TAPAKTUAN (Waspada) : Koordinator Forum Peduli Aceh Selatan (For-PAS), T. Sukandi, mempertanyakan aliran “uang debu” dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) terkait pengangkutan material biji besi milik PT. PSU ke Pelabuhan Tapaktuan tak mengalir ke warga setempat.
Padahal sesuai UU Minerba Nomor 3 tahun 2020 perusahaan wajib menyusun rencana induk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) selama masa operasi produksi dalam bentuk kompensasi CSR kepada masyarakat yang terdampak langsung.
“Pada malam hari, warga hanya disuguhkan suara bising truck melintas mengangkut biji besi ke Pelabuhan Tapaktuan, siangnya warga menghirup debu di jalanan namun sayangnya tanpa menerima manfaat kompensasi CSR apapun. Makanya kami mempertanyakan aliran uang tersebut,” kata T. Sukandi kepada Waspada di Tapaktuan, Selasa (28/1).
Material tambang biji besi ini diangkut oleh perusahaan tambang PT. PSU dari wilayah pedalaman Aceh Selatan yaitu Gunung Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah ke Pelabuhan Tapaktuan dengan jarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan. Hasil kekayaan alam Aceh Selatan itu kemudian diangkut menggunakan kapal ke luar daerah.
Selama ini, kata Sukandi, masyarakat Tapaktuan ibu kota Kabupaten Aceh Selatan merasa terjajah di dalam rumahnya sendiri dampak pengangkutan material biji besi milik PT. PSU tanpa menerima kompensasi manfaat apapun.
Seharusnya, jika negara tak mampu mensejahterakan rakyat sesuai amanat UUD 1945, setidaknya jangan sampai kehidupan rakyat ditengah kondisi himpitan ekonomi sekarang ini justru tambah disengsarakan.
“Sangat ironis setiap harinya masyarakat Tapaktuan secara terpaksa hanya disajikan debu gratis akibat lalu lalangnya truck-truck pengangkut material biji besi melewati badan jalan provinsi dalam Kota Tapaktuan. Sementara disisi lain, aparat terlihat lemah tak berdaya menghadapi managemen perusahaan tambang yang sangat kuat financialnya itu,” sesal Sukandi.
Atas kondisi itu, Koordinator For-PAS, T. Sukandi meminta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan segera mendesak pemerintah daerah dan Pemerintah Provinsi Aceh mengevaluasi dan bahkan menghentikan operasional pengangkutan material biji besi milik PT. PSU karena mengganggu kenyamanan warga Kota Tapaktuan.
Langkah evaluasi hingga penghentikan operasional itu, kata Sukandi, dinilai penting segera dilakukan sebagai bagian dari tindakan antisipatif dan preventif sebelum masyarakat mengambil tindakan sendiri yang dapat menimbulkan akibat yang bersifat anarkis.
“Jangan sampai asap akan membara berobah menjadi api yang menyala yang akan membuat semua kita akan terbakar nantinya. Masyarakat sudah gerah dan muak dengan kesewenang-wenangan PT PSU apalagi melihat lemahnya APH yang sama sekali tidak berdaya menghadapi managemen perusahaan tambang,” tegasnya.
Masyarakat Tapaktuan, ujar Sukandi, membutuhkan perhatian serius DPRK Aceh Selatan sebagai representatif suara rakyat agar perpihak kepada amanat penderitaan rakyat akibat terdampak debu material tambang PT PSU karena jika masyarakat tersakiti semestinya wakil rakyat juga mesti merasa tersakiti dan berdiri digarda terdepan membela hak rakyat.
“Masyarakat berharap wakil rakyat periode ini siap bersuara lantang membela hak rakyat jangan justru lemah dan tunduk ketika berhadapan dengan penguasa dan oligarki,” pinta T. Sukandi.
Pantauan wartawan diseputaran Pelabuhan Tapaktuan, Minggu (26/1) malam kemaren, terlihat antrean panjang sekitar 40 truck pengangkut biji besi memasuki areal penimbunan material di pelabuhan tersebut. Kondisi berbahaya itu diprotes warga selain karena material tak ditutup dengan terpal, juga saat dalam perjalan tidak ada pengawalan aparat terkait.
Ketua Pemuda Gampong Pasar, Isan mengaku telah beberapa kali mengingatkan agar aktivitas pengangkutan material tambang itu tak berdampak terganggunya keselamatan dan kesehatan warga namun sayangnya tak ada tanggapan serius.
“Kondisi itu, sudah pernah kami ingatkan namun perusahaan tetap bandel tak menggubrisnya. Harapan kami dianggap angin lalu,” kata Isan.
Belum lagi tumpukan biji besi abunya berterbangan saat dibawa angin. “Kami harap truk truk itu ditutup terpal, agar debu tak membahayakan warga,” tambah Isan.
Celakanya, menyikapi protes warga tersebut pihak perusahaan tambang dengan pemerintah daerah melalui dinas terkait justru saling lempar tanggungjawab dan saling menyalahkan.
Penanggungjawab perusahaan tambang, Abi saat dikonfirmasi mengaku pihaknya sudah memberitahu pihak Dinas Perhubungan Aceh Selatan untuk mengatur lalulintas ketika trukc masuk pelabuhan.
“Pihak Dishub sudah kami hubungi, tapi tidak ada tanggapan, maka kami jalan terus,” ungkap Abi.
Sementara Kadis Perhubungan Aceh Selatan, Filda Yulisbar justru mengatakan pihak tambang tidak punya komitmen yang jelas.
“Kami bingung ikuti aturan mereka, truk sudah jalan baru dikabari,” ungkap Filda. (chm)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.