“Ulama tidak seharusnya hanya menjadi calon wakil gubernur (Wagub) yang diusung untuk mendongkrak suara dari kalangan pesantren, melainkan perlu mempertimbangkan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur dengan membangun poros politik baru.”
UNGKAPAN di atas disampaikan Advokat dan Mediator Pusat Mediasi Nasional, Dr. Bukhari, M.H.,CM (foto). Akademisi dari Kampus Peradaban Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe ini juga mengatakan, bahwa ulama memiliki peran penting dalam politik Aceh, khususnya menjelang pemilihan kepala daerah.
“Ulama adalah sosok yang dihormati dan memiliki pengaruh besar di Aceh. Namun, dalam beberapa kasus, kita melihat bahwa setelah terpilih, ulama yang hanya dijadikan wakil sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan penting. Ini adalah sesuatu yang sangat disayangkan,” ujar Dr. Bukhari.
Contoh nyata, kata Bukhari, seperti yang dialami oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin, yang juga maju lewat perwakilan para ulama. Dia nyaris tidak dilibatkan dalam pembahasan persoalan-persoalan penting di negeri ini.
Karena itu, menurut Dr. Bukhari, ulama yang benar-benar ingin berkontribusi untuk kemajuan Aceh harus berani melangkah lebih jauh dengan mencalonkan diri sebagai gubernur, bukan hanya sebagai wakil.
“Jika berani dan benar-benar ingin membuat perubahan positif, Tengku H Muhammad Yusuf A Wahab atau Tu Sop harus mencalonkan dirinya sebagai gubernur bukan sebagai wakil.”
Dengan menjadi gubernur, kata Bukhari, ulama memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan visi dan misi yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan kepentingan umat. Mereka bisa memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat Aceh.
Untuk itu, dia mengusulkan agar ulama mempertimbangkan pembentukan poros politik baru. Langkah ini, menurutnya, tidak hanya menunjukkan kemandirian politik ulama, tetapi juga memperkuat posisi mereka sebagai pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif.
“Membangun poros baru adalah bentuk nyata dari upaya menjaga integritas dan martabat ulama dalam politik. Ini adalah kesempatan bagi ulama untuk menjadi penggerak utama perubahan di Aceh, bukan hanya menjadi pelengkap dalam kontestasi politik,” pungkas Dr. Bukhari.
Dr. Bukhari berharap ulasan dan pandangannya tentang hal yang telah disampaikan ini, menjadi bahan pertimbangan bagi ulama dan masyarakat Aceh dalam menyikapi dinamika politik lokal menjelang Pilkada mendatang, serta mendorong ulama untuk mengambil peran yang lebih signifikan dalam memajukan Nanggoe Aceh Darussalam (NAD) ini. WASPADA.id/Maimun Asnawi, S.HI.,M.Kom.I