Psikologi Swasembada: Tantangan Mental Petani

  • Bagikan
Psikologi Swasembada: Tantangan Mental Petani
medcom

Oleh Andri Saputra Lubis, S.Psi., M.Psi.

Pertanian bukan hanya tentang produksi pangan, tetapi juga tentang manusia yang mengelolanya. Jika kita serius ingin mencapai swasembada pangan, maka kesejahteraan mental petani harus menjadi bagian integral dari kebijakan

Pertanian bukan sekadar urusan produksi pangan; sektor ini merupakan pilar utama dalam menopang ekonomi dan kestabilan sosial. Namun, di balik keberlanjutan pertanian, terdapat aspek psikologis yang sering diabaikan, yakni kesejahteraan mental petani. Wacana swasembada pangan kerap berpusat pada kebijakan teknis dan peningkatan produktivitas, namun kurang memperhatikan dimensi psikologis yang menjadi elemen penting bagi keberhasilan inisiatif ini.

Presiden Prabowo Subianto mencanangkan program swasembada pangan dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Program yang tergolong ambisius, namun yang menjadi pertanyaan: apakah ekosistem pertanian kita cukup siap untuk menanggung beban ini? Di luar infrastruktur dan teknologi, aspek mental para petani juga harus diperhatikan. Tekanan kerja yang tinggi, ketidakpastian panen akibat perubahan iklim, serta kondisi ekonomi yang tidak stabil menjadikan petani berada dalam situasi psikologis yang rentan.

Krisis: Tekanan Mental Petani

Kondisi pertanian di Indonesia dipengaruhi oleh faktor teknis serta tekanan eksternal lainnya. Perubahan iklim ekstrem mengancam stabilitas produksi, sementara distribusi subsidi yang tidak merata menambah beban bagi petani kecil. Selain itu, konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan properti semakin mengikis kesejahteraan petani, memaksa mereka berhadapan dengan ketidakpastian ekonomi yang berdampak langsung pada kondisi psikologis mereka.

Dari sudut pandang psikologi lingkungan, petani menghadapi tekanan besar akibat faktor alam yang berada di luar kendali mereka. Risiko gagal panen karena cuaca ekstrem atau serangan hama dapat menimbulkan kecemasan berkepanjangan, yang dalam jangka panjang bisa mengarah pada gangguan kesehatan mental seperti stres bahkan depresi. Ironisnya, akses petani terhadap layanan kesehatan mental masih sangat terbatas, sehingga banyak dari mereka terpaksa mengatasi tekanan ini tanpa dukungan profesional.

Selain itu, kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental di kalangan petani memperburuk situasi. Banyak petani tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang dampak psikologis dari tekanan kerja yang terus-menerus, sehingga cenderung mengabaikan gejala awal stres atau depresi. Akibatnya, produktivitas pertanian bisa menurun karena petani tidak berada dalam kondisi mental yang optimal untuk mengelola usaha pertanian mereka dengan baik.

Dampak Modernisasi

Modernisasi pertanian memang meningkatkan efisiensi produksi, namun juga membawa perubahan sosial yang signifikan. Mekanisasi dan digitalisasi pertanian menggeser pola kerja dan interaksi sosial di pedesaan. Banyak generasi muda yang lebih memilih pekerjaan di sektor industri dan jasa ketimbang meneruskan profesi sebagai petani, sehingga menimbulkan krisis regenerasi tenaga kerja pertanian.

Dari perspektif psikologi sosial, pergeseran ini memunculkan ketegangan antar-generasi. Petani senior yang masih mempertahankan metode konvensional kerap berbenturan dengan kaum muda yang lebih terbuka terhadap teknologi pertanian. Tanpa adanya dukungan psikososial yang memadai, kesenjangan ini dapat menghambat adopsi teknologi baru yang seharusnya mendukung keberlanjutan pertanian.

Lebih jauh, perubahan ini juga memunculkan masalah sosial yang lebih luas, seperti berkurangnya solidaritas di antara komunitas petani akibat sistem pertanian yang semakin individualistis. Sebagian petani tua menghadapi perasaan keterasingan dan kehilangan identitas, karena cara-cara bertani yang mereka anut semakin ditinggalkan. Sementara itu, petani muda yang ingin menerapkan teknologi baru sering kali menghadapi resistensi dari komunitasnya sendiri, yang masih skeptis terhadap perubahan.

Ketahanan Mental

Ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada kebijakan dan teknologi, tetapi juga kesiapan mental petani. Faktor psikologis seperti persepsi terhadap risiko, kemampuan beradaptasi, dan ketahanan mental berperan besar dalam menentukan keberhasilan sektor ini. Misalnya, meskipun inovasi teknologi dapat meningkatkan produksi, banyak petani masih enggan mengadopsinya akibat ketakutan akan kegagalan yang berasal dari pengalaman sebelumnya.

Dari sudut pandang psikologi ekonomi dan perilaku, keputusan petani dalam mengelola lahan dan sumber daya mereka sangat dipengaruhi oleh aspek emosional dan sosial. Oleh sebab itu, kebijakan yang efektif tidak cukup hanya menyediakan akses terhadap teknologi dan modal, tetapi juga harus mendukung kesejahteraan mental mereka melalui edukasi psikologis dan jaringan sosial yang kuat.

Integrasi Ilmu Psikologi

Beberapa negara telah mengintegrasikan ilmu psikologi dalam kebijakan pertanian guna meningkatkan kesejahteraan mental petani. Di Jepang misalnya, konsep “Nōgyō Seikatsu Shien” diterapkan untuk memberikan dukungan psikologis bagi petani melalui komunitas dan teknologi berbasis mental health support. Program ini dirancang untuk membantu petani menghadapi tekanan mental yang muncul akibat fluktuasi harga pasar, ketidakpastian cuaca, serta tuntutan kerja yang tinggi.

Dalam implementasinya, Nōgyō Seikatsu Shien melibatkan komunitas lokal dan teknologi digital untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental petani. Misalnya, terdapat platform daring dan pusat komunitas yang memungkinkan petani berbagi pengalaman dengan petani lain, strategi koping, serta mendapatkan akses ke layanan konseling dan pelatihan psikologis. Selain itu, pemerintah Jepang juga memasukkan unsur psikologi dalam program penyuluhan pertanian. Para petani tidak hanya diajarkan teknik pertanian modern, tetapi juga diberikan pelatihan dalam manajemen stres dan ketahanan mental. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka sehingga mereka dapat lebih adaptif terhadap perubahan dan tantangan sektor pertanian. Dengan adanya Nōgyō Seikatsu Shien, Jepang telah membuktikan bahwa sektor pertanian tidak hanya membutuhkan inovasi teknologi dan kebijakan ekonomi, tetapi juga perhatian terhadap aspek mental petani.

Sementara itu, di Australia, pendekatan “Rural Resilience Program” dirancang untuk meningkatkan ketahanan mental petani dalam menghadapi tantangan sektor pertanian, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim, volatilitas harga pasar, dan tekanan ekonomi. Program ini memberikan berbagai bentuk dukungan, termasuk akses ke layanan konseling psikologis, pelatihan manajemen stres, serta pendidikan tentang kesejahteraan mental bagi petani dan komunitas pedesaan.

Salah satu aspek utama dari Rural Resilience Program adalah penyuluhan berbasis komunitas yang menekankan pentingnya kesejahteraan psikologis bagi petani. Melalui lokakarya dan sesi dukungan kelompok, para petani dapat berbagi pengalaman dan belajar strategi untuk mengelola stres dan ketidakpastian dalam pekerjaan mereka. Selain itu, program ini juga menghubungkan petani dengan layanan profesional, termasuk psikolog yang memiliki pemahaman tentang tantangan unik yang dihadapi oleh pekerja di sektor pertanian.

