Oleh Feri Irawan, SSi, MPd
Empati sosial yang tumbuh secara signifikan selama Ramadhan menjadi modal penting untuk membangun tim yang kolaboratif dan lingkungan kerja yang sehat
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Libur Ramadhan, libur nasional dan cuti bersama Hari Raya Idulfitri 1446 H telah usai. Anak sekolah dan guru kembali pada kewajibannya, belajar dan mengajar di sekolah. Karyawan swasta dan ASN kembali ngantor. Yang kerja mandiri mulai buka bengkel, warung makan, tempat cukur, dan sebagainya. Banyak orang yang mengalami ‘demotivasi’ setelah melewati masa liburan yang panjang. Bagi sebagian orang, kembali beradaptasi dengan rutinitas kerja bisa menjadi tantangan.
Namun jangan salah, semangat kita untuk kembali menjalani rutinitas harus datang berkali-kali lipat. Setelah sebulan penuh menahan diri, menyederhanakan hidup, serta memperkuat nilai-nilai kejujuran dan empati, individu dihadapkan pada momen kembali ke dunia kerja. Meja kantor, tumpukan laporan, dan agenda yang sempat tertunda menunggu untuk diselesaikan. Kembalinya seseorang ke rutinitas profesional pasca-Idulfitri semestinya membawa nilai-nilai baru yang lebih segar dan bermakna.
Harvard Business Review (2021) mencatat fenomena post-vacation blues yang dialami oleh banyak pekerja di minggu pertama setelah liburan panjang. Semangat kerja cenderung menurun, konsentrasi melemah, dan relasi antar tim belum kembali optimal. Hal ini menunjukkan pentingnya ruang adaptasi dalam sistem kerja pasca-Idulfitri.
Setelah berpuasa dan merayakan lebaran, kehidupan yang dijalani ke depan harus lebih baik dari sebelumnya, baik sikap, karakter, dan pemikiran harus lebih baik lagi dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Ramadhan dan Idulfitri telah membentuk kembali cara pandang terhadap waktu, relasi, dan tanggung jawab. Selama Ramadhan, disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharian. Mengatur jadwal sahur dan berbuka, menjalankan ibadah secara konsisten, dan tetap produktif dalam keterbatasan energi menuntut pengendalian diri yang kuat. Kedisiplinan seperti ini sangat relevan diterapkan dalam dunia kerja, terutama dalam hal manajemen waktu dan tanggung jawab terhadap tugas.
Semangat untuk bekerja dalam posisi apapun, dimanapun dan kapanpun yang diniatkan ibadah akan membentuk karakter kuat dalam bekerja dan membangun kesadaran diri bahwa kita sedang beribadah sekaligus mencari rezeki. Maka pascaRamadhan menjadi momentum intensifnya melaksanakan tugas yang dilakukan baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya.
Sebagai contoh, penting bagi ASN untuk menyesuaikan ritme kerja dengan baik dan memastikan pelayanan masyarakat tetap maksimal setelah libur Panjang. Selama Ramadhan, waktu kerja cenderung lebih pendek, namun pekerjaan tetap berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas lebih ditentukan oleh efektivitas kerja, bukan durasi. Oleh karena itu, kebiasaan budaya kerja yang berlebihan dan mengukur produktivitas hanya dari lamanya waktu di kantor sebaiknya sudah bisa ditinggalkan. Budaya kerja tanpa jeda semestinya tidak lagi menjadi standar keberhasilan, apalagi jika berdampak negatif pada kesehatan mental.
Kembali bekerja setelah momen Ramadhan seharusnya tidak hanya tentang menjalankan tugas administratif, tetapi juga membawa semangat baru dalam etika, kedisiplinan, dan relasi antarmanusia. Rutinitas yang dijalani pun semestinya tidak sekadar kewajiban, tetapi sebagai bagian dari aktualisasi diri. Ramadhan mengajarkan bahwa tindakan sehari-hari bisa memiliki dimensi spiritual, selama dilakukan dengan niat yang benar dan kesadaran penuh. Oleh karena itu, kebiasaan yang melemahkan kualitas kerja sudah saatnya ditinggalkan.
Empati Sosial
Selain itu, empati sosial yang tumbuh secara signifikan selama Ramadhan menjadi modal penting untuk membangun tim yang kolaboratif dan lingkungan kerja yang sehat. Kepedulian terhadap beban kerja rekan, kemampuan mendengarkan, dan komunikasi yang terbuka terbukti menjadi faktor penentu dalam efektivitas organisasi.
Demikian juga hasil latihan integritas selama Ramadhan sangat penting dibawa ke dunia kerja, terutama dalam menghadapi situasi yang menuntut tanggung jawab pribadi tanpa pengawasan langsung. Pekerja yang menjunjung tinggi integritas memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mempertahankan kualitas dan konsistensi kerja dalam jangka panjang.
Idulfitri juga mengajarkan nilai-nilai yang sejalan dengan karakter bangsa, seperti kejujuran, kesederhanaan, kedisiplinan, serta kepedulian terhadap sesama. Demikian juga dengan momen saling memaafkan di Idulfitri dapat diterjemahkan ke dalam pola kerja yang lebih terbuka, jujur, dan kolaboratif. Banyak konflik di tempat kerja bukan berasal dari perbedaan prinsip besar, melainkan dari akumulasi miskomunikasi yang tidak terselesaikan. Momen pasca-Idulfitri bisa menjadi waktu yang tepat untuk memperbaiki pola komunikasi tersebut.
Maka dihari pertama pasca-libur lebaran, kepada seluruh karyawan agar selalu memberikan pintu maaf dan saling memaafkan terhadap sesama terutama teman dalam lingkungan kerja agar tercipta keharmonisan dan kenyamanan dalam bekerja. Makna ini seharusnya menjadi inspirasi kita untuk tetap mempertahankan grafik kualitas dan kuantitas tugas pasca Ramadhan dan Idulfitri. Mengingat dunia kerja modern membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan teknis. Spirit badar pasca-Idulfitri merupakan esensi betapa kolaborasi dan kerjasama harmonis sebagai dream team tangguh.
Dalam konteks kekinian, pasca-Idulfitri diperlukan pribadi yang beriman, bertakwa dan berbudi luhur dengan bercirikan pribadi yang mandiri, kreatif dan bernalar kritis untuk kemaslahatan bangsa. Spirit badar kekinian merupakan komitmen untuk maju bersama dan memberi kemaslahatan bersama. Spirit badar adalah komitmen diri menjadi pembelajar sejati. A long live learner yang memberi maslahat untuk umat
Menjaga Integritas
Tidak bisa diingkari saat ini kita mengalami defisit integritas dalam penyelenggaraan negara. Dampaknya adalah sulitnya membangun negara yang bersih dan tata kelola yang baik (clean and good government). Idulfitri mengajarkan umat Islam untuk selalu jujur dan menjaga integritas dalam setiap aspek kehidupan. Dalam konteks pemerintahan, kejujuran adalah fondasi utama dalam mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Salah satu makna Idulfitri adalah kembali kepada keadaan di mana setiap orang diperlakukan dengan adil dan setara. Dalam clean and good government, keadilan berarti tidak ada diskriminasi dalam pelayanan publik, dan setiap kebijakan yang dibuat harus berpihak kepada kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Jabatan dalam pemerintahan adalah amanah, bukan sekadar posisi untuk mencari keuntungan pribadi. Spirit Idulfitri mengingatkan para pemimpin dan pegawai negeri untuk melaksanakan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab serta mengutamakan kepentingan masyarakat.
Semangat perubahan menuju keadaan yang lebih baik menjadi bagian dari spirit Idulfitri. Hal ini sejalan dengan reformasi birokrasi, di mana pemerintah harus terus berbenah, memperbaiki sistem yang korup, mempercepat layanan publik, dan memastikan birokrasi berjalan dengan profesionalisme tinggi.
Islam mendorong reformasi birokrasi yang berkelanjutan dengan prinsip keadilan, amanah, efisiensi, dan profesionalisme. Dalam konteks Indonesia, seharusnya kita mampu dan dapat terus berkembang dengan menerapkan nilai-nilai ini untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan berpihak kepada rakyat. Clean and good government hanya bisa terwujud jika nilai-nilai kejujuran, keadilan, amanah, transparansi, kebersamaan, dan reformasi terus diterapkan dalam pemerintahan. Spirit Idul-fitri adalah momentum untuk mengoreksi diri, membersihkan hati, dan memperbaiki sistem, sehingga pemerintah dapat berfungsi secara optimal demi kesejahteraan rakyat.
Penulis adalah Kepala SMK Negeri 1 Jeunieb Kabupaten Bireuen