JAKARTA (Waspada): PT Kallista Alam di Nagan Raya diwajibkan segera membayar denda ke negara setelah peninjauan kembali (PK) perusahaan perkebunan swasta itu ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) medio Juni 2022.
Informasi Waspada himpun Senin (31/10), PT Kallista Alam yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena terbukti membakar hutan gambut Rawa Tripa seluas sekitar 5 hektare pada 23-27 Maret 2012 dan 8 hektare pada 7-23 Juni 2012 di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, ini hingga kini masih belum membayar denda. Apalagi PK kasus ini ditolak oleh MA.
Terkait hal ini, anggota Komisi IV DPR RI M Salim Fakhri saat dihubungi Waspada.id, Senin (31/10) yang konsern memantau kasus ini kembali menyayangkan sikap manajemen PT Kallista Alam (PT KA) yang tidak taat hukum dan tidak memiliki iktikad baik dalam persoalan kebakaran lahan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya.
“Perusahaan ini diharuskan membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lahan yang jumlahnya mencapai Rp366 miliar. Tapi mereka terus melawan dan tidak taat hukum. Padahal Mahkamah Agung sudah menolak peninjauan kembali mereka,” tegas Fakhri (foto) mengulang pernyataannya dari Jakarta kepada Waspada medio Rabu (27/1/2021).
Anggota Komisi IV yang ruang lingkup tugasnya mencakup Kementerian Pertanian, LHK dan Kelautan, ini menekankan pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan perkebunan PT KA yang dianggap membangkang terhadap putusan pengadilan.
“Mau jadi apa negara ini kalau ada perusahaan yang terbukti melakukan tindakan melawan hukum tapi tidak bisa dieksekusi. Hukum harus ditegakkan, negara tidak boleh kalah,” tegas Fakhri.
Menurut Fakhri, kasus PT KA ini sudah lama dan berlarut sejak 2017. Meski putusan peradilan di tingkat pertama, kedua dan seterusnya PT KA terbukti bersalah dan melanggar hukum, perusahaan ini terus melawan dan tetap beroperasi. “Harus ada upaya paksa,” tegas Fahri mengingatkan sekali lagi.
Membandel
Penetapan vonis bersalah PT KA tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/Pdt G/2012/PN Mbo jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/PDT/2014/PT BNA jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 651 K/PDT/2015 jo Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1PK/PDT/2015 tanggal 18 April 2017.
Namun, PT KA enggan memenuhi putusan hukum itu, meski Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, telah mengeluarkan penetapan lelang lahan yang pelaksanaannya didelegasikan ke Ketua PN Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya.
Proses eksekusi itu berupa pelelangan sebidang tanah, bangunan, dan tanaman di atasnya seluas 5769 hektar.
Pada 26 Juli 2017, PT KA balik menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.
Dalam gugatannya, perusahaan ini menyebut, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto.
Perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.
Pengadilan Negeri Meulaboh mengabulkan gugatan tersebut, namun Pengadilan Tinggi Banda Aceh kembali dalam perkara dengan Nomor: 80/PDT-LH/2018/PT BNA, 4 Oktober 2018, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 16/Pdt 6/2017/PN Mbo, terkait gugatan PT KA yang bebas dari segala tuntutan hukum.
PT KA belum menerima kekalahan ini, mereka kembali melakukan perlawanan. Terakhir upaya proses hukum PT KA yang mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung telah ditolak Juni 2022 lalu. Kini informasi yang beredar, perusahaan ini tetap membandel karena tak juga kunjung melaksanakan keputusan hukum, yakni membayar denda ratusan miliar ke negara.
Terkait ini, Suwarno dari pihak PT Kallista Alam yang dihubungi berulang via selular belum tersambung meski teleponnya aktif.(m14/m06)