Antara Halal Bi Halal Dan Tahallul

  • Bagikan

Oleh Dr M. Ali Azmi Nasution

Siapa yang pernah berbuat kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatan saudaranya atau perkara-perkara lainnya, maka hendaklah ia membebaskan dirinya (tahallul) dari dosanya terhadap saudaranya tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang kehidupan Akhirat di mana) tidak ada lagi dinar dan dirham (yang bisa menebus dosanya)” (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta.”

Rasulullah kemudian memberitahukan, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat nanti dengan membawa pahala shalat, pahala puasa, dan pahala zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezaliman (terhadap sesama manusia yang tak kunjung ia bertobat atau meminta maaf atasnya). Ia pernah mencerca si fulan, menuduh si fulan dengan perbuatan zina tanpa bukti (qadzaf), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan dan memukul si fulan. Maka (sebagai tebusan atas kezalimannya itu), diberikanlah dari pahalanya kepada masing-masing orang yang telah ia zalimi. Hingga apabila pahalanya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang tersebut, namun belum semua kezalimannya tertebus, maka diambillah dosa yang dimiliki oleh orang-orang yang dizaliminya lalu ditimpakan kepadanya, sehingga ia kemudian dicampakkan ke dalam Neraka” (HR. Muslim).

Di antara pelajaran penting yang bisa dipetik dari hadis sahih ini adalah: Pertama, dosa aniaya terhadap sesama manusia, baik secara moril (dengan mencercanya atau merusak harga dirinya), secara fisik (dengan menyakiti atau melukai tubuhnya), maupun secara materil (dengan mengambil hartanya dengan cara yang batil).

Seperti yang dicontohkan dalam hadis ini, sesungguhnya tidak bisa digugurkan dengan melaksanakan ibadah-ibadah kepada Allah SWT. Tak terkecuali dengan ibadah shalat, puasa, maupun zakat yang semuanya merupakan ibadah wajib bahkan termasuk dalam rukun Islam.

Kedua, cara untuk membersihkan diri dari dosa aniaya terhadap sesama manusia adalah dengan bertobat. Jika terkait dengan hak materil, maka salah satu syarat utamanya adalah dengan mengembalikan harta orang lain yang sudah diambil dengan cara yang batil.  Namun jika tidak mampu mengembalikannya, maka hendaklah meminta maaf kepada orang yang sudah dianiaya hartanya.

Adapun terkait dosa aniaya secara fisik, maka syarat bertobat daripadanya adalah dengan meminta maaf kepada orang yang sudah disakiti atau dilukai tubuhnya. Sedangkan terkait dosa aniaya secara moril, maka syarat bertobat daripadanya adalah dengan memperbaiki nama baik orang yang sudah terlanjur dicerca atau dirusak sembari meminta maaf kepadanya.

Syarat tobat inilah yang disebut oleh Rasulullah SAW dengan tahallul (membebaskan diri) dari dosa aniaya terhadap sesama manusia, sebagaimana yang Beliau perintahkan: “Siapa yang pernah berbuat kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatan saudaranya atau perkara-perkara lainnya, maka hendaklah ia membebaskan dirinya (tahallul) dari dosanya terhadap saudaranya tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang kehidupan akhirat di mana) tidak ada lagi dinar dan dirham (yang bisa menebus dosanya) (HR. Bukhari).

Hadis ini dikuatkan dengan hadis Rasulullah SAW yang lain, “Tangan (orang yang menganiaya) itu berdosa atas apa yang diambilnya hingga ia mengembalikannya” (Hadis hasan riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Ketiga, dosa aniaya terhadap sesama manusia bukan saja tidak bisa digugurkan dengan ibadah-ibadah kepada Allah SWT. Tetapi lebih daripada itu di kehidupan Akhirat nanti, ia juga akan menggerogoti atau mengambil pahala-pahala ibadah yang sudah dilakukan selama hidup di Dunia.

Rasulullah SAW bahkan mengingatkan bahwa harta sebanyak apapun yang seandainya dimiliki seseorang di akhirat nanti, niscaya tidak akan bisa sama sekali menebus dosa aniayanya kepada orang lain yang tak kunjung ia ber-tahallul daripadanya hingga akhir hayatnya.

Keempat, peringatan dari Rasulullah saw. kepada umatnya bahwa kebangkrutan yang sesungguhnya bukanlah kebangkrutan harta di dunia karena kebangkrutan ini, bagaimanapun menyengsarakannya, niscaya keburukannya akan berakhir seiring datangnya kematian.

Tetapi kebangkrutan yang sesungguhya dan yang semestinya lebih ditakutkan oleh umatnya adalah kebangkrutan pahala-pahala ibadah akibat digerogoti bahkan dinihilkan oleh dosa-dosa terhadap sesama manusia.

Padahal setiap orang sangat membutuhkan pahala-pahala tersebut, dan bukan sama sekali hartanya selama di dunia, sebagai penolong untuknya di kehidupan akhirat nanti. Demikianlah bahaya dosa terhadap sesama manusia karena dapat menyebabkan kebangkrutan dan kesengsaraan atas pelakunya di akhirat.

Kelima, komitmen seorang muslim dalam beribadah kepada Allah Swt. harus dibarengi dengan komitmen untuk menjauhi dosa-dosa yang dapat menggerogoti atau bahkan memupus pahala ibadah tersebut, terutama dosa terhadap sesama manusia.

Itulah sebabnya dahulu ketika para sahabat ramai bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan pahala, seorang sahabat yang bernama Hudzaifah bin al-Yamaan r.a. justru bertanya kepada beliau tentang keburukan dan dosa yang dapat mencelakakannya supaya ia bisa mengenalinya dan tidak terjerumus ke dalamnya.

Sebagai ilustrasi, ada seorang petani yang sudah berupaya menyiapkan lahan yang baik, bibit yang unggul, dan pupuk yang berkualitas agar bisa menghasilkan panen yang berlimpah. Namun, setelah bibit disemai dan dipupuk ia tidak menghalau dan membasmi hama yang menggerogoti tanamannya. Maka, bisa dipastikan dalam kondisi demikian semua upayanya akan menjadi sia-sia dan tidak akan menghasilkan panen seperti yang diharapkan.

Nah, demikian juga halnya dengan ibadah-ibadah yang sudah kita lakukan, termasuk selama satu bulan Ramadhan yang baru berlalu, sesungguhnya dapat berkurang pahalanya atau bahkan pupus karena digerogoti oleh ‘hama’ dosa-dosa terhadap sesama manusia yang tak kunjung kita ber-tahallul darinya.

Hal inilah yang diisyaratkan dan diumpamakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah ia pintal –sebelumnya– dengan kuat, sehingga menjadi cerai berai kembali.” (Q.S. al-Nahl: 92).

Semua penjalasan di atas menegaskan betapa buruknya dampak yang diakibatkan oleh dosa terhadap sesama manusia. Bahkan upaya untuk bertobat daripadanya pun cenderung lebih sulit dibandingkan bertobat daripada dosa terhadap Allah SWT.

Jika bertobat akan dosa terhadap Allah SWT menuntut tiga syarat utama, yaitu: Pertama, segera meninggalkan dosa dengan niat karena Allah SWT semata. Kedua, penyesalan yang mendalam akan dosa yang telah dibuat. Ketiga, tekad yang kuat untuk tidak kembali kepada dosa yang telah ditinggalkan.

Maka, bertobat akan dosa terhadap sesama manusia menuntut syarat keempat yang lebih berat, sebagai tambahan atas tiga syarat sebelumnya, yaitu ber-tahallul dari dosa yang telah dibuat kepada orang lain sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Karenanya, jauh panggang dari api, apabila seorang muslim berharap kembali kepada fitrah kesuciannya di Hari Raya Idul Fitri dengan meraih kemenangan berupa ampunan paripurna akan dosa-dosanya setelah berpuasa dan beribadah di sepenuh bulan Ramadhan, manakala ia tidak sungguh-sungguh bertobat dari dosa-dosanya terhadap sesama manusia.

Di sinilah pentingnya halal bi halal, yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan bermaaf-maafan pada saat Lebaran setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, sebagai salah satu upaya tahallul dari dosa terhadap sesama manusia.

Bukankah kata halal dan tahallul memang berasal dari akar kata Arab yang sama yaitu halla yang memiliki arti utama melepaskan ikatan? Karenanya, makna yang sesungguhnya diinginkan dalam halal bi halal dan tahallul adalah sama yaitu melepaskan atau membebaskan diri dari ikatan dosa, khususnya terhadap sesama manusia.

Mirip dengan makna tahallul dalam ibadah haji ataupun umrah yaitu membebaskan diri dari segala larangan yang mengikat seseorang yang berihram.

Halal bi halal merupakan tradisi yang dihidupkan secara khusus oleh ulama Islam di dunia Melayu sebab sejak zaman Rasulullah saw. hingga hari ini tradisi tersebut memang tidak dikenal di luar negeri-negeri Melayu.

Tetapi tradisi itu sarat dengan ajaran-ajaran agama yang dikandungnya, seperti memelihara silaturrahim, ber-tahallul dari dosa terhadap sesama manusia, dan saling mendo’akan kebaikan di antara sesama Muslim.

Apalagi tradisi tersebut biasa dirangkai dalam pelaksanaannya dengan doá selamatan untuk kerabat atau tetangga yang akan menunaikan ibadah haji karena memang bulan Syawal merupakan awal dari tiga bulan haji.

Sehingga seseorang yang akan menuju Baitullah diharapkan sudah dalam keadaan bersih, seiring ampunan akan dosa-dosanya kepada Allah SWT dengan tobat dan ibadahnya di bulan Ramadhan, dan ampunan akan dosa-dosanya kepada sesama manusia dengan tobat dan tahallul-nya ketika berhalal bi halal. Karenanya, tradisi halal bi halal itu seyogianya dapat terus dilestarikan. Wallahu A’lam. (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN SU)

  • Bagikan