Oleh M Ridwan Lubis
Terjadinya restorasi kehidupan melalui ibadah puasa, membangun perilaku baru yang tersimpul dalam tiga hal: aktif membangun perilaku maaf (khudz al ‘afwa), mendorong diri proaktif melakukan kebaikan tanpa peduli respons orang lain dan proaktif melakukan tindakan mencegah berbagai perbuatan kemunkaran (QS. Al A’raf [7]: 198).
Insya Allah pada akhir bulan Maret ini segenap umat Islam akan merayakan idul fitri sebagai hari keagungan ilahi. Disebut sebagai hari keagungan ilahi karena pada hari tersebut setiap orang yang telah berhasil melakukan perjuangan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan akan mencapai titik kulminasi perjuangan yaitu berbuka (farhatun ‘inda al iftar) setelah sekian hari menunaikan ibadah puasa.
Perkembangan terbaru menunjukkan betapa salah satu ritual Ramadhan gema shalat tarawih telah menjadi topik baru yang diperbincangkan dalam kehidupan masyarakat di barat. Sebagai imbalan dari ibadah puasa selama sebulan itu, setiap hamba Allah kemudian akan berjumpa dengan Tuhannya (iftar ‘inda liqai rabbihi) sebagai titik puncak kenikmatan setiap hamba Allah yang tidak ada taranya dalam rangkaian perjalanan kehidupan umat manusia.
Berbagai perilaku kemanusiaan sebelumnya telah mengendalikan kehidupan umat manusia seperti sikap khianat, dengki, sombong, cemburu yang puncaknya menolak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Dampaknya kemudian berkembang berbagai perilaku sebagai akar dari setiap konflik dalam kehidupan umat manusia. Pada hari itu yang disebut Idul Fitri, semua perilaku buruk itu hancur luluh akibat keputusan tekad manusia untuk kembali kepada asal kejadiannya (idul firi).
Terjadinya restorasi kehidupan tersebut disebabkan paling tidak karena melalui ibadah puasa setiap orang yang menjalankannya telah berhasil membangun perilaku baru yang tersimpul dalam tiga hal: aktif dalam membangun perilaku maaf (khudz al ‘afwa), mendorong dirinya untuk proaktif melakukan kebaikan tanpa mempedulikan respons orang lain dan ketiga bersikap proaktif melakukan tindakan mencegah terjadinya berbagai perbuatan kemunkaran (QS. Al A’raf [7]: 198).
Dapat dibayangkan betapa tingginya nilai pesan ketuhanan ini terlebih apabila dikaitkan dengan dengan perilaku sosial yang berkembang di era modern. Ketika manusia masih berada pada kehidupan kultur agraris, ada kekuatan yang mendorong manusia untuk selalu komitmen terhadap perbuatan kebaikan dan menjauhi perbuatan buruk dengan adanya keyakinan manusia terhadap keagungan kekuatan supra rasional yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kekuatan wibawa dari tekad berketuhanan ini kemudian berkembang melalui kharisma kewibawaan para primus interpares yaitu tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan budaya. Sehingga masyarakat merasa khawatir akan sanksi yang akan mereka peroleh ketika ada motivasi untuk berperilaku buruk.
Ketika kehidupan umat manusia memasuki babak modern yang hanya mengandalkan pertimbangan rasionalitas ditandai dengan munculnya kecenderungan kehidupan individualistik yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Sejak saat itu, derajat kehidupan umat manusia mengalami kemunduran yang ditandai dengan munculnya berbagai perlikau baru yang tidak dikenal sebelumnya dengan meraja lelanya tindakan perjudian, perkosaan, pencurian, pembunuhan dan lain sebagainya.
Bukan tidak ada upaya sikap reaksi mengatasi berbagai penyimpangan moral itu akan tetapi kualitasnya tidak seimbang dengan gelombang kekerasan demi kekerasan ibarat air bah yang melanda kehidupan masyarakat. Akhirnya, suara kebenaran yang dipancarkan oleh kalangan pemuka agama, cendekiawan, praktisi sosial tidak seimbang dengan gelombang perilaku kekerasan itu. Karena itu, untuk menata kembali kehidupan umat manusia agar tidak mengulang perilaku buruk yang bertentangan peri kemanusiaan maka diperlukan pendekatan baru yaitu sikap proaktif dari segenap warga masyarakat yang telah tercerahkan melalui ibadah puasa.
Karena ibadah puasa adalah suatu resep yang kongkrit, mudah dan murah dalam mengatasi perilaku buruk tersebut. Kebijakan ini tidak sekadar bersifat sukarela akan tetapi hendaklah suatu kebijakan universal yang terstruktur, sistimatis dan masif karena hanya dengan demikian keburukan perilaku akan dapat ditekan kepada tingkat yang serendah mungkin. Dan apabila berhasil dibangun ketegasan sikap yang demikian, maka kehidupan umat manusia akan kembali kepada nilai salam (kedamaiaan), islam (kepasrahan diri), salamatan (keselamatan) dan sullam (tangga menaikkan status).
Islam berpandangan bahwa hal tersebut merupakan perjuangan yang amat berat akibat berbagai tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu dibutuhkan pengorbanan menuju tercapainya cita-cita meraih kehidupan yang baru maka diperlukan keteguhan sikap yang disebut asketisme intelektual yaitu kerelaan menunda kenikmatan sementara untuk meraih kenikmatan yang abadi. Namun hal itu akan sulit tercapai manakala sikap membangun kehidupan yang baru bersifat setengah hati.
Karena itulah, Al-Quran menggunakan kalimat perintah khudz artinya ambil kemaafan, perintahkan orang berbuat kebaikan, cegah orang berbuat kemunkaran. Kemaafan tidak selesai dengan hanya sekadar berjabat tangan akan tetapi harus meningkat kepada derajat devosional yaitu penghayatan ajaran agama bukan sekedar cita-cita atau ritual akan tetapi menjadi tekad dalam hati yang selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.