WASPADA (Banda Aceh) : Irwinsyah Bin Syawal, Terdakwa kasus KDRT, merasa keberatan dan merasa dizhalimi atas divonis delapan tahun penjara oleh PN Banda Aceh pada pekan lalu.
Untuk itu, terdakwa telah mengajukan upaya hukum banding ke PT Banda Aceh, Senin (17/04/23).
Azwir Hasyim, SH Penasihat Hukum Terdakwa Irwinsyah ketika dihubungi Waspada, membenarkan upaya hukum banding dimaksud. Selaku Penasihat Hukum, saya sudah menandatangani surat pernyataan bandingnya di Kepaniteraan PN Banda Aceh, Selasa, 11 April yang lalu, kata Azwir. Dengan Perkara terdaftar dengan Nomor : 15/Pid.Sus/2023/PN-BNA, tanggal 06 April 2023 tersebut.
Kata Azwir, Majelis Hakim PN Banda Aceh, yang diketuai Saptika Handhini, S.H., M.H., Hamzah Sulaiman, S.H., dan M. Yusuf, S.H., masing-masing sebagai anggota. Majelis hakim dimaksud telah menghukum Terdakwa/ Pembanding Irwinsyah delapan tahun penjara dan denda Rp30 juta, subsidair kurungan enam bulan. Selain itu Terdakwa/ Pembanding juga dibebani membayar restitusi kepada korban Rp17.939.542, subsidair kurungan enam bulan. Apabila Terdakwa/ Pembanding tidak membayar denda dan restitusi tersebut, maka Terdakwa akan menjalani hukuman penjara selama sembilan tahun.
“Karenanya, Terdakwa merasa keberatan dan terzalimi dengan putusan PN Banda Aceh tersebut,” tandas. Azwir.
Azwir selaku Penasihat Hukum Terdakwa/ Pembanding menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim PN Banda Aceh dalam menafsirkan “KDRT dilakukan dalam lingkup Keluarga”. Yang dimaksud lingkup rumah tangga, sebagaimana pasal 2 ayat (1) huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT adalah suami, isteri dan anak. Dalam perkara dimaksud isteri selaku korban KDRT.
Permasalahannya, kata Azwir, apakah suami-isteri dalam ikatan nikah sirri diakui Negara sebagai lingkup keluarga yang hanya dibuktikan dengan selembar surat keterangan nikah siri dari salah satu Pondok Pesantren di Aceh Besar.
Menurut Azwir , Undang-Undang mengatur bahwa ikatan suami isteri itu harus didaftarkan oleh petugas pencatat nikah dan dibuktikan dengan Akta Nikah yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan (Kuakec). Hal ini tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, lanjut Azwir pertimbangan hukum Majelis Hakim PN Banda Aceh, selain tidak dapat membuktikan KDRTnya, juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nah, bila pertimbangan hukum Majelis Hakim PN Banda Aceh tersebut diakui benar lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi sampai ke Mahkamah Agung, maka akan menjadi yurisprudensi, dampaknya adalah Negara mengakui nikah yang dilakukan tidak di hadapan petugas pencatat nikah sebagaimana yang diatur undang-undang, yang selama ini tidak mengakui keabsahan nikah siri,” tegasnya.
Mahkmah Syariah dan Pengadilan Agama di luar Aceh, menolak seseorang yang nikah siri menjadi subjek Penggugat atau Tergugat. Karena perkawinan sirri tersebut dianggap tidak sah dan bertentangan dengan maqasid syariah sebagai metode untuk mengambil keputusan hukum syariah (istinbathul ahkam), katanya.
Jadi, pada dasarnya, lanjut Azwir dalam keberatannya, menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) KHI, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang diterbitkan pegawai pencatat nikah. Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, mengatur tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khusus yang beragama Islam, ditegaskan kembali dalam pasal 5 KHI, yang mengharuskan setiap perkawinan dicatat oleh pegawai pencatat nikah agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Selanjutnya, pasal 6 ayat (1) KHI, mengatur agar perkawinan dapat dicatat, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
Azwir mengatakan, menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) KHI, Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan demikian bukti perkawinan sirri antara saksi korban dengan Terdakwa/ Pembanding yang dijadikan bukti dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim PN Banda Aceh jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tegas Azwir.
Berdasarkan hal tersebut Terdakwa/ Pembanding memohon kepada Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh membatalkan putusan PN Banda Aceh Nomor: 15/ Pid.Sus/2023/PN.BNA tertanggal 06 April 2023, dan menyatakan Terdakwa/ Pembanding Irwansyah Bin (alm) Syawal tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak Pidana sebagaimana dalam Dakwaan Alternatif Pertama dan Kedua Jaksa Penuntut Umum. Dan membebaskan Terdakwa dari semua dakwaan (vrijspraak) atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa dari semua tuntutan hukum (ontslaag van alle rechtvervolging); serta memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya, ujar Azwir.(b02)