SIGLI (Waspada): Maraknya gelombang kedatangan warga Rohingya ke Indonesia, yang memilih mendatarat melalui pesisir pantai Aceh, khususnya di pesisir Kabupaten Pidie, menimbulkan rasa khawatir Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie akan batas kesabaran warganya.
Pasalnya, banyak dari warga daerah berjuluk Pang Ulee Buet ibadat, Pang Ulee Hareukat Meugoe, itu tidak menginginkan lagi kedatangan warga Rohingya secara ilegal di daerah mereka tersebut. Rasa khawatir itu disampaikan langsung oleh Penjabat (Pj) Bupati Pidie Ir Wahyudi Adisiswanto M.Si, saat menerima Waspada di ruang kerjanya di pendopo bupati, Rabu (3/1) siang.
Selama 25 menit menerima kunjungan Waspada di ruang kerjanya itu, pria yang memiliki kepribadian flamboyan ini, bercerita banyak pengalamanya selama satu tahun terakhir ini bertugas memimpin kabupaten berpenduduk sekira 444,149 jiwa itu. Khusus dalam penanganan warga etnis Rohingya, Myanmar, Pemerintah Kabupaten Pidie yang dipimpinnya tersebut sangat hati-hati.
Awal-awalnya warga Rohingya itu datang, Pemkab Pidie bersama masyarakat menerima kedatangan mereka karena beberapa faktor, diantaranya faktor sosial dan rasa prihatin karena mereka juga mengaku seakidah dengan warga Aceh.
Namun dalam perjalannya, ternyata gelombang kedatangan warga Rohingya yang memilih mendarat di Aceh, khususnya di Kabupaten Pidie, jumlahnya terus bertambah dan menyebabkan daya tampung Kamp Rohingya di Minaraya, Kecamatan Padang Tiji over kapasitas.
Kondisi ini diperparah dengan sikap dan perangai warga pendatang Rohingya sendiri yang tidak disenangi oleh masyarakat gampong setempat. Kondisi ini, sebut Wahyudi Adisiswanto, menimbulkan persoalan baru di kalangan masyarakat. Pun begitu, sejauh ini belum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perbuatan yang menjurus anarkis. Emosi dan kesabaran masyarakat lokal masih dapat dikendalikan sendiri oleh warga.
Dia mengungkapkan, keberadaan warga etnis Rohingya, Mnyanmar yang rata-rata mengaku berlayar dari kamp pengungsian dari Banglades, hingga sekarang yang ditampung di Kabupaten Pidie totalnya berjumlah 889 jiwa.
Dengan rincian, sebanyak 482 orang ditampung di gedung Minaraya, Kecamatan Padang Tiji dan 407 orang tinggal di pesisir pantai Kecamatan Muara Tiga dan di Kecamatan Bate. Jumlah ini kata dia, jika dikalkulasinya paling banyak jumlahnya di Aceh, yang ditampung di Pidie.
Kendati jumlah warga Rohingya ini paling banyak di Pidie, paling lama karena warga Rohingya sudah tinggal di Pidie satu tahun lebih, dan mereka juga paling tenang. “Bukan aman ya, ini ribut terus. Namun batas kesabaran masyarakat yang saya khawatirkan” katanya.

Ditangani UNHCR
Pj Bupati Pidie, Ir Wahyudi Adisiswanto M.Si juga mengungkapkan, sejauh ini dalam penanganan pendatang Rohingya di Kabupaten Pidie, tidak membebani pemerintah kabupaten yang dipimpinnya tersebut. Pemkab Pidie atas restu Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat hanya memberikan penggunaan sementara bangunan Panti Sosial Minaraya untuk menampung warga etnis Rohingya tersebut.
Kata dia, semua kebutuhan warga Rohingya itu diberikan oleh United Nations High Commisioner For Refugees (UNHCR) atau badan pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). “Semua kebutuhan mereka itu urusan UNHCR, pokoknya pemerintah tidak mengeluarkan dana sepeserpun, baik yang di Minaraya maupun yang di Muara Tiga dan Kecamatan Bate” katanya.
Menyusul banyaknya jumlah warga etnis Rohingya yang ditampung di Kabupaten Pidie, Wahyudi mengungkapkan, ada upaya untuk memindahkan mereka ke beberapa kabupaten/kota di Aceh, akan tetapi semua menolaknya. “Ada rencana mau dipindahkan sebagian ke Gayo Lues dan Tamiang, tetapi ditolak semua” ujarnya.
Menyusul adanya pro dan kontra di tengah warga terhadap keberadaan warga Rohingya tersebut, Wahyudi Adisiswanto terus melakukan upaya pendekatan dengan warga, seraya mengimbau warganya tidak bersikap anarkis dan melakukan kekerasan terhadap warga Rohingya. Dia juga meminta warganya untuk berbicara baik-baik dengan pihak UNHCR.
Misal, dalam penggunaan tanah di mana UNHCR menempatkan warga Rohingya tersebut, Pj Bupati Pidie mempersilahkan warganya untuk melakukan negosiasi tentang biaya sewa tanah, meskipun warga Rohingya itu ditempatkan di tanah milik negara seperti di tepi pantai. “Saya imbau masyarakat tidak anarkis terhadap pengungsi. Kemudian silahkan nego dengan UNHCR. Misalnya sewa tanahnya, mau dikasih Rp10 juta perhari terserah mereka, saya tidak ini. Silahkan warga bernegosiasi UNHCR. Jadi silahkan, langsung dengan UNHCR,” pungkasnya.
Scout Camp Seulawah
Dalam bincang -bincang dengan Waspada, Pj Bupati Pidie Ir Wahyudi Adisiswanto M.Si, juga menyampaikan tentang upaya penempatan imigran gelap Rohingya di Bumi Perkemahan Pramuka Seulawah Scout Camp, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie beberapa waktu lalu. Saat itu upaya tersebut mendapat penolakan dari warga setempat.
Wahyudi mengungkapkan, Scout Camp Pramuka Seulawah itu akan disulap Pemkab Pidie menjadi kebun binatang. Lokasi ini kata dia, akan menjadi tempat wisata favorit yang juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau di daerah itu.
Menurut dia, Kabupaten Pidie dengan luas 3562,15 Km2 terdiri dari 23 kecamatan. Dengan luas daerah dan penduduknya yang banyak, Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya sangat rendah. Rendahnya PAD ini karena rasio dengan populasi yang didapatnya sedikit, sementara populasinya besar. Artinya, kata Ir Wahyudi Adisiswanto, Kabupaten Pidie ini termasuk salah satu daerah di Aceh yang miskin. Karena itu pihaknya akan meningkatkan PAD dengan memanfaatkan potensi daerah karena di Pidie tidak ada industri dan kebunpun tidak ada untuk proses investasi.
Untuk itu Pemkab Pidie merilik sektor wisata, laut, gunung dan konsepnya sudah dibuat. “Nah di Scout Camp mau kita gunakan untuk bangun kebun binatang. Kami sudah rundingkan dan melakukan diskusi. Kami minta tolong Provinsi Aceh untuk membantu agar ini bisa direalisasikan. Tetapi kalau lokasi ini mau ditempatkan Rohingya, jadi kita sudah miskin, makin miskin. Padahal kita ada fasilitas yang bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan PAD dan menyejahterakan rakyat kita,” pungkasnya. (b06).