Kampanye “Adil dan Berimbang” Antisipasi Peluang Terjadinya Black Campaign dalam Pemilihan Kepala Daerah

  • Bagikan
Kampanye "Adil dan Berimbang" Antisipasi Peluang Terjadinya Black Campaign dalam Pemilihan Kepala Daerah

Oleh : Yos A Tarigan, SH, MH

PILKADA pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.

Pemilihan Umum baik Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bunyi dari Pasal 22E ayat 1 UUD 1945, yaitu “(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali.”

Adil dan berimbang merupakan nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, yaitu sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab yang berarti mengakui persamaan hak, kewajiban, dan harkat martabat manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menumbuhkan sikap toleransi dan saling menghargai, berani membela kebenaran dan keadilan, menghormati hak asasi manusia, dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan.
Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dimaknai dengan berlaku adil kepada semua orang tanpa diskriminasi, menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, menghormati hak-hak orang lain, menghargai hasil karya orang lain, membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan, tidak mengembangkan sikap egois, mendengarkan dan menerima pendapat orang lain, dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat umum.

Proses penyelenggaraan pilkada mengalami beberapa perbaikan mengikuti perubahan UU yang mendasarinya. Pilkada Serentak 9 Desember 2020 merupakan sejarah demokrasi pada masa pandemi Covid-19. Pilkada telah menjadi sarana untuk memilih pemimpin daerah yang diharapkan berkualitas. Pilkada serentak 2024 dilaksanakan di 545 daerah meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Dalam tahapannya, kampanye menjadi salah satu bagian dari tahapan yang paling rawan dengan kampanye hitam atau black campaign. Kampanye menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu, ditegaskan bahwa Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.
Namun dalam teorinya Kampanye merupakan kegiatan yang terorganisir dan sistematis dalam rangka mendorong masyarakat melakukan sesuatu yang diinginkan dengan memanfaatkan metode dan media tertentu. Dengan demikian, dalam konteks pemilu, kampanye adalah kegiatan peserta pemilu untuk mendorong masyarakat agar berpihak kepada peserta pemilu yang melakukan kampanye.

Kampanye dimaksudkan sebagai upaya untuk menggugah kesadaran dan pendapat masyarakat terhadap isu dan kandidat tertentu. Konkretnya, tujuan kampanye pemilu untuk menyandera kesadaran politik masyarakat agar partai atau kandidat yang dikampanyekan mendapat citra positif dan meraih simpati di tengah-tengah masyarakat.

Kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu sekarang ini masih jauh dari harapan fungsi kampanye di atas. Bahkan cara maupun bentuk kampanye peserta pemilu hari ini terus menjauh dari keadaban, baik secara etika maupun estetika.

Masalah tersebut merupakan akumulasi kompleksitas regulasi dan metode kampanye pemilu yang tersedia. Dimana, setiap kontestan dan partai pendukungnya akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi untuk mengampanyekan calon yang diusung, apakah cara yang mereka usung cenderung negatif atau positif, urusan menilainya diserahkan kepada netizen atau dalam konteks ini adalah masyarakat sebagai pemilih.

Peserta Pilkada pada era saat ini seakan lebih menonjolkan iklan kampanye melalui media pajangan seperti baliho, umbul-umbul, poster dan sejenisnya. Media tersebut memang dapat memuat citra positif partai dan citra positif pasangan calon. Namun media pajangan ini tidak memuat visi-misi peserta pemilu secara utuh.

Lebih parah lagi, isi pesan kampanye umumnya bernada seragam, desain gambar calon, motto yang bombastis, spesimen surat suara yang memuat lambang partai dan nama calon, kata-kata “Mohon Doa dan Dukungan”. Nyaris tidak ada iklan kampanye media pajangan tersebut dimanfaatkan secara optimal untuk menyajikan visi-misi dan program partai atau calon yang diusung.

Lebih dari itu, peserta pemilu sangat minim untuk melakukan kampanye dialogis atau tatap muka dengan masyarakat calon pemilih. Kalau pun ada, hanya partai yang mempunyai ketersediaan dana yang besar mau melakukannya.

Antisipasi Berita Hoax

Karena keterbatasan dana kampanye, belakangan ini banyak pasangan calon yang beralih ke platform media sosial yang dianggap paling cepat direspon dan pesan yang disampaikan lebih ‘kencang’ larinya dan bisa dalam hitungan detik saja sudah tersebar ke jutaan orang.

Yang menjadi permasalahan, dengan masuknya para calon kepala daerah ke ranah media sosial ini, menjadi peluang bagi pasangan lain untuk mencarikan sisi lain dan sisi negatif pasangan calon lain yang menjadi lawan politik. Bahkan, sarana media sosial yang paling simpel dan mudah digunakan justru menjadi lahan subur munculnya Kampanye Hitam (black campaign) yang umum juga disebut dengan kampanye negatif.

Kebanyakan dari materi kampanye negatif ini menyampaikan informasi hoax (yang kalau dibaca sekilas seperti benar) hanya untuk menurunkan atau memengaruhi minat serta partisipasi pemilih dalam melihat keberadaan salah satu calon. Kampanye hitam ini umumnya didominasi oleh buzzer atau netizen dengan mengunakan nama/akun anonim atau nama samaran.

