ACEH TAMIANG (Waspada): Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), Sayed Zainal, M. SH menegaskan bahwa Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang dilaksanakan Komisi 1 DPRK Aceh Tamiang pada 3 November 2023 kemarin dinilai bertele-tele dan seolah dibuat hanya sekedar lips service dan terkesan sangat tidak serius.
Selain itu, sikap dan arah kebijakan DPRK terutama Komisi 1 belum memperlihatkan keberpihakan pada masyarakat. “Sebab, sampai RDP kedua belum ada rekomendasi yang dilahirkan sebagai dasar berpijak,” kata Sayed Zainal kepada Waspada Senin (6/11) di Karang Baru.
Disebutkannya, penyelesaian sengketa Agraria atau konflik ruang kelola antara kepentingan fasilitas umum atau publik dalam wilayah desa di lokasi HGU perkebunan saat perusahaan melakukan perpanjangan HGU.
“Kalau tidak punya arah dan sikap Pimpinan DPRK Aceh Tamiang, berikut Komisi 1 dan anggotanya, maka produk yang akan dihasilkan juga menjadi bertele-tele,” terangnya.
Sayed Zainal mengatakan, padahal lahirnya rekomendasi bisa dijadikan dasar, agar Panitia B yang menjadi kewenangan di BPN Provinsi bisa menerbitkan Risalah dan atau pertimbangan untuk dikeluarkan dan atau dilepaskan, enclave sebahagian lokasi HGU untuk kepentingan fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos) bagi kepentingan masyarakat kampung.
Sekilas perjalanan RDP digambarkan Sayed Zainal, sehubungan dengan perpanjangan HGU PT. Socfindo dan PT. Sri Kuala yang akan berakhir pada Desember 2024. Itikad dan kemauan untuk melaksanakan RDP dari pimpinan DPRK Aceh Tamiang sangat di hargai. Berdasarkan desakan berupa surat LembAHtari tanggal 10 Agustus 2023, dan terlaksana acara RDP 10 Oktober 2023, tanpa menghadirkan pihak PT. Socfindo dan PT. Sri Kuala. Kecuali PTPN1.
Pimpinan DPRK tidak pernah menerbitkan rekomendasi tersebut. “Padahal kami minta ulang RDP dimaksud dengan menghadirkan secara lengkap pihak-pihak perusahaan lainnya yang kami sebut di atas,” ungkap Sayed.
Namun, RDP kedua pada tanggal 3 November 2023 lalu juga tidak dihadirkan perusahaan yang dimaksud, bahkan Ketua DPRK sebelum RDP kedua ke Jakarta melakukan konsultasi untuk lokasi yang diusulkan dan anggota rapat RDP baru tahu dari Rapat RDP, sebab Ketua DPRK menyebut pihaknya ke Jakarta untuk konsultasi.
“Kami juga tidak tahu hal itu, karena Ketua DPRK tidak menyampaikan hal mengenai keberangkatannya ke Jakarta kepada kami, jawabannya usulan-usulan pelepasan untuk kepentingan Fasum dan atau Publik harus dengan mendapat rekomendasi dari Penjabat Bupati sebagai dasar untuk pelepasan,” jelasnya.
Lebih aneh lagi, dalam sidang kedua yang lalu yang diagendakan RDP, kaitan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal ada dasar peraturan yang bisa dijadikan dasar untuk DPRK merekomendasi konflik Agraria dengan pihak perusahaan perkebunan bisa dihindarkan sehingga perpanjangan HGU bisa berjalan baik dan kepentingan masyarakat bisa terselesaikan.
Sayed berpendapat, pimpinan DPRK dan Komisi 1 serta anggota Komisi tidak serius menjalankan tugas dan tanggung jawab terhadap RDP ini. “Sepertinya hanya terpaksa dan seremonial saja, tudinganya sembari menyampaikan, DPRK punya staf ahli di Komisi bahkan di Fraksi serta tercatat dalam agenda RDP dan itu harus difungsikan sesuai tugasnya.
“Kalau mau menyelesaikan masalah panggil tiga perusahaan HGU yang akan berakhir izin HGU nya Desember 2024, Ketua DPRK dan Komisi 1 harus bersikap tegas sehingga hasil rekomendasi nanti disampaikan kepada Pj Bupati,” tegasnya.
Sayed lagi mengatakan, pihaknya menunggu hasil rekomendasi kedua dan RDP yang ketiga sehingga final usulan pelepasan untuk kepentingan Fasum atau publik dan kepentingan kampung yang berada di sekitar lokasi HGU.
Sayed Zainal mengungkapkan, apalagi persoalan penggusuran warga Perkebunan Sungai Iyu dari Lokasi HGU PT. Rapala adalah bukti nyata, pimpinan DPRK dan Komisi 1 tidak mampu menerbitkan hasil rekomendasi hasil Pansus 6 Juli 2023.
“Bagaimana kami mau bicara tentang adanya mal administrasi lahirnya HGU PT Rapala saat perpanjangan izin HGU tahun 2014 dan bagaimana kami mau bicarakan persoalan dan masalah tanggung jawab sosial perusahaan dan 20 persen kewajiban perusahaan dengan pola plasma atau kemitraan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar atau lingkungan perusahaan,” demikian ungkap Sayed Zainal.
Sementara itu, Ketua Komisi 1 DPRK Aceh Tamiang, Miswanto terkait hal ini membenarkan, bahwa dari RDP tentang HGU perkebunan belum ada rekomendasi yang dikeluarkan. ” Kita minta juga ketegasan Ketua DPRK agar rekomendasi bisa dikeluarkan untuk diteruskan ke Bupati Aceh Tamiang, “ungkapnya, Senin (6/11).
Miswanto secara pribadi mengapresiasi apa yang disampaikan oleh LembAHtari, artinya, masyarakat menanti kejelasan. “Terlebih untuk kepentigan umum, kalau tidak diberikan pelepasan arela HGU bagi kepentingan publik, sebaiknya jangan diberikan izin perpanjangan HGU nya, “pungkas Miswanto, politisi Partai Aceh. (b15)