Politik Kutu Loncat

  • Bagikan
Politik Kutu Loncat

DALAM sebuah orasi di hadapan bala tentaranya, seorang Jenderal berkata, “Aku bersumpah, Yang kalah tidak akan merayakan kemenangan, apalagi duduk bersama mereka”, sontak tepuk tangan para tentara tanda setuju bergemuruh di langit negeri demonarki. Barisan pun mulai bersiap dengan pertempuran.

Tepat tiga ratus meter di depan, pasukan lawan sudah siap juga berlari ke medan tempur. “Seraaaaaang”, Tang, ting, jeleb, pertempuran sengitpun terjadi.

Sang jenderal mengayunkan pedangnya ke kanan , kiri, depan dan belakang, menebas dengan sekuat tenaga setiap musuh yang ada di sekelilingnya.

Semua yang terlibat dalam pertempuran melakukan hal yang sama dengan jenderal. Masing-masing pihak fokus menumbangkan lawan dengan cara apapun yang mereka bisa.

Bahkan tak ada ampun untuk musuh yang sudah menyerah, pedang tetap akan menebasnya, tombak akan tetap ditancapkan untuk memastikan kematian.

Darah dan mayatpun berserakan di depan mata. Jelas, kedua belah pihak, tujuannya adalah kemenangan untuk merebut mahkota kerajaan di negeri itu.

Sebuah posisi yang diincar oleh semua pihak demi kesenangan, kemewahan, kedigdayaan, prestise, privilage, bahkan kediktatoran, monopoli, manipulasi dan lainnya. Satu posisi yang tidak ada berani melawan jika tidak sepakat, satu posisi yang semua orang harus tunduk dengan siapa yang memakai mahkota.

Tak dinanya, pasukan sang jenderal mengalami kekalahan. Pasukannya dipukul mundur dan banyak yang gugur. Kekalahan yang menyakitkan. Sang jenderalpun termenung, namun pasukan yang begitu setia menghiburnya. Selang beberapa lama, rival sang jenderal dinobatkan menjadi raja.

Pada satu malam, ketika sang jenderal sedang mabuk-mabukan, Raja datang menawarkan kedudukan dan kemewahan, asal ia melunakkan pasukannya.

Raja melihat bahwa pasukannya adalah ancaman. Entah apa yang merasuki sang jenderal, sampai ia lupa dengan sumpahnya. Sejak saat itu, pasukannya yang setia menjulukinya “kulon”.

Politik Kulon (Kutu Loncat)


Begitulah, sang jenderal kemudian dikenal sebagai simbol inkonsistensi politik, atau politik Kutu Loncat. Kedudukan dan kemewahan membutakannya.

Sumpah yang pernah diucapkan di depan pasukan setianya sirna begitu saja. Ia menghianati kesetiaan itu untuk sebuah jabatan.

Ia tak lagi memandang tujuan sejati dari sebuah perlawanannya yang telah banyak memakan korban dalam peperangan. Hasrat akan jabatan lebih besar dari hasrat kerakyatan.

Jika nafsu menguasai nurani, akan menyirnakan nilai sejati. Nafsu kemudian menumbuhkan inkonsistensi, berubah dari asas logis sebuah tujuan.

Sebut saja, kekuasaan yang sejatinya berasaskan kerakyatan, bukan keserakahan. Jika terbalik, maka inilah yang akan melahirkan manipulasi, oligarki, ketidakadilan, menghalalkan segala cara, cawe-cawe dan sebagainya.

Muncul perilaku oportunis mencari mana yang lebih menunguntungkan baginya, tanpa berpikir nasib orang lain. Perilaku ini sering disebut “Kutu loncat”. Ia akan melompat dari satu tempat ke tempat yang lebih menguntungkan.

Ketika tempat itu tak lagi menguntungkan, maka ia akan lompat ke tempat yang lain, begitu seterusnya. Biasanya, perilaku ini tidak memperjuangkan orang di luar golongannya. Hanya untuk diri dan sekutunya.

Padahal prinsip politik adalah untuk semua golongan yang berlandaskan pada filsafat kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan.

Dalam tradisi politik di negeri demonarki, politisi “Kutu loncat” cukup banyak dijumpai. Pindah dari satu kubu ke kubu lainnya. Bahkan tidak malu bergabung dan merayakan kemenangan bersama kubu lawan.

Yang tadinya berperang, bahkan sampai menyerang pribadi, yang tadinya marah, kini tertawa bersama. Berpretensi senang dengan kemenangan lawan kemudian berdalih atas dasar “persatuan” untuk kemajuan negeri.

Benarkah?, entahlah hanya Allah yang mengetahui. Tetapi fakta menunjukkan kebanyakan dari politisi Kutu Loncat ini mengintip “kedudukan” dalam pemerintahan.

Ada kesempatan, “maenkan”, begitu bahasa orang Medan. Ia meninggalkan kawan yang selama ini bersama berjuang. Tapi begitulah, terlalu banyak kepura-puraan, yang tak lain terkadang muncul karena sesuatu yang dipaksakan. Akhirnya, senyum yang disunggingkan pun tak seindah aslinya.

Pemenang perang mempunyai visi misinya sendiri yang tidak sama dengan yang kalah. Bagaimana mungkin, perbedaan visi misi yang menjadi sasaran tembak dalam kontestasi, setelah kalah, anda berdamai dengannya?, apa sebenarnya yang anda perjuangkan?, siapa yang anda perjuangkan?, seharusnya anda tegar dan terus memperjuangkan visi anda. Itulah pejuang sejati. Berhentilah mengatasnamakan “rakyat” jika memang untuk sendiri. Namun, jika “melompat” harus menjadi pilihan, luruskan niat.

Menentang Arus

Mari belajar dari orang-orang yang konsisten, tidak “kutu loncat” dalam berjuang untuk negeri. Contoh paling fenomenal adalah Nabi Muhammad SAW, yang pernah ditawarkan kedudukan dan kemewahan asal ia menanggalkan konsistensinya dalam dakwah Islam.

Tapi, sedikitpun beliau tak bergeming. Beliau sadar pasti akan melawan arus kekuatan aristokrat pada masa itu. Abu Jahal cs, sebagai tokoh pemegang kekuatan politik yang memiliki kekuasaan untuk mendesain keadaan negeri, pasti tak akan membiarkan beliau terus menjalankan dakwahnya.

Maka, ketika tawaran jabatan, kemewahan dan perempuan tidak mampu menjatuhkan sang Rasul, kematian menjadi pilihan terakhir. Jelang hijrah, Kaum kafir Quraisy membuat siasat untuk membunuh Nabi, namun Allah punya rencana yang lebih indah.

Tentu saja, politik konsisten, politik yang lurus dengan perjuangan, tidak berasaskan pada kepentingan pribadi dan golongan, yang tidak tergiur dengan hitung-hitungan kursi jabatan, akan menemukan jalan terjal sebagai konsekuensinya. Politikpun akan didesain sedemikian rupa untuk menenggelamkan mereka yang konsisten.

Yang tidak ikut dan tunduk pada pemenang tidak akan dapat “jatah” kekuasaan dan akan ditenggelamkan bila perlu dipunahkan. Itulah barangkali mengapa banyak yang tidak tahan dengan “Politik konsisten” karena arus yang deras, akhirnya membuat mereka lebih memilih oportunis untuk keuntungan pribadi dan golongannya. Daripada hanyut lebih baik keluar.

Penutup


Fenomena politik Kutu Loncat bukanlah politik yang diinginkan rakyat. Perilaku politik seperti ini berpotensi merugikan. Sepertinya harus ada undang-undang tentang perilaku politik ini, agar dinamika politik tidak sesuka hati saja.

Waktu “sor” jadikan, waktu tidak, tinggalkan. Ini kan seenaknya saja berpolitik. Tidak berjiwa patriot dan fight memperjuangkan kepentingan umum.

Jika saja ada undang-undang yang mengatur tentang politik Kutu Loncat ini, tentu politik di negeri ini akan lebih berwibawa dan kian sehat. Sebab, kualitas politik dalam sebuah bangsa ditentukan sebagiannya oleh kualitas perilaku politisi. Allahu A’lam. (Penulis Pemerhati Sosial)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Politik Kutu Loncat

Politik Kutu Loncat

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *