IDI (Waspada): Komunitas masyarakat Aceh di Makaysia yang tergabung dalam Solidaritas Ummah Bansigom Aceh (SUBA) meminta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, untuk mengembalikan status Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) sebagai bandara Internasional, tak terkecuali selama masa COVID-19.
“Jika bandara SIM tidak lagi dijadikan sebagai entry point penerbangan Internasional, maka ini kami nilai sebuah pengkhianatan Pemerintah Pusat terhadap masyarakat Aceh dan MoU Helsinki antara Pemerintah RI – GAM,” ujar Ketua Umum SUBA Pusat, Tgk Bukhari Ibrahim, kepada Waspada.id, Rabu (8/6).
Atas kebijakan Pemerintah Pusat itu, Bukhari meminta seluruh anggota DPR kabupaten/kota DPR Aceh, DPR RI asal Aceh dan DPD RI asal Aceh, segera duduk menyikapi persoalan serius tersebut. “Forum Bersama DPR-DPD RI harus fokus soal penurunan status bandara SIM. Jika dibiarkan, maka satu persatu pasal demi pasal dalam UUPA sebagai turunan dari MoU Helsinki akan dihilangkan dengan dalih yang tidak masuk akal,” timpa Bukhari.
Setelah duduk bersama nantinya, lanjut Bukhari, Forbes DPD-DPR RI harus menjumpai Menhub RI di Jakarta, untuk membicarakan persoalan bandara SIM yang tidak lagi menjadi entry point penerbangan Internasional. “Namun dalam hal ini perlu dukungan Pemerintah Aceh dan bupati/walikota se Aceh, sehingga masyarakat dapat terus memanfaatkanBandara SIM untuk rute penerbangan Internasional,” timpa Bukhari.
Perlu diketahui, lanjutnya, salah satu kewenangan Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki di poin 1, 3 dan 7 disebutkan bahwa ‘Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, baik laut dan udara’. Lalu dalam UUPA pasal 165 berbunyi ‘penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan Internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” urai Bukhari.
Jadi, menurut pria asal Idi Cut itu, Surat Edaran Satgas COVID Nomor 19 Tahun 2022 tentang Prokes Perjalanan Luar Negeri di masa Pandemi COVID-19 benar-benar telah menghilangkan kekhususan Aceh. “Jika hanya referensinya berpotensi jalur penyebaran wabah COVID-19, maka banyak bandara lain yang perlu ditutup akses Internasional, seperti Bandara Ngurah Rai di Bali dan Bandara Soeta di Jakarta, karena itu bandara paling sibuk di Indonesia,” sebut Bukhari.
Pihaknya menilai, penurunan status sementara Bandara SIM terlalu mengada-ngada dan dinilai aneh, sehingga kerugian besar yang diterima masyarakat Aceh, seperti tidak bisa berobat ke luar negeri melalui Bandara SIM. “Jika Bandara SIM ditutup akses penerbangan Internasioanl, maka tentu masyarakat Aceh yang hendak ke Malaysia dan beberapa tetangga harus melalui Sumatera Utara atau Jakarta. Ini tentu akan menghabiskan banyak waktu saat transit dan pemborosan dari segi anggaran,” pungkas Bukhari. (b11).