BLANGPIDIE (Waspada): Proses ganti rugi lahan milik masyarakat yang terdampak dari rencana pembangunan duplikat jembatan lintas nasional, diatas badan sungai Krueng Baru, yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), dengan Kabupaten Aceh Selatan, diduga bermasalaah. Bahkan, terkesan menzalimi penduduk sekitar.
Dimana, informasi diterima Waspada Rabu (26/2) menyebutkan, nilai harga ganti rugi terlalu rendah ditetapkan oleh Konsultan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), yang disampaikan kepada warga pemilik lahan dan bangunan rumah yang terdampak, dalam pertemuan di kantor Camat Lembah Sabil, beberapa waktu lalu. “Harga ganti rugi tanah dan bangunan terlalu rendah, jauh dari layak,” sesal salah seorang warga Krueng Baru, Desa Kayee Aceh, Kecamatan Lembah Sabil, yang tanah dan rumahnya terkena dampak rencana pembangunan duplikat jembatan.
Dicontohkan, rumahnya yang puluhan tahun sudah ditempati dan merupakan rumah permanen, jika dihitung dengan luas tanah lokasi rumah, ditaksir berkisar Rp190 juta. Namun, oleh KJPP dibayar hanya sebesar Rp59 juta. Harga itu dibayar untuk bangunan rumah, tanaman dan kerugian non fisik lainnya. “Ini apa namanya kalau bukan menzalimi rakyat kecil. Kami bukan menempati tanah ilegal. Ini sah hak milik kami, bersertifikat yang dikeluarkan oleh Negara,” katanya.

Demikian juga yang dialami Yusnaini, warga Desa Kayee Aceh lainnya yang ikut terimbas. Rumah permanen miliknya berikut tanaman dan kerugian non fisik lainnya, hanya dihargai sebesar Rp125 juta. Sementara taksiran kerugian yang dialami pihaknya (tanah, bangunan rumah, tanaman dan lainnya) di atas Rp300 juta.
Contoh lainnya, bangunan rumah, tanaman dan kerugian non fisik lainnya milik Riana, warga Desa Kayee Aceh lainnya, hanya dihargai sebesar Rp97 juta. Sementara taksiran kerugian yang dialaminya imbas dari rencana pembangunan duplikat jembatan Krueng Baru tersebut berkisar Rp250 juta.
KJPP juga dinilai tidak professional dalam menghitung ganti rugi tahan dan bangunan warga. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembayaran terhadap tanah kosong milik warga yang tidak ada bangunan sama sekali. Tanah kosong tersebut katanya, juga tidak luas, bahkan lebih sempit dibandingkan dengan tanah lokasi bangunan rumah miliknya. Namun, pihak KJPP malah membayar tanah kosong itu lebih tinggi senilai Rp60 juta.”Kami menduga, ada oknum-oknum mafia yang menyusup dalam proyek ganti rugi ini,” sebutnya.
Menurutnya, para warga pemilik tanah dan bangunan yang terdampak dari rencana pembangunan duplikat jembatan Krueng Baru tersebut, sepakat untuk memperjuangkan hak mereka, untuk mendapatkan nilai harga ganti rugi yang sesuai dan layak. “Kami sangat berharap dukungan dari semua kalangan, terutama kepada Pemerintah, juga kawan-kawan aktivis hukum, agar kami rakyat kecil tidak dizalimi,” harapnya.
Diuraikan, dari awal rencana pembebasan lahan memang sudah beraroma tidak sedap. Dimana, rencana proses ganti rugi tersebut sangat tertutup dan tanpa musyawarah dengan melibatkan para warga pemilik tanah dan bangunan. “Memang ada beberapa kali pertemuan dilaksanakan dengan pihak pelaksana yang berwenang. Namun, dalam pertemuan itu tidak pernah membahas masalah penetapan harga. “Para warga pemilih tanah dan bangunan tiba-tiba diundang ke pertemuan di kantor Camat Lembah Sabil, untuk menerima hasil penilaian dan penetapan harga. Cara penyampaiannya pun sangat aneh dan terkesan ditutup-tutupi. Tentu saja kami tidak terima dan komplain, karena tidak memenuhi rasa keadilan,” sesalnya.
Parahnya lagi, ganti rugi yang ditetapkan berdasarkan hasil KJPP tersebut diduga melibatkan oknum pejabat teras Abdya, dalam hal ini Kadis Pertanahan Abdya. Dimana, oknum Kadis itu tidak mengakui keabsahan dokumen sertifikat hak milik para warga. Sehingga, berimbas pada hasil penilaian yang dilakukan KJPP, dengan penetapan harga ganti rugi yang mendhalimi hak-hak rakyat kecil. “Beliau (oknum Kadis) yang keras sekali bicaranya, tidak mengakui sertifikat kami. Apa dasarnya?. Padahal, sertifikat itu merupakan produk Negara,” ujarnya.
Kadis Pertanahan Abdya Rizal SMn, dimintai tanggapannya terpisah mengatakan, terkait ganti rugi yang membutuhkan tanah dari Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kementrian PUPR Provinsi Aceh sudah dilakukan penilaian. Katanya, pihaknya bukannya tidak mengaku status tanah dengan alas hak sertifikat tersebut, akan tetapi sesuai informasi yang diterima dilapangan dari aparatur desa setempat, juga ada dokumen berupa sertifikat dari BPN, batasnya ada dengan tanah PU. “Kami hanya menjelaskan apa yang didapat di lapangan. Bukan tidak mengakui, tapi menjelaskan. Kami bertugas karena diminta bantu fasilitasi. Tidak ada tujuan mendhalimi warga. Tidak ada untungnya bagi kami. Mengenai keberatan, silakan hubungi langsung pihak BPJN atau ajukan keberatan,” jelasnya.
Sementara itu, Pejabat Pembuat Komitmen pada Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Aceh, Ardian, dimintai keterangannya melalui saluran WhatsApp, hingga berita ini diturunkan, belum memberi klarifikasi.(b21)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.