Scroll Untuk Membaca

Aceh

Presiden “Rex” Hasbi Burman, Meninggal Dunia

Presiden Rex Hasbi Burman. (Waspada/Ist)
Presiden Rex Hasbi Burman. (Waspada/Ist)

BANDA ACEH (Waspada): Innalillahi wainnailaihi raji’un. Seniman otodidak Hasbi Burman, meninggal dunia pada Senin (11/3) malam. Pria bergelar Pesiden Rex ini menutup mata saat umat Islam di seluruh dunia baru saja mau merayakan Ramadan.

Hasbi Burman, pria gaek kelahiran 1944 di Lhok Buya, Calang –saat ini ibukota Kabupaten Aceh Jaya, menutup mata setelah kalah melawan penyakit diabetes yang ia derita selama bertahun-tahun.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Presiden "Rex" Hasbi Burman, Meninggal Dunia

IKLAN

Kabar duka tersebut merayap pelan. Di linimasa Facebook, pengumuman meninggalnya Hasbi Burman ditulis oleh Jabal Sab, seorang wiraswastawan yang bermukim di Banda Aceh.

Kabar tersebut diperkuat oleh Medyahus, seorang seniman tutur yang bergabung dalam Majelis Seniman Aceh (MaSA).

Saat Waspada mengkomfirmasi informasi tersebut, Medyahus membenarkan hal itu. Ia mengaku diberitahu oleh putra almarhum Hasbi Burman.

“Benar, tadi malam setelah tarawih ditelepon saya oleh anaknya dan akan dikebumikan hari ini, Selasa (12/3),” katanya.

Semasa hidupnya, Hasbi Burman merupakan seorang seniman otodidak. Ia gemar menulis puisi sembari menjalankan tugasnya sebagai tukang parkir di Rex Peunayong, Banda Aceh. Perihal seperti apa ia berkiprah sebagai seorang penulis puisi, dapat dibaca di artikel Hasbi Burman, Penyair di Tepian Sebuah Zaman.

Berkat kepedulian teman-temannya, antologi puisinya telah diterbitkan pada 2019 oleh Nuansa Cendekia, Bandung. Di dalam buku antologi tersebut, dimuat 107 puisi yang pernah ditulis oleh Hasbi.

Di dalam antologi tersebut memuat puisi bertajuk Lhok Buya Suatu Ketika. Ia menulis tentang kampung halamannya.

Di lantai atas kedai kelontong

Aku menulis ingatan

Kubedah hati rindu

Puspa ragam angin merajalela

Luka memang sangat terasa

Membahas diri sendiri

Antara sayup pekik monyet di atas bakau

Gemericik sungai kedengaran semakin resah

Dayu pungguk rindu yang tinggi

Senandung aku membuai rindu yang jauh.

Di Lhok Buya aku belajar goda-menggoda

Mempasarkan diri agar berarti

Tak juga sampai

Ya Allah, aku tidak siapa-siapa

Yang mau memberi cinta

Di atas lantai kedai kelontong

Tempat aku menumpang tidur

Dan kawan-kawan puspa ragam

Menimbun duka di atas luka

Sambal kecewa kubuka jendela

Di luar malam semakin tua.

Lhok Buya, 7 Desember 1070. (Zafrullah)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE