IDI (Waspada): Kasus kematian tiga harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) kembali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Idi, Kabupaten Aceh Timur, Senin (5/9).
Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ini diketuai Apriyanti SH MH selaku hakim ketua, didampingi Zaki Anwar, SH dan Wahyu Diherpan, SH, sebagai hakim anggota.
Sedangkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Aceh Timur yakni, Muhammad Iqbal Zaqwan, SH, MH, dan Harry Arfan, SH, MH.
Saksi yang dihadirkan di persidangan kali ini adalah Kepala Desa atau Keuchik serta Kepala Dusun di Desa Peunaron Baru, Kec. Peunaron, Kab. Aceh Timur.
Kedua saksi mengaku mengetahui aktivitas para pemburu babi yang datang dari Sumatera Utara itu, karena mereka sempat mengabari saat datang ke desa yang dipimpinnya.
Tetapi, kata saksi, para pemburu itu tidak berpamitan ketika hendak kembali ke daerah asal di Sumatera Utara. Tidak lama setelah itu, para saksi mendengar informasi adanya kematian tiga imdividu harimau sumatera yang lokasinya bukan lagi di desa mereka, tetapi di Desa Sri Mulya.
“Tujuannya dari pemburu babi ini baik yakni memberantas hama (babi hutan–red) yang selama ini sering menyasar berbagai jenis tanaman umbi-umbian di ladang warga. Silahkan saja, asal tidak macam-macam dan tidak merusak lingkungan,” kata Keuchik Marsudi.
Dia menambahkan bahwa selama ini sepengetahuannya tidak ada kelompok atau pemburu lain yang lalu lalang di kawasan itu, karena akses ke Desa Sri Mulya ataupun sebaliknya menggunakan rute yang sama dengan Desa Peunaron Baru.
Saksi Ahli BKSDA Aceh
Selain itu, saksi ahli dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh juga ikut dihadirkan yakni Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) drh. Taing Lubis, MM.
Dia membeberkan fakta bahwa Harimau Sumatera adalah satwa liar dilindungi dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (Critically endangered).
Lokasi kematian tiga harimau sumatera ini, kata Taing, merupakan hutan heterogen (kawasan hutan yang ditumbuhi oleh berbagai macam pohon) serta ada aliran sungai yang diyakini sebagai sumber air bagi satwa-satwa yang hidup di sana.
Disisi lain, para pemburu juga disebutkan menyalahi aturan karena mereka datang dari luar Aceh, mengambil sumber daya alam yang ada di Aceh lalu memperdagangkannya.
Ditambah lagi dengan penggunaan jerat atau perangkap yang jelas sudah dilarang pemakaiannya karena membahayakan baik itu satwa-satwa yang ada di hutan serta membahayakan bagi manusia juga.
“Sumber daya alam Aceh itu milik Aceh, tidak boleh sembarangan orang luar masuk berburu ke sini apalagi pemerintah sudah mengatur tata cara perburuan, seperti mengurus perizinan dan memakai peralatan yang diperbolehkan,” jelasnya.
“Penggunaan jerat atau perangkap jelas tidak diperbolehkan, undang-undang sudah mengatur itu,” tambahnya lagi.
Diketahui, pemerintah mengatur tentang perburuan lewat PP No. 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru serta Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Sementara itu, saksi lainnya yakni drh. Rosa Rika Wahyuni, M.Si, selaku tim medis yang melakukan nekropsi (bedah bangkai–red) terhadap ketiga bangkai Harimau Sumatera menyebut bahwa ketiga satwa dilindungi itu mati karena terjerat di bagian leher dan kaki.
“Kami juga menemukan ada potongan daging babi di dalam perut Harimau,” kata drh. Rosa.
Setelah mendengarkan keterangan dari para saksi, majalis hakim kemudian menutup persidangan dan sidang akan kembali dilanjutkan, Rabu (7/9) mendatang.
Diberitakan sebelumnya, 3 Harimau Sumatera ditemukan mati terjerat di kawasan HGU PT Aloer Timur, Desa Sri Mulya, Kec. Peunaron, Kab. Aceh Timur, Provinsi Aceh, Minggu (24/4).
Polisi memeriksa delapan orang pemburu babi asal Sumatera Utara yang ada di kawasan itu dan ditemukan dua buah gulungan aring atau sling yang sama persis yang menjerat tiga Harimau Sumatera dan ditemukan juga beberapa helai bulu burung Kuau Raja yang juga satwa dilindungi.
Polisi kemudian menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Rekan kerja pelaku yang hadir di persidangan sebelumnya mengakui, kelompok yang berjumlah delapan orang itu berbagi peran dalam hal wilayah atau area yang akan dijelajahi.
Diduga kuat, area yang kemudian menjadi lokasi tiga ekor harimau terjerat adalah area milik kedua terdakwa memasang jerat atau perangkap. (b11).