BLANGPIDIE (Waspada): Kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagan Raya, juga semua pihak terkait, dalam upaya perluasan Wilayah Kelola Rakyat (WKR), dalam bentuk pengalokasian tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan bagi mantan kombatan, tahanan politik (tapol), narapidana politik (napol), serta imbas konflik di Kecamatan Beutong Ateuh Bangalang, dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, dalam rilis diterima Waspada.id, Senin (17/7) menyebutkan, pengalokasian tanah tersebut merupakan mandat dari Nota Kesepakatan Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (MoU Helsinki), yang tertuang dalam poin 3.2.5.
Kadiv Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal mengatakan, pengalokasian tanah untuk lahan bagi mantan kombatan, tapol/napol dan imbas konflik, selaras dengan misi WALHI, untuk menyelesaikan konflik agraria, kedaulatan petani, ketahanan pangan, peningkatan ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan lestari. “Selama ini, Walhi Aceh menggunakan model Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Gayo Lues, dan Aceh Selatan,” ungkapnya.
Berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 590/140/Kpts/2021, tentang penunjukan calon lokasi tanah untuk lahan pertanian bagi mantan kombatan, tapol/napol dan imbas konflik, dalam Kabupaten Nagan Raya di Kecamatan Beutong Ateuh Bangalang, Bupati Nagan Raya mengusulkan lahan seluas 1.000 hektar.
Kemudian Berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 590/445/Kpts/2021, tentang penetapan nama-nama calon penerima yang ditetapkan pada 13 September 2021, terdapat 389 orang sebagai penerima manfaat dari lahan tersebut.
Menurut Afifuddin Acal, berdasarkan informasi diterima Walhi Aceh diketahui, bahwa luas yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), melalui sertifikat bersama sebagai alas hak, tidak sesuai dengan luasan yang diusulkan oleh Bupati Nagan Raya. “Namun kita (Walhi Aceh), belum mendapatkan informasi resmi dari BPN Nagan Raya, meskipun surat permohonan informasi telah dikirimkan,” sebutnya.
Ditambahkan, bukan hanya Walhi Aceh semata, warga sebagai penerima manfaat juga tidak mendapatkan salinan sertifikat tersebut. Justru yang terjadi, ada pihak yang mempengaruhi warga, untuk memberi persetujuan pengambilan kayu di lahan yang dialokasikan tersebut.
Pengambilan kayu ini, seiring dengan rencana pendirian sawmill. Warga juga mengakui alat berat sudah berada di lokasi. “Ada sekitar 50 orang lebih yang telah menerima uang untuk persetujuan pengambilan kayu, masing-masing mereka mendapatkan dana Rp 2,5 juta,” katanya.
Kondisi ketidakterbukaan terkait legalitas dan program yang akan dijalankan pada tanah, untuk lahan pertanian bagi mantan kombatan, tapol/napol dan imbas konflik di Beutong Ateuh Bangalang, merupakan bagian dari pembodohan rakyat. Karena warga hanya mendapatkan manfaat jangka pendek. Sedangkan manfaat jangka panjang, didapatkan oleh oknum pemilik modal. “Dengan kondisi ini, dipastikan cita-cita damai sebagaimana yang diharapkan tidak akan terwujud. Justru akan terjadi konflik sosial di tengah masyarakat. Juga akan berdampak terhadap lingkungan hidup, akibat dari hilangnya tutupan hutan dan lahan,” urai Afifuddin.
Ditambahkan, jika seperti ini polanya, wajar jika masyarakat menduga, pengalokasian lahan tersebut merupakan bagian dari misi, untuk memuluskan rencana izin usaha pertambangan di Beutong Ateuh Banggalang.
Dimana, berdasarkan hasil overlay data SK Bupati Nagan Raya, dengan rencana izin PT Bumi Mineral Energi (BME), ada 877,25 hektar lahan mantan kombatan yang hendak diambil kayu tersebut, masuk dalam areal rencana izin PT BME dari total luasnya 3.305 hektar. “Selama ini, salah satu alasan masyarakat Beutong Ateuh Bangalang menolak tambang, yakni untuk mempertahankan sumber air dan penghidupan dari alam. Jika kemudian hutan rusak, maka tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk menolak tambang,” ujarnya.
Dengan adanya tambang di kawasan Beutong Ateuh Bangalang, dipastikan sawah akan kering, kualitas air sungai menurun, sumber kehidupan akan hilang, juga akan hilang nilai-nilai sejarah yang selama ini mereka pertahankan. Apalagi, secara tata ruang Beutong Ateuh Bangalang merupakan kawasan rawan bencana.
Untuk itu, Walhi Aceh mendesak Bupati Nagan Raya, untuk mengevaluasi kembali program tersebut, sesuai dengan tujuan pemberian hak, serta penerima manfaat mendapatkan informasi yang cukup, terkait hak dan kewajiban dalam pemanfaatan lahan tersebut. Sehingga, penerima manfaat dapat menggunakan lahan untuk manfaat jangka panjang, sesuai dengan semangat perdamaian Aceh, melalui pola pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).
Walhi Aceh juga mendesak Polda Aceh dan Polres Nagan Raya, untuk mengusut kasus tersebut. Karena diduga tidak mentaati ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah, sesuai sifat dan tujuan pemberian hak, serta rencana tata ruang.(b21/b22)