Oleh Prof Muzakkir
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman:18)
Dalam Al-Quran dinyatakan ada dua potensi kecendrungan prilaku manusia, sebagaimana Firman-Nya, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams [91] : 8-10). Pertama, fujuuroha, potensi energi negatif yang mendorong manusia itu melakukan perbuatan dosa, padahal setiap perbuatan dosa itu akan mendatangkan titik hitam (nuktotun sauda), bakteri, virus yang merusak jiwanya.
Sebagaimana Hadis dari Abi Hurairah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya apabila seorang yang beriman berbuat satu kesalahan (dosa), maka akan ditulis titik hitam di hatinya, tetapi jika ia menahan dirinya (dari berbuat maksiat), meminta ampun kepada Allah SWT dan bertaubat, maka hatinya pun akan bersih kembali, dan jika ia berbuat kesalahan lagi, maka akan ditambah titik hitam tersebut di hatinya, sehingga titik-titik hitam itu memenuhi hatinya” (HR. Ibnu Majah).
Kedua, wataqwaaha, potensi energi positif yang mendorong manusia itu suka melakukan kebaikan bahkan berlomba-lomba dalam kebaikan. Kebaikan itu adalah akhlak yang mulia, segala sesuatu yang menenangkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah yang membuat gundah jiwa dan mengguncang dada, dan pelaku dosa tidak senang apabila perbuatannya diketahui oleh orang lain. Setiap manusia tidak terlepas dari perbuatan salah dan dosa, dan Allah SWT masih memberikan bagi pelaku dosa itu jalan untuk bertaubat, “Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (QS. al-Maidah: 39).
Dalam sebuah hadis Dari Anas Bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak Adam sering melakukan dosa dan sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa itu adalah orang yang mau bertaubat” (HR. Ibnu Majah). Di antara dosa manusia itu sesungguhnya ada yang menjadi akar semua dosa (ashlun kulli khotiah), yaitu kesombongan. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman:18).
Sombong adalah menentang kebenaran, tidak mau menerima nasehat yang baik, menganggap diri sendiri lebih hebat dengan merendahkan, mengejek dan menghina orang lain. Aidh al-Qarni dalam karyanya Alâ Mâidati Al-Quran (Nikmatnya hidangan al-Quran), mengisahkan tentang kegelisahan Khalifah Harun ar-Rasyid, kemudian beliau meminta pengawalnya untuk mengundang seorang ahli hikmah.
Sesampainya di istana, ahli hikmah tersebut disuguhi hidangan dan minuman yang istimewa. Selang beberapa saat kemudian terjadilah percakapan antara Khalifah Harun ar-Rasyid dengan ahli hikmah tersebut. “Wahai ahli hikmah, saat ini saya sedang gelisah, mohon nasihat agar pikiran saya jernih, jiwa saya tenang, dan jasmani saya sehat.” Ungkap Khalifah.“Sebelum saya menyampaikan suatu nasehat saya berterima kasih atas jamuan ini. Bolehkah saya bertanya sesuatu kepada Tuan,” Tanya Ahli hikmah. “Silakan,” jawab Khalifah Harun. “Begini, Tuan Khalifah.
Segelas air putih ini kira-kira berapa harganya?” “Harga segelas air putih itu murah sekali, hanya beberapa dirham. Kalau Anda mau, nanti saya kirim air yang banyak ke rumah Anda. Bila perlu, sebanyak air di kolam istana.” Jawab Harun ar-Rasyid. “Terima kasih atas kemurahan hati, Tuan Khalifah. Kalau diperkenankan saya ingin bertanya lagi. Apakah Baginda percaya bahwa Allah Maha Kuasa?” Tentu saya percaya Allah Maha Kuasa,” Jawab Khalifah Harun. “Begini, Baginda. Seandainya Allah menjadikan tahun ini musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga kerajaan ini dan kerajaan-kerajaan yang lain kekeringan, hanya tersisa satu gelas air ini saja yang bisa diminum. Kira-kira, Baginda mau membeli segelas air ini dengan harga berapa?”
Ungkap ahli hikmah. Suasana hening sejenak, Harun ar-Rasyid mengerutkan keningnya untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan sang ulama, pertanyaan yang baginya sungguh aneh. Namun, dia percaya tidak mungkin sang ahli hikmah akan sembarangan bertanya, pasti ada hikmah di balik itu semua. Lalu sang Khalifah pun menjawab dengan mantap.“Tuan ahli hikmah, kalau memang itu yang dikehendaki Allah, dan Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua; maka demi mempertahankan hidup karena hukumnya wajib, saya akan membeli segelas air putih itu dengan seluruh kerajaan saya beserta isinya. Harta bisa dicari, asalkan kita masih hidup.”
Sang ahli hikmah mengangguk pelan tanpa suara, menunjukkan dia benar-benar mengerti bahwa Khalifah Harun bersungguh-sungguh dengan jawabannya. Dengan suara yang begitu tenang dan lembut, sang ulama melanjutkan nasihatnya, “Baginda. Kalau memang itu yang akan Baginda lakukan; maka ingatlah, ternyata seluruh harta kekayaan Baginda, kerajaaan beserta isinya, hanya seharga segelas air putih ini. Betapa Allah Maha Kaya, sedangkan kita adalah makhluknya yang begitu dhaif dan lemah,”suasana kembali hening, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba, air mata menetes membasahi pipi Khalifah Harun ar-Rasyid. Sambil menangis, Khalifah berkata , “Terima kasih atas nasihatnya Tuan ahli hikmah.” Seperti Khalifah Harun ar-Rasyid, mungkin terkadang kita lupa bahwa seluruh nikmat yang kita terima adalah anugerah Allah SWT.
Kita mengira bahwa nikmat itu akan kekal selamanya. Padahal semua yang kita miliki saat ini, cepat atau lambat akan kita tinggalkan. Ketika badan terbujur kaku, tentu pada saat itu tidak ada lagi yang bisa kita banggakan dan sombongkan. Al-Ghazali menganalisa sebab-sebab kesombongan menjadi tujuh sebab yaitu;
Pertama, ilmu. Sebagian orang yang berilmu merasa dirinya memiliki kesempurnaan ilmu, sehingga ia menganggap orang lain bodoh dan tidak berguna, lalu ia bersikap sombong terhadap mereka. Umar bin Khaththab RA memberi nasihat, “Jangan pelajari suatu ilmu karena tiga tujuan dan jangan pula meninggalkan ilmu karena tiga tujuan. Yakni, jangan pelajari ilmu dengan tujuan untuk berdebat, membanggakan diri dan pamer. Jangan tinggalkan ilmu (tidak mau belajar) karena malu mempelajarinya, merasa cukup berilmu dan pasrah karena kebodohan. Ibnu Athaillah berpesan, “Orang yang menghormatimu, sebenarnya ia hanya menghormati keindahan tutup yang diberikan Allah untuk (menutupi aib) mu. Maka, yang wajib dipuji adalah Dzat yang menutupi (aib)-mu.”
Manusia itu tempat salah dan aib. Apabila ada orang memuji kita, itu bukanlah karena kehormatan yang ada pada diri kita, akan tetapi karena Allah menutupi aib kita dengan menampakkan kebaikan kita. Itu semua berkat penutup yang sangat indah dari Allah. Karunia Allah SWT dan penutup indah ini hendaklah disyukuri, bukan untuk disombongkan. Sombong karena ilmu adalah penyakit yang paling berbahaya, dan pengobatannya dengan dua cara. Pertama, hendaknya kita mengetahui bahwa Allah memaklumi orang yang bodoh tetapi tidak memaklumi orang yang tahu. Jika orang yang tahu melanggar perintah Allah, maka dosa dan bahayanya lebih besar. Kedua, hendaknya kita mengetahui bahwa kesombongan hanya layak dilakukan oleh Allah. Itulah yang dapat menghilangkan kesombongan dan menimbulkan sikap rendah hati. Dia harus mengingat dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan di masa lalu, sehingga ia menyadari betapa kerdil di mata Allah SWT.
Kedua, amal dan ibadah. Semua manusia tidak bebas dari kesombongan. Orang yang sombong merasa dirinya lebih baik dan lebih mulia daripada yang lain di hadapan Allah. Dia memandang orang lain dalam keadaan hancur dan memandang dirinya selamat karena kehebatannya beramal ibadah. Kesombongan macam ini merupakan ujian besar bagi manusia. Solusinya adalah mengharuskan hatinya bersikap rendah hati kepada semua orang, dan menjadikan ibadahnya sebagai nafas dan kebutuhan dalam hidupnya.
Ketiga, kekayaan dan keturunan. Mungkin sebagian orang merasa dirinya memiliki keindahan jasmani, berasal dari keturunan bangsawan, dan memiliki kekayaan berlimpah, seringkali menganggap dirinya lebih baik dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Terkadang ia bersikap sombong terhadap orang lain dan enggan untuk bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Padahal dihadapan Allah kita semua sama, yang membedakan kita dengan orang lain adalah sejauhmana ketakwaan kita kepada Allah. Orang yang menderita penyakit sombong dari sisi keturunannya, maka hendaklah ia mengobati hatinya dengan mengenal keturunannya yang sejati, yaitu debu. Lalu, apa alasannya sombong padahal keturunan sejatinya adalah debu, dan gumpalan tanah adalah tempat pembaringan terakhirnya.
Keempat, keindahan jasmani. Sebagian orang bangga dengan dirinya sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat berasal dari Allah. Jika kita memperoleh keberhasilan atau pujian dari orang lain, janganlah menyombongkan diri. Sebaliknya ucapkanlah “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah. Orang yang sombong karena keindahan jasmaninya, maka hendaklah ia melihat ke dalam batinnya, maka ia akan melihat berbagai kotoran dan noda yang dapat menjauhkannya dari kesombongan karena kecantikan lahir. Selain itu, ia akan mati dan akan menjadi tanah.
Kelima, harta. Harta bisa menjadikan diri kita merasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri. Harta juga yang membuat kita pamer kepada orang lain, khususnya kepada orang yang tidak sekaya kita, apalagi terhadap orang-orang miskin. Qorun merasa bahwa harta kekayaannya adalah hasil usahanya sendiri. Pada hakekatnya semua kelebihan yang kita miliki adalah karunia dari Allah. Ini adalah ujian apakah kita bisa memanfaatkan kelebihan itu untuk kebaikan dan mensyukurinya atau malah menjadi kufur atas karunia Allah. Qarun adalah salah satu contoh orang yang diberi karunia kemudian menjadi kufur karena menganggap bahwa kekayaan yang ia miliki adalah hasil usahanya sendiri. Harta adalah titipan Allah, dan nanti Allah akan meminta pertanggungjawaban kita, darimana sumber harta itu dan kemana dibelanjakan.
Keenam, kekuatan. Orang-orang yang merasa dirinya kuat bersikap sombong terhadap orang yang lemah. Sebagai contoh Raja Namrud yang hidup pada zaman Nabi Ibrahim AS. Raja Namrud menganggap dirinya Tuhan karena memiliki kekayaan dan kekuatan yang hebat. Tetapi Raja Namrud tidak bisa berbuat apa-apa ketika Ibrahim AS meminta Matahari diterbitkan dari Barat. Kesombongan karena kekuatan, maka pengobatannya adalah mengetahui bahwa penyakit dapat membuatnya lebih lemah dibanding semua yang lemah. Seandainya duri masuk ke dalam kakinya, maka ia akan menjadi lemah; oleh karena itu, ia tidak pantas membanggakan kekuatannya,
Raja Namrud mati karena telinganya kemasukan serangga, binatang yang kecil dan sepele. Karena itulah Allah mengingatkan kita dalam firmannya, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Israa [17] : 37).
Ketujuh, kesombongan karena memiliki banyak pengikut, pendukung, keluarga, dan kerabat. Terkadang kedudukan tinggi, kekuatan, dan kemuliaan, memungkinkan seseorang untuk berlaku sombong dan takabur. Sebut saja Firaun yang kisahnya diabadikan dalam al-Quran. Firaun yang semula adalah manusia biasa tetapi karena kedudukan yang diperolehnya ia memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan Alam Semesta. Tetapi faktanya Firaun adalah manusia biasa yang akhirnya tenggelam di laut merah. Ketika malaikat maut menjemput tak ada yang bisa menghalanginya untuk mencabut nyawa kita. Kekuasaan, harta, sanak kerabat, dan pengikut setia tak akan bisa berbuat apa-apa. Kecerdasan dan ketrampilan kita di dunia pun tak akan ada gunanya lagi.
Kesombongan karena kekayaannya dan harta, serta banyaknya pengikut dan pendukung adalah kesombongan yang buruk. Sebab ia berlaku sombong dengan makna yang bersifat eksternal dari jati diri manusia. Jika hartanya habis, semua menjauhinya bahkan seperti tidak mengenalnya lagi, maka ia kembali menjadi orang yang hina. Semoga kita menjadi pribadi yang tawadhu, rendah hati, seperti sebatang padi yang semakin menguning semakin berisi ia semakin merunduk bukan seperti sebilah bambu yang semakin tinggi semakin menjulang dan patah pada akhirnya.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam UIN SU
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.