CARUT marutnya sejarah perjalanan negeri demonarki yang penuh kepalsuan, ketidakadilan, ketimpangan sosial antara kaum elit dan rakyat kecil, dan masalah-masalah lainnya membuat penduduk marah, ingin keluar dari itu semua, namun, tantangan politis begitu kuat menjadi halangannya. Ide dan cita-cita negeri yang adil dan makmur seperti mustahil.
Sebagai dialektikanya, muncul arus perubahan dari sekelompok rakyat yang menuntut revolusi di semua lini. Di saat yang bersamaan, muncul pula kelompok yang “pasrah”, ada pula yang apatis.
Terlepas dari semua itu, faktanya, negeri yang adil makmur bukanlah ide utopis. Sebab, sejarah telah mencatatnya. Dalam Alquran surat Saba’ ayat 15; “Sungguh bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), “Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Negeri kalian) adalah negeri yang baik dan (Tuhan kalian) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS Saba’ [34]: 15).
Ayat ini berkisah tentang sebuah negeri kaum Saba’ yang berada di Yaman tepatnya di sebuah lembah yang berada di antara dua gunung. Pertumbuhan ekonominya makmur dan sejahtera.
Pemerintahnya membangun waduk besar yang menampung air hujan agar tidak terbuang ke laut dan menjadi sumber penghidupan penduduk mulai dari makan minum hingga irigasi pertanian yang membuat mereka sejahtera. Semua rakyat, tanpa terkecuali, bisa memanfaatkannya tanpa pandang bulu.
Secara politis, bangsa ini stabil, dipimpin oleh seorang ratu yaitu Balqis. Ia sangat adil dan memiliki kemampuan manajemen yang baik. Sehingga sistem pemerintahan yang dijalankan berdampak positif pada rakyat.
Secara religius, bangsa ini memiliki keimanan yang tampak dari rasa syukur mereka sehingga tidak meninggalkan Allah Swt, yang karena Allah berikan kepada mereka kenikmatannya. Ini menunjukkan bahwa good government (pemerintahan yang baik) tidak akan terwujud tanpa fondasi agama dan mental yang baik pula.
Dari ayat di atas, tampak bahwa ciri bangsa yang baik dan sehat adalah terjadinya keseimbangan pada semua aspek infrastruktur dan suprastruktur yang meliputi politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan dan lainnya.
Kemudian disimpulkan, bahwa ide tentang negeri yang adil makmur adalah realitas bukan sekedar khayalan. Bukti lainnya adalah negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah pasca hijrah.
Negara Islam pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw pada tahun 622 M di bawah otoritas Piagam Madinah, yang mewakili kesatuan politik umat Muslim.
W. Montgomery Watt, seorang sejarawan Skotlandia yang dalam bukunya “Muhammad at Madina” menegaskan tentang negara yang dibangun oleh Nabi Muhammad menjadi negara yang berkeadilan bagi semua golongan, dibuktikan dengan adanya dokumen Piagam Madinah sebagai bentuk pemenuhan hak dan kewajiban bagi seluruh warga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Seiring perjalanannya, bangsa Saba’ pun hancur karena lalai dan kufur kepada Allah Swt.
“Lalu mereka berpaling, sehingga Kami mendatangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami mengganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr (Q.S Saba’ [34]: 16).
Apa dasarnya? Tidak lain adalah perilaku mengenyampingkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Kata “fa a’ridhu” (kemudian mereka berpaling) menunjukkan hal tersebut.
Kisah ini mengindikasikan bahwa dasar Ketuhanan meliputi akhlak, dan karakter menjadi hal yang niscaya dalam membangun bangsa menuju Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur.
Dari Mana Memulai?
Hal yang harus dilakukan pertama adalah menata ulang mindset kebangsaan. Dari World oriented ke God-Oriented. Pemerintah dan rakyat harus kembali sadar dan yakin bahwa Tuhan adalah sumber dari semua paradigma termasuk politik.
Jika Tuhan dinegasikan, maka akan terjadi kekacauan. Negeri ini tidak dibangun atas dasar sekularisme, tetapi ketuhanan yang maha Esa. Sejatinya, sila pertama dalam pancasila sudah mewakili.
Para pendiri bangsa ini sedari awal menyadari betul akan hal ini, maka Ketuhahan yang maha esa dijadikan sila pertama dalam pancasila. Namun, realitanya, semakin ke sini Tuhan mulai ditepikan.
Kita mulai berevolusi menjadi Fir’aun-Fir’aun kecil yang melupakan sang Pencipta. Kita menganggap bahwa akal ini mampu untuk mengurus semuanya. Padahal, untuk mengurus negeri ini kita butuh Tuhan. Jika begitu, saatnya beralih ke teokrasi yaitu suatu cara bernegara yang menjadikan otoritas Tuhan sebagai pemangku utama.
Sebuah pemerintahan yang menjunjung dan berpedoman pada normatifitas agama. Teokrasi merupakan bentuk identitas yang lebih absolut dalam sistem agama negara, di mana pemimpin negara juga sekaligus pemimpin agama spiritual.
Namun, saya tidak bermaksud untuk mengadopsi teokrasi murni. Sebab, negeri ini plural. Elemen bangsa ini tersusun dari multi agama, ras, dan etnik. Menerapkan Teokrasi murni justeru akan menimbulkan masalah baru.
Namun, teokrasi yang dimaksud adalah; pertama bahwa negeri ini harus dibangun atas dasar nilai-nilai agama yang universal yaitu kesetaraan, keadilan dan persaudaraan.
Yang implikasinya akan berdampak pada produk kebijakan dan perundang-undangan.
Kedua, ada proses filterisasi pemimpin yang berbasis pada prinsip moralitas dan intelektualitas sehingga akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang “bener”.
Ketiga, rakyat memiliki semangat dan perilaku keagamaan yang tinggi yang akan melahirkan rasa syukur kepada Tuhan layaknya kaum Saba’, agar Tuhan tak jemu merahmati bangsa ini.
Tiga prototipe di atas harus diperjuangkan secara massif dan ini tidak lain melalui pendidikan. Jika kita merujuk pada tujuan pendidikan, maka tujuan akhirnya adalah membentuk pribadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, dan berilmu.
Artinya, negara harus menjamin peningkatan spiritualitas keagamaan, kesehatan, ekonomi, dan mutu pendidikan rakyatnya, melalui perangkat negara.
Dengan kata lain, pendidikan dikatakan berhasil jika sebuah negeri penduduknya didominasi oleh mereka yang berbudi pekerti dan berilmu, yang memungkinkan terjadinya organisasi masyarakat religius dan intelek.
Lantas, bagaimana kita bisa mengukur keberhasilan pendidikan itu?
Tentu, karena pendidikan juga adalah kebudayaan sebuah bangsa, maka ukurannya adalah peradabannya, yaitu segala sesuatu yang membuat kehidupan manusia lebih teratur dan maju dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian, Jika sebuah negeri tidak teratur, carut marut, terjadi ketimpangan ekonomi yang memunculkan stratifikasi sosial yang mencolok, monopoli kekuasaan, yang kuat menindas yang lemah, ketidakadilan hukum dan lainnya, maka bisa dikatakan bahwa peradabannya tertinggal. Karena logisnya, setiap manusia harus terus bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Sudah dapat kita bayangkan bahwa peradaban sebuah bangsa yang maju tidak bisa dilepas dari normatifitas agama. Sebuah bangsa akan hancur jika meninggalkan agama.
Oleh karenanya, pendidikan “Teokrasi” di atas harus menjadi stressing point dalam menjalankan pendidikan di negeri ini. Pemerintah harus lebih fokus bagaimana mendidik akhlak dan karakter anak negeri, jika ingin negeri ini maju.
Semoga saja, Menteri Pendidikan yang baru memiliki strategi dan kurikulum yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang hakiki. Allahu A’lam. (Penulis Pemerhati sosial)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.