Oleh : Dr Taqwaddin Husin
Tadi siang saya menerima permintaan dari beberapa media online agar saya menulis opini terkait dengan kedisiplinan Orang Jepang.
Saya menjawab permintaan itu, “baik, nanti iya saya tulis, setelah agenda makan siang di Central Sanomiya Hanshin Kobe Railway.
Kami sedang dijamu oleh Dr Jerry, dia orang Philipina, Pakar Ilmu Kebencanaan yang sudah lebih 20 tahun tinggal dan bekerja di Kobe Jepang. Jerry, aktivis di ADRC (Asian Disaster Reduction Center), suatu Internasional NGO yg fokus pada upaya-upaya pengurangan rosiko dan pemulihan bencana.
Pengalaman saya selama bermitra kolaborasi dalam riset kebencanaan secara internasional yang dikordinir oleh Prof Yuka Kaneko dari Kobe University Jepang, terekam sekali betapa disipilinnya orang-orang Jepang.
Kolaborasi kami berasal dari berbagai negara; Jepang, China, Philipina, Turki, New Zeland, Thailand, Kamboja, Aceh Indonesia, dan dari beberapa negara lain, yang saya agak lupa. Intinya, kami berasal dari semua negara-negara yang pernah mengalami bencana dahsyat yang dikenal secara internasional.
Kordinator kolaborasi ini adalah Kaneko Sensei yang dibantu beberapa profesor muda dan juga beberapa orang asisten profesor. Kaneko sensei meneruskan apa yang dirintis oleh Prof Tanaka sensei manakala beliau menjabat sebagai Direktur Pusat RCUSS (Risearch Center for Urban Safety and Security, Kobe University.
Dari para akademisi inilah saya merekam budaya Jepang. Jadi bukan dari buku-buku, melainkan dari persahabatan secara langsung.
Pernah suatu kali pada tahun 2015, ketika saya sedang memulai kuliah pada pagi yang sedang badai salju, terdengar ketukan pelan di pintu kelas. Semua peserta kelas terperajat. Kaget. Karena tak biasanya ada yang terlambat hadir.
Setelah saya membuka pintu, “came in” kata saya yang disambut oleh mahasiswi Jepang dengan berkali-kali membungkuk seraya berucap “I am so sorry sir, I am so sorry sir”.
Mahasiswi ini merasa sangat bersalah dan seakan telah melakukan dosa besar karena masuk kelas saat dosennya memulai kuliah.
Gestur tubuhnya yang membungkuk-bungkuk dengan wajah memelas ketakutan menjadi pelajaran bagi saya soal kedisiplinan waktu para mahasiswi Jepang.
Beda sekali dengan ketepatan waktu pada mahasiswa kita ? Yang tak merasa bersalah, apalagi merasa berdosa saat terlambat masuk kelas. Ini pelajaran pertama yang saya rekam dari budaya Jepang.
Padahal dalam ajaran Islam, berkali-kali ditegaskan agar kita disiplin waktu dengan berbagai sebutan, misalnya, demi masa, demi waktu malam, dan lain-lain yang menegaskan pentingnya kita menjaga waktu agar tidak merugi atau celaka. Tapi apa faktanya, banyak mahasiswa kita yang menyia-nyiakan waktu. Sehingga, tidak produktif.
Pelajaran kedua yang saya rekam dalam ingatan adalah orang-orang Jepang menulis secara rinci setiap program dan pekerjaan yang direncanakan.
Misalnya, pertemuan kolaborasi kami ini dari tanggal 15 — 19 Januari 2025 sudah dicatat secara mendetil sekali dari hari ke hari hingga jam ke jam sejak enam bulan lalu.
Mereka sudah terbiasa berpikir dan bekerja dengan pendekatan 5W+1H. Yaitu, apa pertemuannya, siapa saja terlibat yang melakukannya, dimana pertemuan itu dilakukan, kapan jadwal dilakukannya pertemuan, mengapa pentingnya pertemuan itu, serta bagaimana pertemuan itu dilakukan dan apa target capaiannya. Semua itu sudah dirinci sedemikian rupa, sehingga semua peserta tidak ada yang melewatkan satu menitpun untuk tidak mengikuti acara.
Perencanaan yang matang didukung dengan ketaatan pada waktu, menjadikan orang Jepang dikenal paling disiplin. Paling tepat waktu. Hemat saya, inilah yang menjadi pendorong utama keperkasaan SDM Jepang.
Pelajaran ketiga yang saya ingat dari budaya Jepang adalah pada soal kejujuran dan integritas mereka. Selama belasan tahun saya berteman dengan orang Jepang, kesan saya mereka orang yang jujur dan berintegritas. Mereka secara terus terang merasa bersalah jika memang telah melakukan kesalahan. Bagi mereka, lebih baik harakiri (bunuh diri) daripada melakukan hal curang yang memalukan. Tidak lazim bagi mereka mengalihkan diri sembari mencari kambing hitam. Itu tidak ada di budaya mereka.
Kejujuran dan integritas inilah yang menjadikan penegakan hukum di Jepang dipatuhi. Hakim disana sangat disegani dan dimuliakan. Karena Kaneko Sensei memperkenalkan saya, selain sebagai Akademisi juga sebagai Hakim (Saikanban) sehingga saya mengalami perlakuan yang patut selama di Jepang.
Budaya lain yang patut kita teladani dari Jepang adalah pada karakter mereka sebagai pekerja keras yang tekun dan gigih. Karakter ini diakui oleh semua bangsa lain di dunia. Dan, Jepang telah membuktikan mereka sebagai bangsa pekerja keras yang tangguh.
Amerika yang dulunya pernah menghancurkan Jepang dengan mengebom Hiroshima dan Nagasaki, namun dalam waktu tidak terlalu lama, kebangkitan ekonomi dan penguasaan teknologi Jepang bisa melampaui Amerika dan Eropah.
Pengalaman saya selama hampir satu bulan berada di Belanda misalnya, ternyata teknologi transportasi serta teknologi pelayanan publik Jepang lebih unggul ketimbang Eropah.
Apalagi dalam hal penguasaan teknologi informasi, Jepang makin hebat aja. Pengalaman pelayanan imigrasi tadi malam di Kansai Airport (KIX), misalnya, walaupun antrian ratusan orang, tetapi bisa selesai cepat sekali. Tak terbayang oleh saya, yang selama ini di Malaysia, Thailand, dan bahkan untuk Umroh di Saudi Arabia antriannya juga lama. Sedangkan di Kansai Airport cukup masing-masing kita scan e-pasport dan langsung lewat. Begitu juga dengan barang bawaan atau bagasi. Tinggal scan tiket yang sudah kita print sendiri, lalu terprint otomatis kertas receipt bagasi. Tinggal masukkan kopor kita ke tempatnya dan dia segera bergerak menuju pada penumpukan bagasi-bagasi. Perasaan saya, sistem teknologi ini sudah lebih bagus ketimbang di bandara Schipool Amsterdam Belanda.
Mengapa Jepang bisa lebih hebat? Jawabannya adalah karena kedisiplinan mereka, terutama disiplin waktu. Selain itu, karena kejujuran, kerja keras dan fokus, yang karena semua ini menjadikan sistem dan kualitas pendidikan mereka menjadi unggul.
Izin saya cukupkan dulu iya tulisan ini, karena mau boarding, masuk dalam pesawat Singapore Airlane (SQ 623 tujuan Kansai Osaka ke Singapore. Wassalam. WASPADA.id
Penulis adalah Dosen pada Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala (USK) dan Hakim Ad-Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.