Oleh Tgk Helmi Abu Bakar El-Langkawi
“Barang siapa yang beri’tikaf satu hari karena mengharap ridha Allah, maka Allah akan menjauhkan dirinya dari Neraka sejauh tiga parit, yang mana jarak antara dua parit lebih jauh dari jarak antara Timur dan Barat” (HR. Thabrani dan Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1087)
I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan bukan hanya sekadar tradisi, tetapi merupakan sunnah muakkadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW senantiasa menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan berdiam diri di masjid, beribadah dengan penuh kekhusyukan, serta berharap mendapatkan Lailatul Qadar. Praktik ini menjadi bagian dari perjalanan spiritual seorang Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati.
Dari perspektif spiritual, i’tikaf merupakan momen refleksi mendalam yang memungkinkan seseorang melepaskan diri dari hiruk-pikuk duniawi dan fokus pada ibadah. Dalam keadaan ini, seseorang meninggalkan kesibukan dunia—pekerjaan, perniagaan, maupun urusan keluarga—untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ini bukan hanya bentuk ketundukan total kepada-Nya, tetapi juga kesempatan untuk melakukan perbaikan diri dan memperkuat hubungan dengan-Nya.
Dalam kajian fiqih, sebagaimana dikutip dari Tuhfatul Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar, i’tikaf adalah ibadah yang disunnahkan kapan saja, tetapi pelaksanaannya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan memiliki keutamaan yang jauh lebih besar. Salah satu hikmah utamanya adalah untuk menjemput malam Lailatul Qadar, yang Allah sebut dalam Al-Qur’an sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa i’tikaf adalah ibadah yang sangat dianjurkan karena Rasulullah SAW secara konsisten melakukannya, bahkan pada tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari sebagai bentuk kesungguhan dalam mencari keberkahan Ramadan.
Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menegaskan bahwa i’tikaf bukan hanya sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga bentuk penyucian jiwa. Seorang Muslim yang beri’tikaf meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk fokus pada akhirat, sebagaimana para salafush shalih yang menjadikan i’tikaf sebagai sarana introspeksi dan memperbanyak amal ibadah.
Dari sudut pandang sosial, i’tikaf juga memiliki dampak besar dalam mempererat ukhuwah Islamiyah di antara sesama jamaah. Selama berdiam di masjid, para peserta i’tikaf saling mendukung dalam ibadah, berbagi ilmu, dan bersama-sama meningkatkan kualitas keimanan. Hal ini menjadikan masjid kembali berfungsi sebagai pusat pembinaan spiritual dan kebersamaan umat.
Realitas kehidupan era digital seperti saat ini, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melakukan i’tikaf penuh selama sepuluh malam terakhir Ramadan. Banyak yang harus tetap bekerja atau memiliki tanggung jawab keluarga. Oleh karena itu, ulama menyarankan agar mereka tetap menghidupkan malam-malam tersebut dengan berbagai ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir, serta melaksanakan shalat malam, meskipun tidak bisa sepenuhnya berdiam di masjid.
Keutamaan i’tikaf telah banyak dijelaskan dalam hadis-hadis Rasulullah ﷺ. Salah satu di antaranya menyebutkan bahwa: “Barang siapa yang beri’tikaf satu hari karena mengharap ridha Allah, maka Allah akan menjauhkan dirinya dari Neraka sejauh tiga parit, yang mana jarak antara dua parit lebih jauh dari jarak antara Timur dan Barat” (HR. Thabrani dan Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1087)
Hadis ini menunjukkan bahwa i’tikaf bukan hanya sekadar ibadah sunah, tetapi juga memiliki manfaat besar dalam menghapus dosa dan menjauhkan seseorang dari azab Neraka. Dalam hadis lain disebutkan bahwa: “Barang siapa yang beri’tikaf selama sepuluh hari di bulan Ramadhan, maka baginya pahala seperti dua kali haji dan dua kali umrah” (HR. Al-Baihaqi, dari Husain bin Ali, dengan sanad yang dhaif, tetapi diperkuat oleh riwayat lain).
Meskipun hadis ini memiliki kelemahan dalam sanadnya, banyak ulama yang tetap menganjurkan i’tikaf karena fadhilahnya yang besar. Keutamaan i’tikaf juga tampak dalam sabda Rasulullah SAW: “Masjid adalah rumah bagi setiap orang yang bertakwa. Allah menjamin bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya dengan beri’tikaf, bahwa dia akan diberikan rahmat, kelembutan, dan jalan mudah menuju Surga” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dengan sanad hasan).
Hadis ini menegaskan bahwa i’tikaf bukan hanya sekadar duduk di masjid, tetapi juga menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah dan meraih kemuliaan di Akhirat. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa: “Rasulullah SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian, para istri beliau pun melanjutkan i’tikaf setelahnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa i’tikaf bukan hanya ibadah biasa, tetapi juga sunnah yang sangat ditekankan, bahkan oleh keluarga Nabi. I’tikaf juga menjadi salah satu cara terbaik untuk mencari Lailatul Qadar. Rasulullah SAW bersabda: “Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam terakhir Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan bahwa i’tikaf bukan hanya bertujuan untuk beribadah secara intensif, tetapi juga untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa seseorang yang beri’tikaf dengan niat yang tulus akan mendapatkan keutamaan berlipat ganda. i’tikaf bukan sekadar berdiam di masjid, tetapi juga cara untuk membersihkan hati, memperbaiki diri, dan memperbanyak dzikir serta doa.
Dari berbagai hadis dan pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa i’tikaf adalah ibadah yang menghapus dosa, menjauhkan dari neraka, mendatangkan pahala besar, mendekatkan hati kepada Allah, serta menjadi sunnah Rasulullah yang sangat dianjurkan. Selain itu, i’tikaf adalah cara terbaik untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar.
Dalam konteks era digital seperti saat ini meskipun banyak yang tidak dapat melaksanakan i’tikaf penuh, tetap ada peluang untuk mendapatkan keutamaannya dengan cara yang lebih fleksibel. Meningkatkan ibadah di malam-malam terakhir Ramadhan, menghidupkan masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan, dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah bagian dari esensi i’tikaf itu sendiri.
Dengan memahami keutamaannya, semoga semakin banyak umat Islam yang termotivasi untuk melaksanakan i’tikaf, khususnya di sepuluh malam terakhir Ramadan. i’tikaf bukan hanya tentang berdiam di masjid, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam. Kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan-Nya, dan meraih keberkahan Lailatul Qadar adalah anugerah yang tidak boleh dilewatkan. Ramadhan yang datang hanya sekali dalam setahun seharusnya menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki diri, dan meraih pahala yang berlimpah. Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.
Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Alumni MUDI Samalanga, Dosen UNISAI Samalanga.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.