Membangun Kurikulum Cinta Di Era Web 3.0

  • Bagikan
Membangun Kurikulum Cinta Di Era Web 3.0

Oleh Tuan M Yoserizal Saragih S.Ag., M.Ikom

Era Web 3.0  adalah istilah untuk menyebut internet generasi ketiga yang mendukung teknologi terdesentralisasi dan menekankan pada keamanan, privasi, dan kontrol pengguna yang lebih besar terhadap data mereka.

Era baru internet yang menggunakan teknologi digital yang berfungsi untuk mencatat dan menyimpan data secara aman dalam jaringan terdistribusi (blockchain) dan dikenal sebagai generasi ketiga dari World Wide Web (WWW) itu membawa transformasi besar dalam pola interaksi manusia, termasuk dalam praktik keagamaan dan moderasinya di ruang digital.

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kini berperan dalam menyaring konten keagamaan, mengelola diskursus publik, bahkan membentuk pemahaman kolektif tentang agama. 

Namun, ada tantangan besar: sejauh mana AI dapat menyeimbangkan antara kebebasan beragama dan pencegahan ekstremisme?

Bagaimana memastikan bahwa algoritma moderasi tidak terjebak dalam bias atau dikendalikan oleh kepentingan tertentu?

Keberadaan AI dalam moderasi beragama sering kali menghadapi dilema etis. Algoritma yang terlalu kaku berisiko menghapus konten yang sah, sementara algoritma yang terlalu longgar berpotensi membiarkan ujaran kebencian berkembang. 

Di sinilah perlunya pendekatan yang lebih mendalam—Quantum Ethics, sebuah paradigma etika yang tidak hanya melihat benar-salah secara sistem numerik yang hanya menggunakan dua digit, 0 dan 1 (biner), tetapi memahami kompleksitas dan konteks dalam realitas digital.

Membaca Keberagaman Dengan AI

Dalam konsep Quantum Ethics, etika tidak dilihat sebagai sistem nilai yang statis, melainkan sebagai spektrum yang beradaptasi dengan konteks sosial, budaya, dan spiritual. 

AI yang berbasis Quantum Ethics tidak sekadar menilai kata-kata dalam suatu teks, tetapi memahami intensi, emosi, dan nuansa budaya dari setiap interaksi keagamaan di dunia digital.

Bayangkan sebuah sistem AI yang tidak hanya mendeteksi ujaran kebencian secara literal, tetapi juga mampu memahami makna historis dan kontekstualnya. 

Misalnya, dalam perdebatan teologis, kritik terhadap suatu pandangan bisa saja dianggap “berbahaya” oleh AI konvensional, padahal dalam tradisi keilmuan Islam atau filsafat Barat, kritik justru menjadi bagian dari diskursus yang sehat. 

AI yang berlandaskan Quantum Ethics mampu membedakan mana kritik yang konstruktif dan mana yang destruktif, sehingga tidak serta-merta membungkam kebebasan berpikir.

Pendidikan Moderasi Dalam Ekosistem Digital

Menteri Agama  Prof Dr Kyai H Nasaruddin Umar MA, telah mengkaji dan mencanangkan Kurikulum Cinta yang bakal diterapkan di lingkungan pendidikan, yang bertujuan untuk meningkatkan toleransi dan memperkuat solidaritas antarumat beragama.

Saat diwawancarai oleh awak media di Asrama Haji Embarkasi Makassar, usai Temu Tokoh Agama dan Pembinaan ASN Kemenag Sulawesi Selatan, Jumat 10 Januari 2025 lalu, Menteri Agama Prof Nasaruddin, menekankan bahwa kerukunan umat beragama adalah nilai jual utama Indonesia di mata dunia internasional.

Karenanya, untuk mengarah ke sana, salah satunya dibutuhkan berbagai langkah, termasuk Kurikulum Cinta yang dapat diimplementasikan melalui berbagai gerakan dan program, seperti dialog lintas iman, kegiatan sosial bersama, dan kampanye perdamaian.

Konsep ini menekankan pendidikan berbasis kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Nilai ini harus menjadi bagian utama dalam sistem pendidikan kita, baik di lembaga formal maupun lingkungan sosial dan keluarga, termasuk kehidupan di pondok pesantren (ponpes).

Hemat penulis, di sinilah pentingnya Kurikulum Cinta sebagai respons terhadap tantangan digitalisasi moderasi beragama atau konsep menjaga kerukunan umat beragama di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.

Kurikulum ini tidak hanya mengajarkan ajaran agama yang damai, tetapi juga bagaimana memahami algoritma digital, cara kerja AI dalam moderasi konten, dan bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam membentuk kebijakan digital yang lebih adil.

Empat Poin Utama

1. Literasi Digital dan AI – Memahami bagaimana algoritma bekerja dalam menyaring dan memoderasi konten keagamaan, serta bagaimana bisa dapat muncul dalam teknologi ini.

2. Etika Moderasi Beragama – Mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dalam ruang digital agar AI tidak menjadi alat diskriminasi atau represi keagamaan.

3. Dialog Lintas Iman di Ruang Digital – Membentuk ekosistem online yang berbasis dialog konstruktif, bukan hanya sensor dan penghapusan.

4. Kesadaran Quantum Ethics – Mendorong penggunaan AI yang tidak hanya berdasarkan perintah mekanistik, tetapi juga mempertimbangkan dimensi manusiawi dalam memahami agama dan kebudayaan.

Kurikulum ini bukan hanya untuk institusi pendidikan formal, tetapi juga untuk komunitas digital, influencer keagamaan, dan pembuat kebijakan.

Tantangan Masa Depan

Era Web 3.0 yang berbasis desentralisasi membuka peluang untuk menciptakan sistem moderasi yang lebih demokratis.

Dengan teknologi blockchain, misalnya, proses moderasi bisa dilakukan secara lebih transparan, tidak hanya dikendalikan oleh segelintir platform raksasa. 

AI yang lebih cerdas dan berbasis Quantum Ethics dapat dikembangkan dalam model open-source, di mana berbagai komunitas agama dapat berkontribusi dalam membangun algoritma yang lebih inklusif.

Namun, tantangannya tetap besar. Di satu sisi, teknologi ini bisa menjadi alat yang memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan harmoni sosial, tetapi di sisi lain, jika tidak dikawal dengan baik, bisa menjadi “senjata baru” dalam perang informasi dan polarisasi sosial. 

Oleh karena itu, pendekatan multidisipliner yang menggabungkan ilmu komputer, filsafat, hukum, dan studi agama menjadi kunci dalam menciptakan moderasi beragama berbasis AI yang lebih cerdas dan adil.

Kesimpulan

Moderasi beragama di era digital tidak boleh hanya menjadi soal sensor dan penghapusan konten. 

Dengan Quantum Ethics dan Kurikulum Cinta, kita bisa membangun ekosistem digital yang lebih inklusif, di mana AI bukan hanya alat pengontrol, tetapi juga fasilitator dialog dan kebijaksanaan.

Era Web 3.0 menuntut paradigma baru dalam memahami hubungan antara agama, teknologi, dan etika.

Moderasi berbasis AI yang cerdas bukanlah yang hanya menghapus konten yang dianggap “berbahaya”, tetapi yang mampu membangun ruang digital yang berlandaskan pemahaman, empati, dan kebijaksanaan.

Dengan demikian, AI dalam moderasi beragama bukan lagi sekadar “penjaga gerbang”, tetapi menjadi mitra dalam membangun peradaban digital yang lebih adil, damai, dan berkeadaban, berkarakter Asta Cita Presiden RI/Wakil Presiden RI dan dukungan penuh memaknai kurikulum cinta gagasan besar Almukaram Prof Dr Kyai H Nasaruddin Umar, MA Menteri Agama RI. (Penulis Wakil Dekan 3 Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Membangun Kurikulum Cinta Di Era Web 3.0

Membangun Kurikulum Cinta Di Era Web 3.0

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *