah, baru mau beribadah. Persis seperti seorang budak yang bekerja karena takut ancaman majikan. Ada pula Raja’, berharap keuntungan Dunia Akhirat.

Motivasi ibadah jenis ini seperti seorang pedagang, selalu mempertimbangkan untung dan kerugian. Sering tumbuh subur semangat beribadah hanya jika ada fadhail (keutamaan), namun kering dan layu jika keutamaan itu berlalu.

Ibadah yang terbaik itu rupanya termotivasi adanya Hubb, yakni cinta kepada Dzat Yang Maha Cinta, Allah Azza wa Jalaa. Inilah level tertinggi dalam ubudiyah. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya ‘Ulumuddin menuturkan, “Sesungguhnya kecintaan kepada Allah adalah puncak dari maqam-maqam dari tingkatan-tingkatannya.”

Karenanya, setiap niat ibadah apapun yang kita lakukan selalu diakhiri kalimat “Lillahi Ta’ala” (karena Allah semata), bukan lidukhulil jannah (agar masuk surga) atau li ‘itqim minannar (agar terhindar dari neraka).

Maknanya, semua ibadah yang kita kerjakan sepanjang hayat bukan karena ingin masuk surga atau takut terlempar ke jurang neraka, bukan pula sekadar mengejar nilai pahala yang berlimpah ruah, namun ending-nya adalah mengharap Ridha Allah SWT melalui rasa cinta kepada-Nya.

Rabi’ah Adawiyah, seorang sufi yang bergelar The Mother of The Grand Master dalam ajaran tasawuf Mahabbah-nya telah memberikan teladan kepada kita tentang beribadah karena cinta. Dalam doa populernya, beliau menegaskan ibadah tanpa mengharapkan balasan, namun ibadah jalan mencapai ketulusan:

“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dari ku keindahan abadi-Mu.”

Begitu pula, nasihat Ibnu Athaillah dalam kitabnya, al-Hikam, beliau menjelaskan, “Pecinta sejati bukanlah orang yang berharap imbalan atau upah dari keikhlasannya. Pecinta sejati adalah orang yang mau berkorban untukmu bukan yang menuntut pengorbanan darimu.”

Inilah ibadah al-Ahrar, orang-orang yang merdeka. Allah tegaskan dalam kalam-Nya, “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah SWT.”

Mereka sudah masuk dalam kategori merdeka beribadah, yakni beribadah selamanya hanya karena Allah semata sampai husnulkhatimah. Allah tutup firman-Nya di penghujung surah Al Hijir, “Beribadah lah kepada Tuhanmu sampai ajal tiba.” Allahua’lam bishshawab.

(Guru PAI SMAN 2 Medan, Ketua Deputi Humas IKADI Sumut, Wakil Ketua Majelis Dakwah PW Al Washliyah Sumut)

  • Bagikan