Kampanye yang dilaksanakan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sejak tahun 2015, berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya. Salah satunya adalah peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada dalam memfasilitasi pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) dan penayangan iklan kampanye di media cetak dan elektronik.

Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan prinsip kampanye pilkada yang adil dan berimbang antara pasangan calon yang satu dengan pasangan calon lainnya sebagai peserta atau kontestan dalam agenda pilkada yang digelar sekali dalam lima tahun.

Kampanye di media cetak dan elektronik yang difasilitasi KPU disarankan dilakukan pada masa kampanye tidak terbatas 14 hari saja. Waktu kampanye tersebut harus bisa dioptimalkan untuk membangun equaltreatment, semua mempunyai porsi yang sama.

Sejatinya pasangan calon peserta pilkada jangan terpaku pada alat peraga kampanye dan iklan yang seharusnya juga dibiayai oleh KPU jangan dari partai dan calon karena akan tidak adil, dan diharapkan calon lebih sering turun menyapa masyarakat secara langsung.

Debat pasangan calon yang difasilitasi KPU juga harus lebih profesional, terutama dalam menyiapkan pertanyaan serta materi penyampaian visi misi masing-masing pasangan calon. Debat ini terkadang menjadi ajang saling menjatuhkan dan mencari keburukan pasangan lain. Akan lebih baik kalau polanya diubah dengan penyampaian visi misi yang maksimal, menyampaikan pertanyaan yang masih dalam koridor yang tepat dan tidak menyimpang kemana-mana.

Aturan Mainnya Harus Jelas

KPU sebagai penanggungjawab dan penyelenggara harus tegas dalam membuat aturan mainnya agar semua pasangan calon menunjukkan keunggulan visi misinya, bukan membuka aib atau keburukan pasangan lainnya.

Terkait dengan masa kampanye, apabila ada yang melakukan kampanye di media apa pun dan berada diluar masa kampanye, itu jelas pelanggaran. Contohnya soal iklan ucapan selamat, itu tidak boleh, karena dikhawatirkan ada kecemburuan dan ketimpangan, ini tidak equaltreatment. Hal ini juga belum dapat difasilitasi KPU.

Untuk pengawasan kampanye di media penyiaran hendaknya dilakukan kesepahaman antara KPU, Bawaslu, dan KPI baik di tingkat pusat sampai didaerah dengan semangat dan aktifitas yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini sangat penting, karena banyak permasalahan yang muncul di daerah, misalnya soal ijin lembaga penyiaran dan radio komunitas.

Mengenai ijin penyiaran, kewenangan KPI yang memberikan ijin, dan hal itu yang menjadi pedoman KPU dalam bekerjasama dengan lembaga penyiaran berijin tersebut.

Sejatinya, agar pemimpin yang nantinya dipilih oleh masyarakat benar-benar menjadi pemimpin yang melayani dan bukan pemimpin yang minta dilayani diperlukan aturan terkait soal pelanggaran, khusus untuk pelanggaran administratif itu bisa ke KPU, dan sanksi terberat adalah pembatalan peserta pilkada. Termasuk pada masa tenang, media cetak dan elektronik dilarang menyiarkan rekam jejak paslon yang bisa merugikan pasangan lain.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kampanye dilakukan dengan prinsip adil dan berimbang dimana kesemuanya difasilitasi dan dianggarkan oleh KPU, bukan dari partai atau calon peserta pemilu karena tidak semua peserta atau pasangan calon yang akan maju memiliki kemampuan dana yang banyak dan ini merupakan peluang tidak terjadinya kegiatan black campaign di media sosial pada pemilu kepala daerah.

Karena, dengan ketersediaan anggaran yang dianggarkan oleh KPU sebagai penyelenggara Pilkada, maka semuanya akan terlaksana secara adil dan berimbang. Sehingga tercapailah tujuan kampanye pemilu yang merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat, yang mana semestinya informasi yang disebarluaskan oleh peserta pemilu adalah informasi yang positif.
Kampanye tentang harapan dan rancangan masa depan yang ingin diwujudkan di negara ini bukan dibuat dengan cara-cara yang serba praktis dan dibumbui dengan ‘berita-berita hoax’ yang diharapkan dapat melemahkan calon lain.

Kampanye hitam seperti yang diulas dalam tulisan ini tidak akan terjadi apabila KPU benar-benar bertanggungjawab menjadi penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah seutuhnya.

Yang paling penting dalam proses pelaksanaanya, pemerintah atau calon petahana yang sudah pernah menjabat dan memiliki ‘pengaruh’ harus berjiwa besar dan transparan dalam berlaga di lapangan terbuka. Jangan ada dusta diantara kita, dan jangan ada upaya-upaya negatif yang tiba-tiba muncul hanya untuk melemahkan pasangan calon lainnya.

Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Kampanye "Adil dan Berimbang" Antisipasi Peluang Terjadinya Black Campaign dalam Pemilihan Kepala Daerah

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *