BLANGPIDIE (Waspada): Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA), mengingatkan kepada Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya, agar tidak mendhalimi hak-hak warga, yang terdampak dari rencana pembangunan duplikat jembatan Krueng Baru, perbatasan antara Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), dengan Kabupaten Aceh Selatan, yang nantinya berujung pada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Di mana, imbas dari pembangunan jembatan duplikat tersebut, sejumlah tanah dan bangunan milik penduduk dalam dua desa terpisah, ikut terdampak dan mesti dilakukan ganti rugi. Masing-masing, tanah dan bangunan milik penduduk kawasan Desa Kuta Trieng, Kecamatan Labuhan Haji Barat, Kabupaten Aceh Selatan, juga tanah dan bangunan milik penduduk di kawasan Desa Kayee Aceh, Kecamatan Lembah Sabil, Abdya.
Ketua Yayasan SaKA Miswar SH MH, kepada Waspada Senin (3/3) mengungkapkan, sejauh ini pihaknya sudah menyerap banyak informasi, terkait dugaan adanya permainan gaya mafia, dalam proyek ganti rugi tanah dan bangunan milik penduduk. Sehingga, berakibat pada ketidakadilan dalam pembebasan lahan untuk proyek pembangunan duplikat jembatan Krueng Baru tersebut. “Hal ini sangat dikeluhkan oleh para pemilik lahan dan bangunan. Ganti rugi yang ditawarkan jauh di bawah harga wajar. Akibatnya, jangankan untuk kembali membangun rumah, untuk membeli tanah pengganti pun tidak mencukupi,” ungkap Miswar, sesuai hasil penelusurannya.
Menurut Miswar, para penduduk baik yang masuk wilayah Abdya maupun yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Selatan, pada dasarnya tidak menolak proses pembangunan duplikat jembatan dimaksud, bahkan sangat mendukung. Hanya saja, para penduduk mempertahankan hak-hak mereka yang dianggap dirampas paksa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan mengatasnamakan Pemerintah, melalui Konsultan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
“Harga yang diberikan KJPP tidak mencerminkan nilai pasar. Proses negosiasi juga tidak dilakukan. Para penduduk tidak menolak pembangunan jembatan, tapi hak mereka juga harus diperhatikan. Uang ganti rugi yang ditawarkan, untuk membeli tanah lokasi membangun rumah pengganti pun tidak cukup,” sesal Miswar.
Lawyer muda ini mendesak pemerintah agar meninjau ulang skema pembebasan lahan. Karena katanya, konstitusi menjamin hak setiap warga Negara, atas tempat tinggal yang layak. Jika kompensasi tidak memenuhi standar keadilan, dipastikan hal itu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Dalam proses pembebasan ini, diduga adanya pelanggaran dalam proses appraisal lahan. Dimana, nilai tanah yang ditetapkan oleh pemerintah dinilai tidak sesuai dengan harga pasaran. Harus ada audit independen terhadap proses penilaian tersebut. Kami menuntut transparansi,” tegas Miswar.
Diberitakan Waspada sebelumnya, proses ganti rugi lahan milik masyarakat yang terdampak dari rencana pembangunan duplikat jembatan lintas nasional, diatas badan sungai Krueng Baru, diduga bermasalaah. Bahkan, terkesan mendhalimi penduduk sekitar.
Di mana, nilai harga ganti rugi terlalu rendah ditetapkan oleh Konsultan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), yang disampaikan kepada warga pemilik lahan dan bangunan rumah yang terdampak, dalam pertemuan di kantor Camat Lembah Sabil, beberapa waktu lalu. KJPP juga dinilai tidak profesional dalam menghitung ganti rugi tanah dan bangunan warga. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembayaran pembayaran lebih tinggi terhadap tanah kosong milik warga. Sedangkan tanah yang ada bangunan, dibayar lebih rendah.(b21)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.