Mawadah, Penjual Sirih Tangguh Di Antara Gemerlapnya Kota Langsa

  • Bagikan

SENJA itu, matahari mulai menyingsing dan hendak berada di peraduannya di ufuk barat, pertanda haripun memasuki malam. Suara alunan ayat-ayat suci Alquran mulai menyongsong bersahutan di antara masjid satu dengan lainnya mengagungkan kalimah Allah, pertanda magrib akan tiba.

Siang pun berganti malam, seiring detak jarum jam yang pada saat itu menunjukan waktu di pukul 18:25, menuju shalat magrib tiba bagi umat Muslim.

Tampak aktivitas perekonomian terlihat mulai terhenti, ditandai dengan para pedagang mulai menutup pintu kedainya untuk melaksanakan ibadah shalat magrib di masjid terdekat.

Selepas itu, aktivitas perekonomian di kota berjulukan kota jasa itu kembali bergairah, beragam para pedagang di sekitar masjid mulai membuka lapak dagangannya kembali.

Sementara, di sudut jalan sekira radius 100 meter terpaut berdiri bangunan megah Masjid Agung Darul Falah Kota Langsa, tempat sentral para jamaah melaksanakan ibadahnya dan juga masjid kebanggaan masyarakat Langsa terlihat seorang wanita penjual sirih (ranub – bahasa Aceh-red) yang berdiri di tepi jalan di antara gemerlapnya Kota Langsa saat itu.

Wanita manis, berkulit putih dengan dibalut hijab hitam yang membalut rambutnya berdiri di tepi jalan persimpangan Jalan Tengku Umar Kota Langsa sambil sesekali melemparkan senyum. Tak jauh dari Ia berdiri, sebuah meja mini menemaninya dengan sejumlah daun sirih siap saji tersusun rapi untuk dijualnya.

Sesekali, jari jemarinya yang lentik mengelus-elus permukaan daun sirih tersebut mengunakan kain, agar terhindar dari debu yang melekat di daun sirih.

Dialah Mawadah, 31, warga Alue Beurawe, Kecamatan Langsa Kota. Sosok ibu satu anak yang tangguh dalam mengais rezeki dalam menjajakan jualan sirih yang siap saji di antara hembusan angin malam serta riuhnya suara kendaraan yang lalu-lalang.

Ketika ditemui, Sabtu (15/1) malam Mawadah mengaku jualan daun sirih merupakan usaha turun temurun, sejak nenek hingga mamak dan sekarang usaha ini dilanjutkannya.

Meskipun, di tengah pandemi Covid 19 sejak tahun 2020 silam hingga akhir 2021 lalu cukup sulit dirasakannya untuk meraup pundi-pundi rupiah bagi keluarganya, karena praktis omzet yang diraihnya cukup minim.

Begitu juga, di saat-saat Kota Langsa ditetapkan sebagai zona Merah Covid 19 pada pertengah 2021 yang silam, praktis omzet jualannya sedikit lesu. Biasanya, Mawadah bisa meraup omzet Rp250 ribu hingga Rp300 ribu setiap malamnya, namun karena diberlakukan jam malam hanya bisa mengantongi uang sekira Rp75 ribu hingga Rp100 ribu saja, bahkan di bawah itu.

Kondisi itu terus dialami hingga berbulan-bulan dan terkadang membuat dirinya mengerutu, dalam benaknya yang tak mampu meraup uang lebih dari hasil jual sirihnya.

Berbekal kesabaran dan keuletannya, Allah Swt kembali memberikan jalan keluar yang cukup baik dengan mulai hilangnya status pandemi Covid 19.

Kini, dalam kurun waktu dua bulan ini Mawadah mulai dapat senyum, karena hasil jualan sirihnya mulai mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah kembali dan mempunyai prospek yang mengembirakan.

Hasil jualan sirihnya kini menampakan geliatnya, Mawadah mulai mengantongi omzet sekitar Rp250 ribu setiap malamnya. Bahkan pada saat malam-malam libur akhir pekan, mendapatkan rezeki lebih dari omzet yang diraihnya.

Memang, Mawadah bukanlah wanita yang cengeng akan kondisi kekinian, Dia sosok wanita tegar dan tangguh dalam menghadapai dinamika kehidupan ini.

Apalagi, berjualan sirih ditekuni sejak usianya masih remaja dan tetap konsisten berjualan meskipun di emperan sudut persimpangan antara Jalan Tengku Umar – Jalan TM Zein Kota Langsa dan ia tak asing lagi bagi para langganannya.

“Alhamdulillah sejak tidak ada lagi jam malam Covid 19, secara otomatis omzet penjualan sirih saya mulai kembali dicari orang,” ujar Mawadah tersenyum.

Mawadah, Penjual Sirih Tangguh Di Antara Gemerlapnya Kota Langsa

Sembari melayani pembeli, tangan-tangan lentiknya sudah terbiasa membalut sirih, dimana daun sirih dipadukan dengan sedikit pinang, lengkuas, jemuju dan kapur dibalut dijadikan satu serta sebagai pengikatnya ditusuk sebuah cengkeh untuk menambah ciri khas enaknya memakan sirih dan sirih adalah kesukaan orang Aceh.

Harga sirih terbilang murah meriah, namun bagi pencinta makan sirih sudah menjadi kebiasaan untuk membelinya sebagai kunyahan pada malam hari.

Sirih selain bisa menyembuhkan penyakit lambung juga konon memperkuat gigi dan ketika dikunyah akan mengeluarkan warna merah yang membuat gelepotan sekitaran mulut dan diyakini pemakan sirih mulutnya terhindar dari bau.

Untuk memenuhi selera pelanggan, kini sirih racikan Mawadah tersebut memiliki dua varian yakni, sirih pahit dan manis tergantung selera masing-masing.

Kalau sirih yang manis, artinya di dalam sirih tersebut dimasukkan gula aren yang telah diracik halus yang rata-rata penyuka sirih ini adalah kaum milenial.

“Ya kita jual sirih ada yang pahit dan ada yang manis tergantung selera pelanggan dan harga sirih ini sangatlah terjangkau dalam satu balutan itu dibandrol hanya Rp500 saja. Namun pelanggan yang membelinya paling sedikit Rp5 ribu dalam satu plastik kecil,” ucap Mawadah, ibu dari Tara, balita berusia empat tahun itu.

Di balik sikap luwes nan berparas cantik, Mawadah adalah sosok yang tidak pernah sombong. Di mana setiap pejalan kaki maupun pengendara sepedamotor tetap Ia sapa dengan senyum manis sembari menjajakan dagangannya sirihnya.

Di ujung bincang-bincang singkat itu waktupun mulai bergeser hingga pukul 20:00, menyongsong tibanya shalat Isya dan penulis mengakhirinya dengan berpamitan sambil menenteng sirih dalam bungkus kecil untuk dimakan.

“Terimakasih bang sudah mau mampir, besok kembali lagi ya, karena sirih buatan Mawadah selain orisinil juga enak dirasa,” tukas Mawadah sembari melemparkan senyum manisnya itu. WASPADA/Rapian


  • Bagikan