Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Filosofi Sahur

  • Bagikan

Oleh Alexander Zulkarnaen

Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah hidangan sahur” (HR. Muslim)

Puasanya umat Islam ditandai adanya berbuka (ifthar) dan ada pula santap sahur. Karena syariat yang menjadi rukun Islam yang ke empat ini terbatas waktu. Allah SWT hanya membatasi latihan menahan segala hal yang membatalkan puasa dan menggugurkan pahalanya ini sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Inilah salah satu perbedaan puasanya umat Islam dengan umat lain.

Jika ketika ifthar disegerakan maka untuk sahur ini kita disunnahkan melambatkan menyantapnya demi kebaikan. Abu Dzar Al-Ghifari ra secara marfu’ meriwayatkan hadis Nabi, “Umatku masih dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur” (HR. Ahmad).

Sahur merupakan hidangan yang dikonsumsi ketika waktu sahar (dini hari), yakni setelah pertengahan malam hingga fajar. Meski sahur dinikmati mulai dari pertengahan malam namun Rasul mengajarkan agar dikonsumsi jelang fajar. Guna memendekkan waktu menahan lapar dan dahaga.

Allah SWT berfirman, “Maka makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang merah, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187). Ilustrasi benang merah sebagai isyarat sahur dinikmati saat malam hampir berakhir, bukan saat malam gelap gulita.

Lebih lanjut dijelaskan Rasul waktunya, menurut kesaksian Zaid bin Tsabit, “Kami bersantap sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian kami bangun untuk shalat Shubuh.” Anas bertanya kepadanya, “Berapa jarak waktu di antara keduanya?” Zaid menjawab, “Sekitar bacaan lima puluh ayat” (HR. Bukhari Muslim).

Sahur hukumnya sunnah, tidak menjadi syarat sahnya puasa. Bila tertinggal tak sampai menjadikan alasan seseorang untuk tidak berpuasa. Adalah keliru jika ditanya, “Kenapa tidak puasa? Malah dijawab,” Karena tidak sahur.” Atau sebaliknya, meski tahan puasa tanpa sahur, tetap dianjurkan untuk bangun di waktu yang penuh berkah itu.

Sahur itu berkah. Rasulullah SAW bersabda: “Bersantap sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan” (HR. Bukhari Muslim). Dikatakan berkah karena selain memenuhi kebutuhan jasadi yakni makan dan minum untuk menguatkan tubuh menahan lapar dan dahaga di siang harinya, sahur juga menutrisi ruhani berupa amalan-amalan seperti zikir, istighfar dan doa.

Bukankah waktu sahur bagian dari sepertiga malam terakhir yang penuh berkah? Rasulullah SAW bersabda, “Allah tabaraka wata’ala turun setiap malam ke langit bumi, ketika malam tersisa sepertiga terakhir. Dia berfirman: “Adakah yang memohon kepada-Ku agar Aku kabulkan, adakah yang meminta kepada-Ku, agar Aku berikan, adakah yang memohon ampun, agar Aku ampuni” (HR. Bukhari Muslim).

Termasuk keberhakan sahur ketika kita bisa kumpul bersama keluarga. Momen bersama keluarga jarang ditemui bahkan saat berbuka, karena mungkin anggota keluarga yang lain belum pulang ke rumah. Umumnya saat sahur, semua sudah berkumpul. Inilah momen bahagia sebab bisa beribadah dan menikmati makanan bersama dan pada gilirannya akan bersemai mawaddah dalam keluarga.

Sungguh, keberkahan sahur terletak pada waktunya bukan pada hidangannya. Di hadis lain, Rasul mengingatkan, “Semua sahur adalah berkah, karena itu jangan kalian tinggalkan meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya memberikan salawat untuk orang-orang yang sahur” (HR. Ahmad).

Seteguk air dalam hadis ini merupakan isyarat betapa Allah SWT lebih melihat amalan daripada apa yang disantap hamba-Nya. Seolah, sahur ini mendidik kita untuk terbiasa bangun malam, bermunajat sekaligus bermuhasabah, apakah kita masih berjalan sesuai visi hidup kita, yakni menuju Allah dan Surga-Nya atau sudah berbalik arah menuju neraka? Allahua’lam Bishshawab.

(Guru PAI SMAN 2 Medan Ketua Deputi Humas Ikadi Sumut Wakil Ketua Majelis Dakwah PW Al Washliyah Sumut)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *