Keutamaan Puasa Syawal

  • Bagikan

Oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-langkawi, M.Pd

Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?” (Lalu Beliau bersabda) “Puasa adalah perisai” (HR Tirmidzi)

Tentunya dalam hadis ini Rasulullah SAW tidak menyebutkan secara spesifik apakah puasa yang dimaksudkannya itu puasa wajib atau puasa sunah. Karena itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa puasa wajib dan puasa sunah dapat difungsikan sebagai perisai. Merujuk hadis ini puasa adalah perisai bagi umat Islam yang melaksanakannya—di Dunia Akhirat. Di Dunia, puasa merupakan perisai dari kemaksiatan, di Akhirat, ia merupakan perisai dari azab Neraka.

Dalam hadis qudsi Rasulullah SAW bersabda: “Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku akan memberi petunjuk pada pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang dia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang dia gunakan untuk melangkah/berjalan. Jika dia memohon sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya. Jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya” (HR Bukhari).

Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal akan mendapatkan pahala puasa seperti setahun penuh. “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Berdasarkan Syarah Nawaawi ‘ala Muslim juz 7 halaman 56 disebutkan, alasan menyamakan pahala enam hari Syawal dengan puasa setahun lamanya berdasarkan nilai pahala kebaikan yang diberikan dilipatkan hingga 10 kali ganjaran.

Perhitungannya adalah bulan Ramadhan, 30 hari x 10 = 300 hari. Adapun enam hari di bulan Syawal menyamai dua bulan lainnya (6 x 10 = 60 hari atau 2 bulan). Jadi total 360 hari kita mendapatkan pahala puasa.

Pasca Ramadhan bukan berarti “kewajiban” selesai baik dalam bentuk sunat terlebih perkara yang wajib ‘ain. Namun hendaknya pasca Ramadhan berbagai kebaikan dan ibadah tetap harus menjadi prioritas termasuk puasa enam hari di bulan Syawal.

Implementasi puasa Syawal juga merupakan salah satu bentuk mencintai syariat via amalan sunat juga ini merupakan bentuk cinta kepada Allah SWT. Orang yang mencintai Allah sudah pasti mendapatkan berbagai macam anugerah baik pahala dan ampunan dosa.

Sepintas ini tergambar dalam firman Allah SWT: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang (QS. Ali Imran: 31).

Keberadaan bulan Syawal yang kita isi dengab berbagai amaliah dan ibadah bisa jadi merupakan sebagai bentuk usaha menutupi kekurangan ibadah di bulan Ramadhan. Terlebih terhadap orang uzur atau sengaja tidak melaksanakan puasa Ramadhan tanpa alasan yang dibolehkan dalam syariat Islam.

Puasa di bulan Syawal laksana sunnah Rawatib dalam shalat wajib yang berfungsi menyempurnakan kekurangan dan kekeliruan dalam shalat wajib. Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang tidak bisa mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan, maka hendaknya ia puasa (sunnah setelahnya). Karena puasa (dalam hal menebus kejelekan) menempati posisi memberi makan (zakat fitrah)”.

Kalaupun kita berpuasa penuh sebulan, namun di balik puasa Syawal ada nilai plus lainnya dengan bertambah pahala ataupun kita mengqadha puasa Ramadhan orang tua yang tertinggal meskipun disini ada khilaf pendapat ulama terkait hal tersebut.

Ketika Ibnu Al-Warad ditanya mengenai pahala beberapa amal seperti thawaf dan semacamnya, Beliau menjawab, “Jangan bertanya tentang pahalanya, tapi tanyalah kepada dirimu sudahkan kamu bersyukur kepada Allah yang telah memberi taufik dan pertolongan untuk melakukan kebaikan tersebut”.

Puasa Syawal dapat dikatakan salah satu usaha melestarikan ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Semoga kita diberikan taufik dan kemampuan melestarikan ibadah di bulan suci Ramadhan, sehingga kita masuk kepada golongan orang yang mendekat kepada Allah dengan perantara amalan sunnah sebagaimana dalam hadis Qudsi:

Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku pun mencintainya” (HR al-Bukhari). Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

(Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga dan Dosen IAIA Samalanga)

  • Bagikan