Oleh Salamat Siregar, S.Pd, M.Si.
Guru sering kali menghadapi situasi sulit ketika harus menegakkan disiplin di kelas, dan dalam beberapa kasus, penegakan tersebut berakhir pada permasalahan hukum
Pasca pergantian menteri pendidikan, berbagai isu mulai muncul kembali ke permukaan, termasuk usulan untuk mengkaji ulang kurikulum merdeka, menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN), dan mempertimbangkan kembali sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Semua ini menjadi polemik yang lumrah di masyarakat, karena kebijakan pendidikan adalah salah satu instrumen strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Namun, apakah fokusnya sudah benar-benar diarahkan pada prioritas utama? Di tengah kompleksitas tantangan pendidikan nasional, mengurus guru seharusnya mendapat perhatian lebih sebagai pondasi menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.
Sebab kurikulum yang nyaris sempurna sekalipun, tidak akan berdampak baik apabila guru-guru yang menjalankannya tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Model asesmen apapun yang diterapkan seperti ujian nasional (UN) atau Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang digagas akan menjadi momok apabila guru yang menjalankannya memiliki integritas yang rendah, termasuk sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) hanya akan menyisakan sederetan kasus manakala guru-guru yang mengelola PPDB orientasinya mendapatkan keuntungan pragmatis, bahkan kesejahteraan yang berlimpah hanya akan menjadikan guru berfoya-foya manakala guru yang menerimanya tidak paham bagaimana akan mengembangkan profesinya secara berkelanjutan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran diri setiap individu. Dari sini terlihat bahwa pendidikan yang berkualitas memerlukan sosok pendidik yang tidak hanya memiliki kompetensi akademis, tetapi juga kesadaran untuk mencerdaskan bangsa. Guru yang berkualitas adalah fondasi utama dari setiap sistem pendidikan yang berhasil. Guru yang berkompeten dan termotivasi adalah jantung dari pendidikan berkualitas (Hammond, 2010). Di sinilah peran kebijakan pendidikan nasional untuk “mengurus guru secara sungguh-sungguh” menemukan relevansinya.
Tanpa bermaksud mendikte penentu kebijakan pendidikan nasional, mengurus guru secara sungguh-sungguh harus dimulai dari: (1) menerapkan sistem seleksi yang ketat untuk menjadi calon guru, (2) seleksi alam untuk guru yang masih aktif bertugas, (3) menjamin kesejahteraan guru, (4) memberikan perlindungan hukum, dan (5) pengembangan karier yang konsisten
Calon Guru
Salah satu langkah awal untuk menghasilkan guru berkualitas adalah melalui sistem seleksi calon guru yang ketat. Sudah seharusnya guru-guru di masa depan dipilih dari generasi dengan kecerdasan di atas rata-rata, bahkan idealnya termasuk kategori unggul. Hal ini selaras dengan prinsip bahwa hanya orang-orang cerdas yang mampu mencerdaskan dan menginspirasi. Namun, realitas menunjukkan bahwa kebijakan nasional saat ini belum sepenuhnya mengarah pada penyiapan calon guru dengan kualitas unggul. Misalnya, belum ada standar nasional yang tinggi untuk masuk ke perguruan tinggi yang menghasilkan para guru.
Dalam konteks ini, kita bisa belajar dari Finlandia, yang menyeleksi calon guru dari 10% lulusan terbaik di sekolah menengah atas, dengan tujuan menciptakan pendidik yang memiliki intelektualitas tinggi dan komitmen kuat terhadap profesinya (Sahlberg, 2011). Dengan sistem seleksi yang ketat, harapan untuk menghasilkan guru-guru berkualitas akan semakin besar. Apabila penyiapan calon guru yang kompeten di bidangnya tidak dilakukan sedini mungkin, maka cita-cita Indonesia Emas 2045 hanya semacam do’a tanpa usaha.
Seleksi Alam
Selain proses seleksi yang super ketat untuk penyiapan calon guru, guru yang telah aktif mengajar juga memerlukan penilaian kinerja dan seleksi alam secara berkala. Data menunjukkan bahwa hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) masih berada di bawah standar yang diharapkan, menandakan perlunya peningkatan kompetensi yang mendalam. Bahkan, partisipasi guru dalam program-program pengembangan kompetensi guru seperti Jambore GTK Hebat, Program Guru Penggerak, Pembatik, dan sebagainya masih terbilang rendah. Oleh karena itu, kementerian pendidikan harus memiliki “nyali” untuk mengevaluasi dan melakukan pemetaan berdasarkan kompetensi guru.
Guru yang tidak mampu mencapai standar kompetensi minimum yang ditetapkan setelah menjalani berbagai program pelatihan sebaiknya dialihkan ke tugas yang tidak terkait langsung dengan proses belajar-mengajar. Langkah ini sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menegaskan pentingnya peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan kompetensi tenaga pendidik. Bagi mereka yang memiliki kompetensi unggul, perlu ada pelatihan lanjutan dan insentif khusus untuk menjaga motivasi serta meningkatkan dedikasi mereka terhadap profesi keguruan.
Kesejahteraan
Menjamin kesejahteraan guru juga merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Kesejahteraan yang memadai bagi guru bukan hanya soal gaji yang besar, tetapi juga mengenai jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan insentif berdasarkan kinerja (Sutrisno, 2018). Guru yang kompeten dan berdedikasi tinggi perlu diapresiasi dengan reward yang pantas, sehingga harkat dan martabat profesi guru diakui, dan hal ini juga bisa memotivasi guru-guru lain untuk terus mengembangkan kompetensinya. Dalam manajemen kesejahteraan guru, perlu diingat bahwa peningkatan kompetensi guru harus berbanding lurus dengan kesejahteraan guru.
Beberapa negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan, bahkan memberikan penghargaan yang tinggi kepada profesi guru dengan memberikan gaji setara dengan pekerja profesional di bidang lainnya, seperti insinyur atau dokter (Hanushek & Rivkin, 2010). Di Indonesia, peraturan yang mengatur tentang kesejahteraan guru sudah ada dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tetapi implementasi insentif berdasarkan prestasi dan kompetensi masih belum direalisasikan.
Perlindungan Hukum
Guru sering kali menghadapi situasi sulit ketika harus menegakkan disiplin di kelas, dan dalam beberapa kasus, penegakan tersebut berakhir pada permasalahan hukum. Hal ini menjadi perhatian serius karena tanpa perlindungan hukum yang kuat, guru akan merasa tertekan dan kehilangan keberanian untuk mendidik dengan tegas.
Karena itu, penting adanya regulasi yang memberi perlindungan kepada guru dalam menjalankan profesinya. Guru honorer seperti Ibu Supriyani sering kali berada dalam posisi yang rentan, di mana mereka tidak hanya harus memenuhi tanggung jawab mengajar, tetapi juga berhadapan dengan risiko hukum dalam proses mereka melakukan pembinaan pada murid MY Esti Wijayati, 2024).
Perlindungan ini dapat diperkuat dengan peran organisasi profesi guru, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang dapat memberikan pembelaan dan pendampingan hukum bagi anggotanya yang menghadapi masalah terkait disiplin di kelas. Di Finlandia, guru memiliki perlindungan hukum yang kuat sehingga mereka merasa aman dalam menegakkan disiplin dan membimbing siswa sesuai nilai-nilai pendidikan yang benar (Sahlberg, 2011)
Pengembangan Karier
Pengembangan karier yang terstruktur dan konsisten juga penting untuk meningkatkan motivasi dan profesionalisme guru. Melalui sistem manajemen karier yang terukur, guru dapat merencanakan karier jangka panjangnya dalam profesi ini. Program pengembangan seperti pelatihan lanjutan, sertifikasi, dan peluang untuk jenjang karier yang lebih tinggi perlu terus diperkuat.
Di Indonesia, Kementerian Pendidikan telah memiliki beberapa program pengembangan karier guru, seperti program Guru Penggerak yang menjadi syarat mutlak untuk mengarahkan guru sebagai kepala sekolah atau pengawas sekolah. Namun, konsistensi pelaksanaan program tersebut masih belum maksimal bahkan cenderung diabaikan. Akibatnya muncul pesimisme bahkan fatalis dari para guru. Ironisnya lagi, karier para guru sering kali dibenturkan dengan politisasi kepentingan.
Penutup
Guru yang kompeten adalah aset terbesar bagi pendidikan yang berkualitas. Seperti yang disampaikan oleh Albert Einstein, “It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge.” Apabila Indonesia menginginkan pendidikan yang bermutu, maka perhatian yang mendalam harus diberikan kepada pengembangan guru. Tanpa gedung sekolah pun, guru yang unggul akan tahu bagaimana membelajarkan murid dengan baik, tanpa kurikulum yang sempurna pun, mereka mampu mencerdaskan siswa, bahkan tanpa model asesmen yang nyaris sempurna pun para guru mau dan mampu melakukan penilaian autentik.
Indonesia Emas 2045 hanya akan tercapai jika guru sebagai ujung tombak pendidikan diberdayakan, dilindungi, dan dihargai. Kementerian Pendidikan perlu menerapkan langkah konkret dan jangka panjang dalam mengurus guru secara sungguh-sungguh, dengan mengacu pada prinsip-prinsip di atas. Hanya melalui investasi pada guru yang berkualitas, Indonesia akan mampu menciptakan generasi penerus yang kompeten, berakhlak, dan berdaya saing di tingkat global.
Penulis adalah Kepala SMAN 1 Angkola Barat Tapanuli Selatan.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.