Program ini telah berhasil membantu banyak petani di Australia dalam meningkatkan resiliensi mental mereka, yang pada akhirnya berkontribusi pada keberlanjutan sektor pertanian. Dengan menempatkan kesejahteraan psikologis sebagai salah satu prioritas, Australia menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada kebijakan ekonomi dan teknologi, tetapi juga pada kesiapan mental para petani dalam menghadapi tantangan masa depan.

Di Belanda, konsep “AgriPsychology” mulai diterapkan dalam sistem pendidikan pertanian, di mana petani diajarkan teknik psikologi positif dan strategi adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Pendekatan ini terbukti efektif dalam meningkatkan motivasi kerja petani dan mengurangi tingkat depresi akibat tekanan ekonomi. Pendekatan ini menggabungkan prinsip-prinsip psikologi dengan pertanian guna meningkatkan kesejahteraan mental petani dan keberlanjutan sektor pertanian. Konsep ini diterapkan dalam sistem pendidikan pertanian dan program pendampingan bagi petani, di mana mereka diajarkan teknik psikologi positif seperti manajemen stres, strategi adaptasi terhadap perubahan lingkungan, serta cara meningkatkan resiliensi mental dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan iklim.

AgriPsychology juga berperan dalam membantu petani mengatasi tekanan akibat tuntutan ekonomi global serta perubahan sosial yang menggeser peran tradisional petani. Program ini mengkombinasikan pendekatan psikologi komunitas dengan kebijakan agrikultur berbasis keberlanjutan, sehingga petani tidak hanya lebih siap secara teknis, tetapi juga memiliki ketahanan mental yang lebih baik. Melalui program ini, pemerintah dan institusi pendidikan di Belanda menekankan bahwa keberhasilan sektor pertanian tidak hanya bergantung pada inovasi teknologi, tetapi juga pada kesejahteraan mental petani. Dengan memberikan dukungan psikologis yang sistematis, petani dapat lebih adaptif terhadap perubahan, memiliki motivasi lebih tinggi, serta mampu menjalankan usaha pertanian dengan lebih produktif dan berkelanjutan.

Kebijakan Berbasis Psikologi

Pemerintah Indonesia juga perlu memasukkan aspek psikologi dalam perumusan kebijakan pertanian. Penyuluhan tidak hanya berfokus pada teknik budidaya, tetapi juga harus mencakup strategi pengelolaan stres dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan mental bagi petani harus diperluas, baik melalui edukasi berbasis komunitas maupun program intervensi psikologis yang mudah dijangkau.

Pendekatan psikologi komunitas dapat memperkuat solidaritas sosial di kalangan petani, sehingga mereka memiliki dukungan yang lebih baik dalam menghadapi tantangan pertanian modern. Contoh dari Jepang, Australia, dan Belanda menunjukkan bahwa kebijakan pertanian yang mempertimbangkan aspek psikologi dapat memberikan dampak positif yang signifikan. Indonesia dapat menerapkan pendekatan serupa dengan mengembangkan program pendampingan mental berbasis komunitas, penyuluhan psikologis yang menyesuaikan dengan kondisi petani, serta membangun sistem dukungan sosial yang kuat.

Gotong royong, kerja sama antarpetani, serta distribusi hasil pertanian yang adil dapat menjadi strategi untuk mengurangi tekanan psikologis dan meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan mengadaptasi model dari negara lain, Indonesia dapat menciptakan ekosistem pertanian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Karena pertanian bukan hanya tentang produksi pangan, tetapi juga tentang manusia yang mengelolanya. Jika kita serius ingin mencapai swasembada pangan, maka kesejahteraan mental petani harus menjadi bagian integral dari kebijakan pertanian yang berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan aspek psikologi dalam kebijakan pertanian, kita tidak hanya memastikan ketahanan pangan nasional, tetapi juga menciptakan ekosistem pertanian yang lebih sehat, inklusif, dan berdaya saing.

Penulis adalah Mahasiswa Doktoral UIN Sumatera Utara.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Psikologi Swasembada: Tantangan Mental Petani

Psikologi Swasembada: Tantangan Mental Petani

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *