Hakikat Kembali Kepada Fitrah

  • Bagikan

Oleh Prof Muzakkir

Nanti Muhammad engkau akan melihat orang yang berbuat kejahatan di muka Bumi ini hingga ketika berhadapan kepada Allah mereka tersipu dan menunduk malu menghadap Allah. Dalam keadaan seperti itu mereka berkata, “Ya Tuhan, kami sudah mendengar adzab-Mu, tidak sanggup kami ya Tuhan menanggung adzab-Mu, tolong lah ya Tuhan kembalikan kami ke bumi sebentar saja dan akan melakukan yang terbaik” (QS. as-Sajdah/32: 12)

Setelah sebulan lamanya kita berjuang menempuh perjalanan yang cukup melelahkan namun juga membahagiakan, berpuasa di bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat dan berkah, bulan maghfirah dan ijabah, sepanjang satu bulan Ibadah Puasa yang telah kita jalani tentunya telah memberikan pengalaman spiritual yang sangat indah dalam kehidupan ini, terutama dalam peningkatan kualitas iman, ilmu dan amal kepada Allah SWT.

Berhasilnya orang yang beramal ibadah di bulan Ramadhan terlihat setelah Ramadhan itu berlalu. Setidaknya ada tiga ciri orang yang kembali kepada fitrah (Idul Fitri), setelah menempuh “madrasah ruhaniyah” Ramadhan;

Pertama, Senantiasa melakukan amal shalih (kesholehan sosial). Menebarkan kebaikan yang bisa dirasakan dan bermanfaat bagi orang lain. Tidak kalah pentingnya juga menjadi penyeru dan pejuang kebaikan dalam kehidupan dengan selalu menebarkan salam dan perdamaian, mampu membangun shilaturrahim, jaringan sosial yang baik dalam hidup ini.

Hakikat Idul Fitri dapat dimaknai ; kembali, mengulangi dan mengunjungi, sedangkan fitri dimaknai ; merobek, membelah dan tumbuh. Jika kata-kata tersebut dikembangkan maka orang yang merasakan ke idul fitrian dirinya akan senantiasa kembali merobek keegoan dirinya, menyingkirkan kezaliman, membelah dan mengisi dirinya dengan cinta dan rasa kasih sayang, kejujuran dengan mengunjungi kembali dimensi ruhani yang menghubungkannya dengan yang Mahaluas yang tidak terbatas kekuasaaanya.

Yaitu Allah SWT sehingga menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan diri dan senantiasa berserah diri hanya kepada Allah swt, munculnya rasa takut berbuat dosa. Karena tidak sedikit penyesalan manusia itu datang tidak lagi pada saat dan tempat yang tepat, mereka tidak merasakan keidulfitrian yang sesungguhnya.

Di dalam al-Quran surah as-Sajdah (32) ayat 12 Allah SWT berfirman: “Nanti Muhammad engkau akan melihat orang yang berbuat kejahatan di muka bumi ini hingga ketika berhadapan kepada Allah mereka tersipu dan menunduk malu menghadap Allah. Dalam keadaan seperti itu mereka berkata, Ya Tuhan, kami sudah mendengar adzab-Mu, tidak sanggup kami ya Tuhan menanggung adzab-Mu, tolong lah ya Tuhan kembalikan kami ke bumi sebentar saja dan akan melakukan yang terbaik.”

Sayangnya itu hanya penyesalan yang tidak berguna lagi. Ulama sufi mengatakan, Dunia ini seperti sawah ladang”. Barangsiapa yang menabur kebaikan pasti dia akan menuai hasil dari kebaikannya, dan jika ia menabur benih-benih kejahatan ia akan memetik penyesalan yang tidak berguna lagi.”

Dalam sebuah hadits Nabi SAW menyerukan pentingnya membangun kesholehan sosial di dalam kehidupan ini. Rasulullah SAW bersabda,Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari Kiamat” (HR. at-Thabrani).

Ternyata dalam kehidupan ini kita harus membangun keseimbangan antara kesholehan individual kepada Allah SWT (hablumminallah) dan kesholehan sosial (hablumminannas) seperti dinyatakan dalam al-Quran surah Ali Imran (3) ayat 112:

 “Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” Dalam hadits lain diceritakan tentang orang-orang yang muflis (bangkrut amal ibadahnya di hari akhirat) karena ternodanya hablumminannas.Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.” Rasulullah bersabda: Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat.

Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezhaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kezhalimannya tersebut, diberikanlah diantara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizhaliminya sementara belum semua kezhalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang yang dizhaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam Neraka” (HR. Muslim).

Kedua, Meningkatkan ubudiyah kepada Allah SWT  (kesholehan individual). Membangun nilai-nilai ibadah yang lebih tinggi bersama Allah SWT  (hablumminallah). Nabi SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam beribadah, sekalipun beliau habibullah (kekasih Allah) tapi luar biasa ibadahnya kepada Allah SWT.

Diceritakan dalam sebuah riwayat: Telah menceritakan kepada kami (Abu Nu’aim) berkata, telah menceritakan kepada kami (Mis’ar) dari (Ziyad) berkata; aku mendengar (Al Mughirah radhiallahu ‘anhu) berkata; “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga tampak bengkak pada kaki atau betis, Beliau dimintai keterangan tentangnya. Maka Beliau menjawab: “Apakah memang tidak sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari).

Dalam menjalankan ibadah ritual kepada Allah SWT  ada tiga “ruh” (jiwa) dari ibadah itu yang harus terintegritas di dalam jiwa kita yaitu; Ketaatan, seorang ahli ibadah harus benar-benar taat dalam ibadahnya sehingga ia tidak lagi berani melakukan kemaksiatan, kebatilan, dan kemungkaran, ia istiqamah dalam ketaatan, tidak berpaling hatinya dalam kehidupan yang salah.

Syukur, seorang ahli ibadah senantiasa bersyukur di atas segala nikmat yang Allah berikan, ia tidak menyalahgunakannya apalagi mengingkari nikmat Allah SWT, dengan cara semakin memaksimalkan pemberdayagunaan nikmat itu dalam berbuat kebaikan.

Qurbah, seorang ahli ibadah itu selalu dekat dengan Allah Swt, merasa dilihat dan diawasi Allah SWT sehingga selalu berbuat yang terbaik mengutamakan kejujuran dan keadilan meskipun tiada orang yang melihatnya.

Ketiga, Hiasi hidup dengan nilai-nilai akhlakul karimah, nilai-nilai peradaban dan kesantunan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya” (HR. at-Tirmizi).

Di antara nilai akhlakul karimah-akhlak mulia- yang sejatinya bersemi di dalam diri kita bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai hakikat keidul fitrian itu adalah ; Rasa kasih sayang kepada orang-orang yang telah berbuat dosa, sehingga dirinya berusaha untuk mengajaknya kembali meraih pintu ampunan dengan hikmah, kelembutan dan keteladanan.

Sabar dan mudah memaafkan kepada orang yang pernah berbuat kezaliman kepada dirinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (QS.Maryam : 96).

Bersikap lapang dada kepada orang-orang jahil-mereka yang belum mengetahui tentang kebenaran dan selalu melawan suara hati- dengan tetap bersikap tenang menghadapinya, bahkan mendoakan kebaikan kepada mereka, Dan hamba-hamba Tuhan yang Mahapenyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (QS.Al Furqan : 63).

Bersikap baik kepada orang yang berbuat buruk kepada kita, membalas keburukan dengan kebaikan, sehingga akan menyadarkan mereka, sehingga muncul rasa malu untuk berbuat keburukan lagi dan akhlak mulia berikutnya adalah sikap menyayangi dan santun kepada seluruh makhluk Allah SWT, karena semua makhluk Allah SWT  itu bertasbih dan mengagungkan Allah SWT:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS.Al-israa : 44). “Barangsiapa tidak menyayangi, maka Allah tidak akan menyayanginya” (HR. Muslim).

Jadilah kita seperti jarum yang mampu menyatukan yang bercerai berai sehingga menjadi indah dan janganlah seperti gunting yang memisahkan sesuatu yang telah tertata indah. Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali menemukan jalan yang benar dan berbahagialah kita karenanya. Aamin ya Rabbal ‘aalamin. (Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN Sumatera Utara)

  • Bagikan