Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Memetik Hikmah Nuzul Al-Qur’an

  • Bagikan

Oleh Prof Muzakkir

Sesungguhnya kami (Allah) menurunkan Al-Qur’an pada malam Qadar. Tahukah engkau apa malam Qadar itu. Malam Qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Di dalamnya turun Malaikat dan ruh al-Qudus atas izin Tuhan untuk sesuatu urusan, Selamatlah (orang yang memperolehnya) sampai terbitnya fajar(QS. Al-Qadr: 1-4)

Keistimewaan bulan Ramadhan salah satunya adalah diturunkannya Al-Qur’an pada malam Qadar. Hal ini ditegaskan Allah SWT di dalam Al-Qur’an surah al-Qard: 1-4. Peristiwa bersejarah tersebut selalu diperingati melalui acara Nuzul Al-Qur’an (turunnya Al-Qur’an).

Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an, karena itu dianjurkan memperbanyak membaca, mempelajari, menelaah dan mentadabbur Alquran di bulan Ramadhan, dan nuzulul Quran di bulan Ramadhan adalah anugerah Ilahi yang terbesar kepada manusia sebagai;

Penyembuh (syifaun), bahwa telah ada kondisi sebelumnya penyakit sosial di masyarakat yang berpangkal dari penyakit hati yang perlu diobati [kesombongan-keserakahan dan kezaliman];

Petunjuk (hudan), bahwa sudah terdapat pula kekeliruan jalan yang ditempuh manusia sebelumnya, sehingga ia harus dijadikan petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar, dalam menempuh masa depan (QS. Yunus : 57). Dan hakikat dari penemuan Laylatul Qadar di bulan Ramadhan adalah munculnya kesadaran yang tulus dari seseorang untuk;

Menyadari kesalahan dan kekeliruannya di masa lalu, menyucikan dirinya dari dosa-dosa yang pernah dilakukan, dan bertekat menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Orang yang beriman akan memperoleh pencerahan batin, ketenangan dan kedamaian karena kebersamaannya yang panjang bersama Al-Qur’an.

Kita bertanya, apa sesungguhnya makna strategis diperingatinya nuzul Al-Qur’an dalam konteks kehidupan bangsa agar kita dapat memetik berbagai hikmah pada saat ini.? Setidaknya pertanyaan ini menjadi penting disebabkan dua hal.

Pertama, negara kita saat ini tengah mengalami krisis multidimensi. Banyak faktor yang mengakibatkannya, di antaranya adalah mentalitas bangsa ini yang kurang mementingkan hubungan transendentalnya dengan Tuhan, sehingga perilaku buruk merajalela dan seakan-akan sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan.

Beberapa pengamat menganalisis sebenarnya yang terjadi sekarang adalah recovery fatiguei (kelelahan pemulihan), apalagi pemulihan ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Berbagai macam cara telah ditempuh, beberapa alternatif pemikiran juga telah dicurahkan, ternyata kita belum juga mampu keluar dari multi krisis.

Pada level atas memang terjadi perbaikan dalam berbagai bidang, seperti infrastruktural dan lainnya, namun pada sisi lain, kemiskinan pada akar rumput semakin telanjang dan mengkhawatirkan. Pameran kemiskinan di mana-mana terlihat dan menjelma menjadi pandangan sehari-hari.

Begitu sulitnya menemukan jalan keluar dari krisis ini, akhirnya kita letih sendiri, dan kelelahan ini membuat kita tidak lagi mampu menyelesaikan masalah secara jernih. Kedua, Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci yang pasti benar, yang datangnya dari Allah SWT.

Di dalamnya terdapat berbagai macam petunjuk yang berguna bagi manusia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi di dunia ini. Al-Qur’an seringkali menyebut dirinya sebagai huda (petunjuk) dan rahmat bagi manusia. Masalahnya adalah seberapa jauh fungsi Al-Qur’an telah berperan dalam kehidupan ini.

Apakah kita telah sungguh-sungguh untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi dalam menyelesaikan seluruh persoalan bangsa. Jika kita mengalami kejenuhan dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini, apakah Al-Qur`an dapat kita tempatkan sebagai alternatif solusi penyelesaiannya. Jika jawabannya ya, apa yang harus kita lakukan.

Secara normatif-teologis Al-Qur’an telah memberikan jaminan, bagi siapa-siapa yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan memperoleh keselamatan di Dunia dan di Akhirat.

Dalam sebuah hadis Rasul SAW pernah bersabda: “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, selama engkau berpegang kepada keduanya, pasti engkau akan selamat (tidak akan sesat selama-lamanya di dunia), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah” (HR. Malik).

Begitu jelasnya hadis Rasul SAW ini yang menempatkan Al-Qur’an dan sabda-sabdanya sebagai warisan yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Namun dalam kenyataannya mengapa kita tidak selamat dari krisis multi dimensi ini. Jangan-jangan ada sikap kita yang salah selama ini terhadap Al-Qur’an.

Pada Hadis lain disebutkan pula: “Allah SWT mengangkat derajat beberapa kaum melalui Alquran dan Dia merendahkan beberapa kaum lainnya melalui Alquran pula” (HR.Muslim). Pesan Nabi SAW dalam hadis tersebut, bahwa siapa yang beriman, beramal dengan Al-Qur’an, niscaya Allah SWT akan mengangkat derajatnya dan memuliakannya di dunia dan di Akhirat.

Siapa saja yang tidak beramal dengan Alquran, Allah SWT pasti menghinakannya. Untuk itulah peringatan “Nuzul Al-Qur’an” dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi sikap kita selama ini terhadap kitab suci Al-Qur’an.

Melihat proses nuzul Al-Qur’an, setidaknya kita menemukan dua bentuk revolusi sebagai hikmah yang ditawarkan oleh Al-Qur’an; revolusi teologis dan revolusi sosiologis. Revolusi teologis dalam bentuknya yang paling asli adalah membebaskan diri dari bentuk sesembahan yang membelenggu manusia.

Inilah yang tedapat dalam ungkapan La Ilaha Illa Allah. Al-Qur’an ketika pertama sekali turun, menegaskan posisi Tuhan sebagai ma`bud (yang disembah). Di dalam surah al-`Alaq, dinyatakan bahwa yang mencipatakan alam semesta dengan segala isinya adalah Allah SWT, bukan patung, latta,`uzza, manat, hubbal, dan lainnya seperti yang disembah-sembah oleh manusia.

Dalam bentuknya yang paling kontemporer, dengan ungkapan tauhid tersebut, setiap orang harus dapat membebaskan dari tuhan-tuhan kecil dalam bentuk materi yang membelenggu dirinya seperti harta, tahta dan wanita. Dalam bentuknya yang abstrak, manusia harus juga dapat menyingkirkan dan mengendalikan dominasi hawa nafsu dalam dirinya.

Nafsu ingin berkuasa yang melahirkan banyak keburukan-keburukan harus bisa dikendalikan, agar mampu membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan bangsa, tetapi jika masing-masing pemimpin masih dikendalikan hawa nafsunya, maka yang mereka pikirkan adalah bagaimana mengekalkan kekuasaanya dengan melakukan berbagai cara.

Kekuasaan sepertinya menjadi segala-galanya, sehingga seluruh energi dan pemikiran dicurahkan bagaimana memperkuat posisi pribadi dan memperkokoh dukungan kelompoknya, sehingga perbaikan kondisi kehidupan rakyat tidak terselesaikan.

Dalam konteks inilah, revolusi teologis menjadi satu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sejatinya para pemimpin bangsa mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif mulai dapat berpikir merdeka dan bebas tanpa di dominasi oleh hawa nafsu dan kepentingan yang sesaat.

Sebaliknya mereka hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sehingga keputusan yang akan diambil tetap dalam bingkai Ketuhanan. Adapun revolusi sosiologisnya adalah bagaimana menyingkirkan kemiskinan yang bersumber dari ketidakadilan ekonomi.

Tugas pokok negara adalah membawa rakyatnya keluar dari jurang kemiskinan dan lobang-lobang kemelaratan. Kehadiran Al-Qur’an untuk pertama kalinya adalah mengecam segala bentuk praktek ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan orang-orang kaya Makkah terhadap orang miskin.

Kritik Al-Qur’an terhadap bentuk-bentuk riba yang sangat eksploitatif dan menggantinya dengan konsep jual beli, zakat dan mudharabah, adalah cara Al-Qur’an melakukan transformasi kehidupan manusia yang lebih adil.

Sehingga para konglomerat pada masa itu tidak saja dituntut untuk bersikap adil dan memberikan peluang yang sama untuk mengakses sumber-sumber ekonomi, tetapi juga mereka dituntut untuk melakukan pemerataan pendapatan melalui institusi zakat, infak dan sedekah.

Dalam konteks bernegara, yang segera harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana mengangkat harkat dan martabat kehidupan orang miskin dan terlantar. Jika pemerintah belum sepenuhnya berhasil mengatasinya, paling tidak pemerintah tidak menambah beban kesulitan masyarakat dengan menaikkan kebutuhan pokok atau kelangkaan kebutuhan pokok.

Dengan demikian, revolusi teologis dan revolusi sosiologis yang terlihat dari proses nuzul Qur`an, merupakan hikmah supaya kita mencontoh dan mengamalkan Al-Qur’an dalam melakukan transformasi masyarakat ke arah kehidupan yang bermartabat. (Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN Sumatera Utara)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *