BANDA ACEH (Waspada): Persoalan di Aceh sekarang ini yang sudah di depan mata adalah berakhirnya Dana Otonomi khusus (Otsus) pada 31 Desember 2027, revisi Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang stagnan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya 18,6 persen sejak tahun 2018-2022.
Demikian diungkapkan ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Husni Jalil, SH, MH pada Fokus Group Discussion (FGD) Mencari Sosok Pemimpin Aceh yang Energik, Cerdas dan Mengerti Akar Persoalan, yang digelar PWI dan Forum Pemred Aceh, Rabu (22/5) di Banda Aceh.
Melihat peta persoalan tersebut, Husni Jalil, mengatakan Aceh sangat membutuhkan dana dari pemerintah pusat. “Bayangkan begitu persoalan transfer dana terhambat dari pusat, juga membawa dampak bagi masyarakat di Aceh,” ujarnya pada FGD yang juga hadir sebagai narasumber akademisi dari USK lainnya, yakni Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, MA dan Prof. Dr. Muklis Yunus, SE, MS.
Husni juga mengungkapkan tingginya angka kemiskinan di Aceh dan hampir sama diseluruh kabupaten/kota. “Asumsi saya pemimpin Aceh kedepan tidak duduk manis, tapi harus mampu bekerja keras mencapai tujuan mensejahterakan rakyatnya. Jadi kalau duduk manis tidak akan tercapai. Sumber PAD sangat minim. Beda dengan Sumatera Utara, mereka banyak industri,” cetusnya.
Menurutnya, calon pemimpin Aceh ke depan perlu adanya inisiatif proaktif meningkatkan kesejahteraan masyarakat, komunikatif dan peduli lingkungan. “Kalau menunggu belas kasihan pemerintah pusat menyangkut anggaran, menyebabkan Aceh tidak mandiri,” ucapnya.
Karena itu, Husni menaruh harapan pemimpin Aceh kedepan harus komitmen membangun Aceh. “Programnya tidak hanya bersifat personal tapi juga membangun Aceh berkesinambungan menjadi Aceh yang makmur,” cetusnya.
Hal yang sama juga dikemukakan Prof. Dr. Muklis Yunus, SE, MS akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, bahwa pemimpin Aceh harus mampu menyelesaikan persoalan. Seiring berkembangnya zaman, akan berubah situasi. Semua indikator kepemimpinan pada awal kemerdekaan tidak sepenuhnya dapat dipraktekkan pada masa kekinian.
“Di depan kita adalah peluang, ancaman, kesempatan, kelemahan, mari berpikir jernih, tinggalkan status sosial, dipundak kita punya tanggungjawab masing-masing. Jangan lupa perhatikan kondisi yang menentukan sikap dan keputusan, kita,” tegasnya.
Terkait calon pemimpin Aceh, Muklis mengatakan salah satu syarat jadi pemimpin harus berani mengambil resiko. “Ada sebuah penyakit tahun 2024 menjamah Aceh adalah hilangnya keberanian. Modal ada, program ok, prospek mantap, keberanian itu yang semakin langka,” tuturnya.
Tidak Bangun Tidur Langsung Jadi Gubernur
Sementara Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, MA akademisi Fakultas Pertanian USK menukil keberhasilan tiga tokoh pemimpin Aceh yakni, Prof. Ali Hasjmy, Muzakkir Walad dan Prof. Ibrahim Hasan. “Pertama semua mereka punya ketrampilan dan pengetahuan tentang birokrasi. Mereka tidak bangun tidur langsung jadi gubernur,” ujarnya pada FGD yang dimoderatori oleh Nurdin Syam, Ketua Forum Pemred Aceh.
Kata ia, Ali Hasjmy pernah jadi pegawai di Departemen Sosial RI di Jakarta, Muzakkir Walad Letnan Kolonel TNI pernah menjadi Direktur Perusahaan Daerah Bina Usaha dan Ibrahim Hasan rajanya birokrasi, pernah jadi Deputi di Bulog. “Kenapa birokrat penting, karena ketika masuk memimpin kita berhadapan dengan makhluk yang mengurus pemerintahan,”
Karena itu, kata Humam, jadi pemimpin itu harus menguasai parlemen dan pemerintahan. “Yang kedua mengerti Aceh dengan baik dan ketiga tahu Jakarta, keempat mendapat kepercayaan penuh dan dekat dengan presiden, dan kelima kriteria pemimpin pembelajar,” tandasnya. (b05)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.