MEDAN (Waspada): Abuya Haji Amran Wali Al-Kholidi lahir di Pawoh, Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 21 Agustus 1947. Semenjak kecil belajar ilmu agama pertama sekali pada ayah sendiri, disamping sekolah formil Sekolah Rakyat (SR) di Labuhan Haji.
Saat Abuya Amran Wali berusia 14 tahun, ayahanda Abuya Amran wafat, kemudian Abuya belajar pada murid-murid almarhum ayahanda tercinta, seperti Abuya Syekh Zakariya Labasati, Abu Daud Zamzami dan Imam Syamsuddin Sangkalan.
Lalu Abuya Amran Wali melanjutkan studinya di beberapa Perguruan Tinggi di Sumatera Barat, Banda Aceh hingga negeri jiran Malaysia.
Abuya Amran Wali sendiri pernah memimpin Pesantren ayahnya di Darussalam selama 10 tahun, serta mendirikan dan membangun beberapa Pesantren lainnya, seperti Darul Ihsan, Tauhid Irfani, Bale Sufi di Tapak Tuan dan Firar ilallah di Suak.
Abuya Syech Haji Amran Wali Al-Kholidi dalam kiprah dakwahnya sangat mengutamakan ajaran Tasawuf dan kesufian (Ihsan) dalam rukun agama yang ketiga.
Untuk mengembangkan ajaran ini, Abuya Amran Wali telah mengadakan 10 kali pertemuan para ulama sufi berupa Muzakarah mulai tingkat nasional, Asean hingga internasional, yang belum pernah di laksanakan oleh ulama-ulama lain, termasuk ulama Aceh.
Ulama-ulama yang hadir mengikuti forum Muzakarah ulama mulai dari tanah air hingga mancanegara seperti dari Turki, Tunisia, Iran, Cina, Kamboja, Mesir, Malaysia dan Singapura.
Abuya juga mengangkat aqidah ahlussunah dalam segi keimanan tidak mu’tazilah dan jabariyah. Abuya juga mempelajari fiqh dalam mazhab Syafi’i seperti kitab I’anatutthalibin, Al Mahali dan lainnya serta mengamalkannya secara konsisten (Istiqomah) khusyu’, hudzur hati kepada Allah.
Dalam setiap dakwahnya, masyarakat berbondong-bondong menghadiri dan mendengarkan tausyiah Abuya Amran Wali juga ulama lainnya, kecuali ulama Aceh.
Abuya Prof Muhibuddin Wali seorang ahli fiqh dan ushul fiqh namun beliau tidak mengangkat ajaran Ihsan (tashawwuf kesufian) hingga dikenal sebagai pejabat tinggi negara yaitu anggota DPA dan DPR RI.
“Ulama-ulama yang bercampur dakwahnya antara agama dan negara tidak secara kaffah, tidak semata-mata untuk dapat mencintai Allah dan bersama Allah, maka tidak dapat menjadi pegangan dalam memperjuangkan agama Islam yang kita cintai,” kata Abuya dalam keterangannya yang diterima Waspada di Medan, Selasa (27/8).
Hal ini, jelas Abuya, terlihat dalam keluarga, istri dan anak-anak ulama tersebut, tidak dapat beribadah baik, iman yang kokoh, berakhlak dan tidak dapat gaul dengan Allah dan hamba-hambaNya serta berma’rifat dengan tauhid yang lepas dari kesyirikan serta kenifakan.
Untuk itu harapan Abuya Amran Wali kepada umat Islam di Aceh khususnya agar dapat membuka mata dan hati jangan membanding-bandingkan Abuya Muhibuddin Wali dan Abuya Amran Wali karena keduanya memiliki kelebihan masing-masing.
Abuya Amran Wali Al-Kholidi selepas Muzakarah di Pulau Tidore, Ternate, Luwuk Banggai di Sulawesi Tengah, oleh ulama Sumatera Barat juga mengharapkan Abuya dapat mengisi seminar di Kota-kota yang ada di Sumatera Barat.
“Adapun ulama-ulama Aceh memilah-milah antara anak guru mereka (Abuya Syekh Muhammad Wali Al-Khalidi), apakah itu tidak merupakan suatu kesalahan dalam beradab terhadap guru?,”ujar Abuya bertanya.(m29)