Obat Kabinet Obesitas

  • Bagikan
Obat Kabinet Obesitas

Oleh Dr Arfanda Siregar, M.Si

Sebagai warga negara, kita memiliki peran untuk memastikan pemerintah bekerja untuk kepentingan rakyat. Kita bisa mendorong reformasi birokrasi dengan mendukung kebijakan yang mempromosikan pemerintahan yang lebih ramping dan efisien

Efisiensi dan efektivitas adalah dua prinsip utama dalam setiap pemerintahan yang berfungsi dengan baik. Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, kabinet yang terbentuk terkesan mengalami “obesitas politik”—besar dalam jumlah posisi, tetapi belum tentu produktif dalam kinerja.

Kabinet ini diisi oleh lebih dari 100 posisi menteri dan wakil menteri, yang dinilai sebagai upaya untuk merangkul berbagai kepentingan politik pasca-pemilihan presiden. Namun, pertanyaannya, apakah kabinet sebesar ini benar-benar efektif dalam menjalankan pemerintahan?

Obesitas Politik

Dalam dunia kesehatan, obesitas merupakan kondisi penumpukan lemak yang berlebihan dalam tubuh dan berpotensi merusak kesehatan. Dokter biasanya menyarankan penderita obesitas untuk menjalani diet ketat guna menghindari penyakit serius seperti jantung, diabetes, dan lainnya. Begitu pula dengan kabinet yang terlalu besar—struktur yang gemuk justru memperlambat pengambilan keputusan dalam pemerintahan.

Proses pengambilan keputusan dalam kabinet besar cenderung tersendat karena rantai birokrasi yang panjang. Kebijakan penting harus melalui berbagai tahap, memperlambat respons pemerintah terhadap masalah yang mendesak. Jika presiden tidak mampu mengendalikan dinamika antar-menteri, tumpang tindih kepentingan bisa terjadi, memperlambat pelaksanaan kebijakan.

Penelitian oleh Michael G. Kenney dan Patrick Egan dalam Journal of Politics menunjukkan bahwa negara-negara dengan kabinet besar cenderung mengalami penurunan efisiensi. Amerika Serikat, meskipun memiliki populasi besar dan beragam, tetap menjaga kabinetnya ramping. Sejarawan politik Robert Dallek dari Boston University mencatat bahwa efektivitas kabinet lebih ditentukan oleh kualitas menteri, bukan jumlahnya. Negara-negara seperti Jerman dan Belanda, yang menghadapi tantangan politik besar, juga menjaga ukuran kabinet mereka tetap efisien.

Selain memperlambat pengambilan keputusan, kabinet besar juga membebani anggaran negara. Menurut laporan dari Badan Anggaran DPR, anggaran yang dialokasikan untuk menggaji menteri, wakil menteri, dan fasilitas terkait mencapai sekitar Rp1,5 triliun per tahun, setara dengan 0,1% dari total belanja negara. Jumlah ini mencakup gaji, tunjangan, perjalanan dinas, serta berbagai fasilitas yang disediakan untuk para pejabat. Sementara itu, Indonesia masih berjuang memulihkan ekonomi pasca-pandemi Covid-19, dengan daya beli masyarakat yang melemah selama beberapa bulan terakhir meskipun ada penurunan harga barang (deflasi).

Amerika Serikat yang lebih besar dari Indonesia pun hanya mempunyai 15 posisi menteri di kabinetnya. Demikian juga negara maju, seperti jerman, Inggris, dan Peancis, jumlah menterinya tak sebayak di Indonesia. The Diplomat menyoroti bahwa kabinet besar di Indonesia lebih merupakan cerminan politik patronase, di mana posisi menteri diisi untuk balas jasa politik ketimbang efektivitas pemerintahan. Hal ini dapat memperlambat respons pemerintah terhadap tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.

Dampak Langsung

Dampak dari kabinet besar tidak hanya dirasakan dalam pemerintahan, tetapi juga oleh masyarakat. Anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program penting seperti subsidi kesehatan, pendidikan, atau pembangunan infrastruktur justru tersedot untuk menopang kabinet yang gemuk. Misalnya, biaya untuk menggaji satu posisi wakil menteri sebesar Rp 200 juta per bulan bisa dialokasikan untuk membangun fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil yang masih membutuhkan akses pelayanan medis.

Ketika kebijakan tertunda karena birokrasi yang lamban, masyarakatlah yang paling terdampak. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan fasilitas kesehatan tertunda pembangunannya, sementara masalah sosial seperti kemiskinan dan pengangguran tidak segera tertangani. Dampak ini terasa nyata bagi rakyat, yang harus menunggu lebih lama untuk merasakan manfaat dari kebijakan yang seharusnya bisa dijalankan lebih cepat.

Sebagaimana tubuh yang sehat memerlukan pola makan dan gaya hidup teratur, kabinet yang efektif juga membutuhkan struktur yang ramping. Pemerintahan yang lebih fokus dan efisien mampu mengambil keputusan lebih cepat tanpa terhambat oleh birokrasi yang panjang. Jika obesitas politik ini tidak segera diatasi, anggaran negara dan efektivitas pemerintahan akan terus terbebani, sementara tantangan global semakin meningkat.

Merampingkan kabinet tidak harus dilakukan secara drastis. Bisa dilakukan secara bertahap dan terukur, seperti program diet yang berkelanjutan. Presiden Prabowo perlu mempertimbangkan “diet politik” untuk kabinetnya. Posisi-posisi yang kurang strategis harus dipangkas, dan kabinet harus diisi oleh menteri-menteri yang benar-benar kompeten dan berintegritas. Ini bukan hanya soal jumlah, tetapi soal memastikan bahwa setiap menteri memiliki kontribusi nyata terhadap efektivitas pemerintahan. Ini adalah langkah krusial jika Indonesia ingin memiliki pemerintahan yang lebih lincah dan responsif dalam menghadapi krisis.

Masa Depan Pemerintahan

Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk menjadi “dokter” bagi kabinetnya sendiri. Dengan memangkas posisi-posisi yang tidak efektif dan memilih menteri-menteri yang kompeten, ia dapat membentuk tim yang lebih gesit dan tangguh. Sama seperti tubuh yang sehat membutuhkan asupan nutrisi yang tepat, kabinet yang efektif memerlukan figur-figur yang kompeten dan berintegritas tinggi.

Pelan tapi pasti, dua sampai tiga bulan ini, presiden harus berani “mengamputasi” menteri yang hanya bermodalkan hubungan persahabatan dan menjadi utusan partai. Jika langkah ini dijalankan dengan komitmen, kabinet bisa bergerak lebih cepat dan efisien menghadapi tantangan global. Sebaliknya, jika kabinet terus membesar tanpa reformasi dalam perjalanan kepemimpinan Prabowo, maka negara ini berisiko terjebak dalam birokrasi yang lamban dan mahal, dengan dampak yang langsung dirasakan oleh rakyat.

Sebagai warga negara, kita memiliki peran untuk memastikan pemerintah bekerja untuk kepentingan rakyat. Kita bisa mendorong reformasi birokrasi dengan mendukung kebijakan yang mempromosikan pemerintahan yang lebih ramping dan efisien. Jangan biarkan masa depan Indonesia terbebani oleh struktur kabinet yang lamban dan mahal. Tindakan harus segera diambil agar anggaran negara bisa difokuskan pada sektor-sektor yang penting bagi kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaannya, apakah Presiden Prabowo siap menjalankan “diet politik” ini dengan penuh komitmen? Ataukah kabinet akan terus mengalami obesitas politik sampai berakhirnya kepemimpinan Prabowo yang pada akhirnya merugikan masa depan bangsa?

Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Obat Kabinet Obesitas

Obat Kabinet Obesitas

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *