Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Ayat-ayat Mawaris Dalam Al-Qur’an

  • Bagikan

Oleh Achmad Yani, S.T., M.Kom

Dalam Surat An-Nisaa’ ayat 13, Allah berjanji memberikan balasan atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu Surga di Akhirat kelak. Sebaliknya surat An-Nisaa’ ayat 14, Allah mengancam orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa Neraka di Akhirat kelak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “warisan” bermakna sesuatu yang diwariskan, seperti harta dan nama baik. Padanan dari kata “warisan” adalah “harta pusaka”. Kata “warisan” yang kata dasarnya adalah “waris” berasal dari bahasa Arab yang akar katanya “waritsa – yaritsu“.

Makna asal dari kata “warisan” adalah pembagian harta dari orang yang meninggal kepada orang yang hidup yang memiliki hubungan tertentu, yaitu hubungan nikah, hubungan nasab, atau hubungan wala’. Kata “warisan” selanjutnya mengalami perluasan makna. Warisan tidak lagi dikaitkan dengan perpindahan harta saja, tetapi juga dikaitkan dengan pengertian “titipan” atau “amanah”.

Ada sejumlah ayat Al-Qur’an yang menyebutkan istilah yang berkaitan dengan pembagian harta, dan ada pula ayat Al-Qur’an yang menyebutkan istilah yang berkaitan dengan titipan atau amanah yang tidak terkait dengan harta. Dalam tulisan ini hanya dibahas ayat-ayat Al-Qur’an tentang warisan yang berkaitan dengan harta.

Selanjutnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber bagi hukum waris Islam disebut ayat-ayat mawaris yang secara garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris utama dan ayat-ayat mawaris tambahan. Untuk menghemat tempat, tulisan ini tidak memuat terjemahan ayat-ayat ini, tetapi hanya memberikan ringkasan isi dari masing-masing ayat.

Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Qur’an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa’, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Ketiga ayat ini menyebutkan secara perinci para ahli waris dan bagian mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.

Surat An-Nisaa’ ayat 11 mengatur ketentuan warisan bagi empat macam ahli waris, yaitu anak perempuan, anak laki-laki, ibu, dan bapak. Keempat ahli waris ini tetap mendapatkan warisan tanpa bisa dihalangi oleh ahli waris yang lain karena tidak disebutkan adanya penghalang dalam ayat ini.

Anak perempuan memiliki tiga macam kemungkinan warisan, yaitu (1) mendapat 1/2 bagian jika seorang diri, (2) mendapat 2/3 bagian jika dua orang atau lebih, dan (3) berbagi sisa harta jika bersama dengan anak laki-laki dengan ketentuan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Status kewarisan anak perempuan seperti dalam ketentuan nomor (3) ini dalam ilmu faraidh disebut ‘ashabah bi-ghair.

Anak laki-laki memiliki dua macam kemungkinan warisan, yaitu (1) sebagai ‘ashabah bil-ghair seperti dalam ketentuan nomor (3) untuk anak perempuan, dan (2) sebagai ‘ashabah bin-nafsi, yaitu mewarisi seluruh sisa harta jika tidak bersama dengan anak perempuan.

Ibu memiliki tiga macam kemungkinan warisan, yaitu (1) mendapat 1/6 bagian jika si mayit mempunyai anak atau ada saudara lebih dari seorang, (2) mendapat 1/3 bagian jika si mayit tidak mempunyai anak, atau ada saudara tidak lebih dari seorang, dan (3) mendapat 1/3 bagian dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan bapak). Ketentuan nomor (3) untuk ibu ini muncul sebagai hasil ijtihad yang diputuskan oleh Umar bin Khattab ra.

Bapak memiliki tiga macam kemungkian warisan, yaitu (1) mendapat 1/6 bagian jika si mayit mempunyai anak laki-laki, (2) mendapat 1/6 bagian ditambah sisa jika si mayit hanya memiliki anak perempuan, dan (3) mendapat sisa (dalam hal ini berstatus sebagai ‘ashabah bin-nafsi) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki maupun anak perempuan.

Surat An-Nisaa’ ayat 12 memuat ketentuan warisan bagi empat macam ahli waris, yaitu suami, istri, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan seibu. Suami memiliki dua kemungkinan warisan, yaitu (1) mendapat 1/2 bagian jika si mayit tidak mempunyai anak, dan (2) mendapat 1/4 bagian jika si mayit mempunyai anak. Sementara itu, istri memiliki dua kemungkinan warisan, yaitu (1) 1/4 bagian jika si mayit tidak mempunyai anak, dan (2) 1/8 bagian jika si mayit mempunyai anak.

Selanjutnya, baik saudara laki-laki seibu maupun saudara perempuan seibu memiliki status kewarisan yang sama meskipun berbeda jenis kelamin. Mereka memiliki dua macam kemungkinan warisan, yaitu (1) mendapat 1/6 bagian jika seorang diri, dan (2) mendapat 1/3 bagian yang dibagi rata jika dua orang atau lebih. Saudara seibu hanya bisa memperoleh bagian warisan dengan syarat tidak ada anak ataupun cucu dari si mayit dan tidak ada bapak atau kakek.

Surat An-Nisaa’ ayat 176 – menurut tafsir – berbicara tentang hak waris bagi saudara kandung atau sebapak, baik laki-laki maupun perempuan. Ketentuan warisan bagi saudara (kandung atau sebapak) dalam ayat ini mirip seperti ketentuan warisan bagi anak perempuan dan anak laki-laki seperti dalam An-Nisaa’ ayat 11.

Saudara perempuan (kandung atau sebapak) memiliki tiga macam kemungkinan warisan, yaitu (1) mendapat 1/2 bagian jika seorang diri, (2) mendapat 2/3 bagian jika dua orang atau lebih, dan (3) berbagi sisa harta jika bersama dengan saudara laki-laki dengan ketentuan bahwa bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan. Status kewarisan saudara perempuan seperti dalam ketentuan nomor (3) ini dalam ilmu faraidh disebut ‘ashabah bi-ghair.

Saudara laki-laki (kandung atau sebapak) memiliki dua macam kemungkinan warisan, yaitu (1) sebagai ‘ashabah bil-ghair seperti dalam ketentuan nomor (3) untuk saudara perempuan, dan (2) sebagai ‘ashabah bin-nafsi, yaitu mewarisi seluruh sisa harta jika tidak bersama dengan saudara perempuan.

Ayat-ayat mawaris tambahan dalam Al-Qur’an hanya memberikan ketentuan umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak memberikan perinciannya. Adapun ayat-ayat mawaris tambahan terdapat dalam tiga surat, yaitu (1) Surat An-Nisaa’ pada ayat 7, 8, 9, 10, 13, 14, 19, 33, 127, (2) Surat Al-Anfal pada ayat 72 dan 75, dan (3) Surat Al-Ahzab pada ayat 4, 5, dan 40.

Dalam Surat An-Nisaa’ ayat 7, laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama berhak mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama. Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang).

Surat An-Nisaa’ ayat 8 memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan (terutama yang memiliki harta kekayaan yang banyak yang sudah diketahui oleh masyarakat sekitar) agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan sebagian (sekadarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.

Surat An-Nisaa’ ayat 9 memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

Surat An-Nisaa’ ayat 10 memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zalim.

Dalam Surat An-Nisaa’ ayat 13, Allahberjanjimemberikan balasan atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di akhirat kelak. Sebaliknya, melalui Surat An-Nisaa’ ayat 14, Allah mengancamorang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.

Melalui Surat An-Nisaa’ ayat 19, Allah menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada masa jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu.

Janda tersebut boleh dikawini sendiri, atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris, atau tidak dibolehkan kawin lagi. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih dahulu.

Surat An-Nisaa’ ayat 33 pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini di-nasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

Dalam Surat An-Nisaa’ ayat 127 dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga termasuk ahli waris, sama seperti laki-laki. Menurut adat Arab Jahiliyah, seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa atas hartanya.

Jika wanita yatim itu cantik, ia dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan ini dilarang melakukannya oleh ayat ini.

Surat Al-Anfal ayat 72 pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab waris-mewarisi. Pada masa hijrah, di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk membentuk masyarakat yang baik.

Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka saat itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka boleh waris-mewarisi seolah-olah mereka bersaudara kandung.

Surat Al-Anfal ayat 75 menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar waris-mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada masa hijrah. Ayat ini sekaligus me-nasakh (menghapus) ketentuan dalam Surat Al-Anfal ayat 72 sehingga hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab waris-mewarisi.

Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung. Dengan demikian, anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya.

Jadi, ayat ini melarang untuk menyamakan status anak angkat dengan anak kandung. Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

Dalam Surat Al-Ahzab ayat 40 dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat. Dengan demikian, mantan istri Zaid ra dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid ra adalah anak angkat Rasulullah SAW.

Seandainya Zaid RA sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan istri Zaid ra. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.

Seperti juga Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5, ayat ini menghapus ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.

Demikianlah ayat-ayat mawaris dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan dalam ilmu faraidh. Wallahu a’lamu bishshawab. (Dosen Politeknik Negeri Medan, Pembuat Software Sistem Pakar Faraidh Islam Versi 1.0, Penulis Buku “Faraidh dan Mawaris: Bunga Rampai Hukum Waris Islam”)

  • Bagikan

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *