KUALASIMPANG (Waspada): Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Provinsi Aceh meminta kepada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten jangan asal-asalan dalam untuk proses memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang akan berakhir.
“BPN dan Tim B pemerintah daerah agar dapat meneliti perusahaan perkebunan yang akan melakukan perpanjangan HGU, karena selama ini perusahaan perkebunan dinilai banyak yang kurang patuh pada aturan,” tegas Yusran, Sekretaris DPD APDESI kepada Waspada Minggu (6/8) di Karang Baru.
Yusran juga mengimbau agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat lebih tegas dalam menerbitkan izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan kelapa sawit. Pasalnya banyak sekali dugaan penyimpangan HGU, seperti tumpang tindih antara HGU dengan kawasan hutan, konflik sengketa antara HGU dengan tanah masyarakat, penggarapan lahan yang tidak sesuai dengan izin HGU.
Kemudian persoalan kewajiban perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi peraturan yang mengharuskan mereka memberi plasma minimal 20 persen, tapi izin HGU tetap diterbitkan dan bahkan diperpanjang.
“BPN harus tegas dalam proses pengajuan izin baru, harus langsung dan jelas plasma (kelapa sawit) 20 persen itu diserahkan kepada siapa dan dalam bentuk yang bagaimana,” terang Yusran.
Menurutnya, apabila sudah tidak memenuhi saat perpanjangan, maka hal ini harus dilakukan evaluasi, plasma minimal 20 persen, tidak ada plasmanya jangan direkomendasikan oleh Tim B pemerintahan untuk diterbitkan lagi izin perpanjangannya, dan hal itu pentingnya ketegasan dari pemerintah.
Yusran sangat setuju dengan DPRK Aceh Tamiang untuk menghadirkan Tim B dan membentuk Panja evaluasi dan Pengukuran ulang HGU, HGB, dan HPL. “Kita berharap dengan adanya evaluasi dan pengukuran ulang HGU, HGB dan HPL, permasalahan pertanahan yang masih sangat banyak ini dapat segera terselesaikan,” ujarnya.
Menurutnya bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit atau perkebunan lainnya berkewajiban alokasikan lahan bagi petani rakyat seluas 20% yang berada diluar hak guna usaha (HGU) yang sudah dimiliki, hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang 39 Tahun 2014, terutama pasal 58 ayat 1.
Dalam amanat undang-undang itu dipahami dan dimaknai bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki usaha perkebunan, wajib memfasilitasi pembangunan perkebunan masyarakat sekitar paling rendah 20% dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
“Pertanyaannya ada tidak pengusaha perkebunan memfasilitasi 20% lahan bagi petani rakyat,” tanya Yusran sembari mengatakan, kemudian sesuai Permentan Nomor 98 Tahun 2013 kemudian Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2012 ada ketentuan perusahaan perkebunan wajib memberikan plasma sebesar 30%,” sebut Yusran,
Lanjutnya, pengusaha perkebunan harus mematuhi aturan yang ada dan berkontribusi untuk daerah, karena itu pemerintah daerah atau dinas terkait harus meninjau ulang dan memastikan perusahaan mana saja sudah melaksanakan undang-undang no. 39 Tahun 2014 tersebut.
“Ini sangat penting dan perlu mengingat situasi ekonomi masyarakat saat ini, kalau perlu secepatnya di buatkan Pansus tentang Undang-Undang No 39 Tahun 2014 ini,” harap Yusran.(b15)