“Melongok” Pilpres Amerika Serikat

  • Bagikan
“Melongok” Pilpres Amerika Serikat

Oleh Siuaji Raja

Mencalonkan diri sebagai presiden AS butuh biaya sangat besar. Kampanye didanai sumbangan atau donasi dari berbagai sumber, dan meskipun sistem pendanaan publik (public financing system/PFC) merupakan hal yang umum, penggalangan dana sektor swasta kini menjadi lebih populer

Warga Amerika akan kembali mengikuti Pilpres pada tanggal 5 November 2024; kali ini dalam nuansa yang lebih menantang. Kenapa menantang? Mari kita lihat perkembangan berikut ini. Belum pernah ada kandidat presiden perempuan sebelumnya yang terpilih di AS. Hillary Clinton dari partai Demokrat maju sebagai Capres pada tahun 2016, tetapi ia kalah. Donald Trump lawannya dari partai Republik menang.

Sebenarnya Hillary ketika itu sudah memenangkan suara terbanyak secara nasional (dengan selisih tiga juta suara dibanding Trump) tetapi masih bisa dikalahkan oleh aturan main yang khas yang disebut Electoral College (EC) yang ada di dalam sistem Pemilu negara itu. Jadi apakah terjadi pembelotan anggota EC ketika itu? Mungkin saja.

Kini di tahun 2024, setelah presiden inkumben Joe Biden (81) dari Partai Demokrat mengundurkan diri dari kontestasi Pemilu yang akan datang dengan alasan performanya dalam debat tidak memuaskan dan ketika semua pihak di dalam partai sepakat memajukan wapres Kamala Harris (59), dapatkah seorang capres perempuan melawan calon dari partai Republik yakni Trump (78) yang dulunya juga telah mengalahkan capres perempuan? Akankah terulang kembali hasil Pemilu tahun 2016 pada tahun 2024 ini dengan kemenangan Trump?

Ataukah Harris sudah mempelajari taktik yang jitu untuk menentang Trump dalam kampanyenya dan menarik lebih banyak simpatisan ke Partai Demokrat hingga ia yang akan keluar sebagai pemenang dan menjadi presiden perempuan pertama di AS? Waktulah yang akan menjawabnya.

Partai Demokrat (berhaluan liberal) dan Partai Republik (berhaluan konservatif, disebut juga Grand Old Party/GOP) sebagai partai-partai besar dan yang utama di AS, sudah mapan dan teruji dalam mengembangkan solusi bagi berbagai isu yang menjadi kepentingan hidup rakyat Amerika.

Banyak analisa yang beredar tentang bagaimana “pertarungan” ini berevolusi dan bagaimana ia berakhir nanti hingga pelantikan presiden AS terpilih (ke-47) pada tanggal 20 Januari 2025 dalam suatu upacara (inauguration) yang populer diadakan di tangga gedung Capitol di Washington DC.

Isu-isu Yang Menghangat

Isu-isu yang menggejala dalam debat presiden AS kali ini pun tidak jauh berbeda dari masalah yang dibahas pada empat tahun lalu atau di dalam Pemilu sela (midterm elections) dua tahun lalu, seperti: inflasi/harga-harga, imigrasi, masalah kesehatan, ekonomi/pekerjaan, aborsi, masalah iklim/lingkungan hidup, hak-hak sipil, keamanan nasional, pajak dan belanja pemerintah, senjata (guns) serta kebebasan sipil.

Di kerangka Pemilu 2024 ini, Trump telah berpartisipasi dalam debat melawan Presiden Joe Biden pada bulan Juni sebelum ia berdebat dengan Harris pada tanggal 10 September 2024. Trump menyatakan tidak akan berpartisipasi lagi dalam debat lain melawan Harris menjelang Pemilu 5 November mendatang, setelah beberapa jajak pendapat menunjukkan bahwa Harris memenangkan debat terutama karena Trump tidak dapat menyampaikan visi dan misinya dengan baik.

Data & Fakta Pemilu

Dari sekitar 336 juta jiwa penduduk AS di tahun 2024, sebanyak 240 juta rakyatnya berhak ikut pemilu. Pada Pemilu ini, 40,8 juta generasi Z (berusia 18-27 tahun) akan berhak memilih, termasuk 8,3 juta generasi muda yang baru memenuhi syarat (berusia 18-19 tahun) dan yang mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi Pemilu dan mendorong tindakan terhadap isu-isu yang mereka pedulikan—jika mereka dijangkau dan didukung secara memadai oleh partai, kampanye, dan berbagai organisasi.

Mengikuti Pemilu yang diadakan setiap empat tahun sekali pada hari Selasa pertama di bulan November tidak menjadi suatu keharusan bagi seorang warga negara (citizen) Amerika, dibanding misalnya di Australia yang menetapkan bahwa Pemilu adalah suatu kewajiban (compulsory) bagi warga negaranya dan apabila tidak diikuti bisa dikenakan denda. Pemilu di AS jatuh pada hari kerja yang tidak diliburkan. Pada Pemilu di AS tahun 2020 yang memberikan suara hanyalah 66 persen pemilih yang merupakan suatu angka yang tidak demikian impresif, namun angka ini ternyata tercatat sebagai yang tertinggi sejak Pemilu tahun 1900.

Mencalonkan diri sebagai presiden AS membutuhkan biaya yang sangat besar. Tidak ada batasan pembiayaan (spending) atau kapan persisnya seorang kandidat dapat mencalonkan diri dalam Pemilu. Kampanye didanai dengan kontribusi/sumbangan atau donasi dari berbagai sumber, dan meskipun sistem pendanaan publik (public financing system/PFC) merupakan hal yang umum, penggalangan dana sektor swasta kini menjadi lebih populer. Hingga Pemilu tahun 2000, semua calon presiden berpartisipasi dalam sistem PFC dengan menerima dana pemerintah sebagai imbalan atas persetujuan batasan dana tertentu bagi pembiayaan mereka dalam proses Pemilu.

Undang-undang federal membatasi sumbangan dari perusahaan, serikat pekerja, dan kontribusi dari kalangan individu. Sumbangan atau donasi kini merupakan sarana utama pendanaan kampanye. Partai politik, organisasi amal, dan komite aksi politik seringkali mengumpulkan sumber daya agar kampanye tetap berjalan. Proses Pemilu di AS diselenggarakan oleh masing-masing negara bagian — sesuai sistem federal — sementara KPU di sana hanya mengawasi pendanaan kampanye.

Mengenal Electoral College

Ketika warga AS datang ke tempat pemungutan suara, selain memilih presiden, mereka sebenarnya memilih orang-orang di negara bagian mereka yang bakal duduk dalam Electoral College yang nantinya akan menentukan kemenangan (hasil akhir) Pemilu presiden. Para Electors dicalonkan oleh partai politik di tingkat negara bagian. Mereka biasanya adalah petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya.

Total ada 538 Electors di AS yang mewakili setiap negara bagian, terdiri dari anggota DPR/partai (435 orang; jumlahnya sama sejak tahun 1913), senat (100 orang, masing-masing dua senator untuk 50 negara bagian), dan perwakilan dari ibukota, Washington D.C. (tiga orang).

Jumlah Electors setiap negara bagian pun berbeda, disesuaikan dengan jumlah penduduk. Jumlah electors terbanyak ada di California dengan total 55 orang, sementara yang sedikit adalah Delaware, Alaska, hingga Wyoming (tiga Electors). Sistem ini dirancang untuk menyeimbangkan kekuasaan antara negara bagian yang wilayahnya lebih besar, menengah dan kecil serta untuk memastikan bahwa presiden memiliki dukungan yang luas di seluruh wilayah negara.

Semua wilayah AS, kecuali dua negara bagian (Maine and Nebraska) menerapkan sistem “Winners Take All” dalam artian bahwa jika seorang kandidat dari Partai Republik misalnya memenangkan 50,1% suara di Texas maka ia akan mendapatkan seluruh suara dari anggota Electoral College dari negara bagian itu, yang berjumlah 38 orang. Ini adalah satu aturan lain yang khas dalam Pemilu di AS, bahkan di dunia sekali pun.

Usai terpilihnya 538 Electors, mereka kemudian melakukan pemilihan di negara bagian masing-masing pada bulan Desember untuk memberikan suara bagi penentuan presiden dan wakil presiden. Kandidat yang memperoleh 270 suara atau lebih akan menjadi pemenang. Jadi, pemenang Pilpres di AS bukanlah orang yang mendapat suara terbanyak dari pemilih di seluruh negeri, tetapi yang memperoleh suara terbanyak dari pilihan Electoral College. Karenanya, pesta demokrasi Pilpres di AS bersifat tidak langsung karena tidak ditentukan oleh suara rakyat (popular vote).

Peranan Negara Bagian

Sebagian besar dari 50 negara bagian AS sangat condong pada satu partai atau yang lainnya. California misalnya selama ini terkenal dengan julukan Blue State karena masyarakatnya condong ke Partai Demokrat. Sementara, North Carolina dan sejumlah negara bagian di wilayah Selatan AS tampil sebagai Red States karena condong ke Partai Republik. Karena kondisi ini, hasil pemungutan suara biasanya sudah dapat diketahui dan hampir pasti partai Demokrat akan menang di California, begitu pula dengan partai Republik menang di North Carolina. Keuntungannya, pasangan kandidat capres/cawapres tidak perlu bersusah payah menarik simpati masyarakat di negara bagian yang sudah pasti “warnanya.”

Namun, lain halnya di negara-negara bagian yang penduduknya selalu tidak dapat langsung memutuskan yang wilayahnya diberi warna “abu-abu/ungu” yang biasa juga disebut wilayah medan pertempuran atau negara bagian yang berayun (Swing States). Hasil pemungutan suara di wilayah ini sulit diprediksi. Karenanya, di wilayah ungu tersebut, masing-masing Capres dan Cawapres harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan pemilih bahwa merekalah yang terbaik. Negara bagian sedemikian yang menjadi medan pertempuran tradisional termasuk Arizona, Colorado, Florida, Georgia, Iowa, Michigan, Nevada, New Hampshire, North Carolina, Pennsylvania, Ohio, Wisconsin dan Virginia.

Penulis adalah Diplomat RI bertugas di KBRI Washington DC tahun 2014-2018, pernah menjadi Pemantau Pemilu AS.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

“Melongok” Pilpres Amerika Serikat

“Melongok” Pilpres Amerika Serikat

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *